“Kamarnya di mana, Sayang?”
“Itu, yang paling ujung.” Leona menunjuk pintu kamar yang sudah terlihat semakin dekat. “Tapi Pak Anwar tadi bilang, Mas Sandy lagi pulang buat istirahat.”
“Oh, iya? Bagus dong, bisa gantian kita yang jagain Rinai,” sahut Haydar. “Papa juga hari ini nggak ada meetingkok. Kamu abis ini ada perlu, Yang?”
“Nggak.” Leona menggeleng. “Aku emang udah niat mau di sini sampai nanti Mas Sandy dateng.”
Kalau sedang tidak di kantor suaminya atau bicara dengan suaminya, Leona memang kerap kali menyebut Sandy dengan panggilan ‘Mas’. Karena lelaki itu memang lebih tua darinya setahun dan di luar hubungan kerja pun, mereka sangat akrab.
“Berarti yang
“Kamu mau minum? Makan? Atau mau aku?”“Nggak, nggak, nggak.”“Yah….” Ksatria mendesah pelan. “Padahal kalau kamu mau dipangku aku, aku nggak keberatan lho.”Rinai melotot kepada Ksatria yang hanya membalas dengan cengiran lebarnya seperti biasa.“Mau popcorn?”“Kalau itu aku mau.” Rinai menanggapi tawaran Ksatria dengan anggukan.Selagi Ksatria mengambil stoples berisi popcorn asin untuk Rinai, Rinai sendiri menatap ke sekeliling rumahnya yang sudah ia tinggalkan selama beberapa saat. Rumah itu masih terlihat bersih meski Rinai tahu, ayahnya jarang pulang ke rumah untuk menjaganya.
“Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal kerja?”“Nggak apa-apalah,” jawab Rinai dengan bersemangat. “Justru aku bosen lihat mukamu.”Ksatria memicingkan matanya. “Nggak mungkin.”“Mungkin aja, Sat. Kita udah temenan dari bayi, kamu pikir seumur hidupku aku nggak pernah bosen liat mukamu?”“Jadi kamu pernah bosen?”“Sering.”“Duh.” Tiba-tiba Ksatria memegangi dadanya. “Sakit banget dengernya.”Rinai tentu saja hanya bercanda dan ia segera tergelak melihat bagaimana berlebihannya Ksatria.“Udah sana, kerja.&rdq
“Jadi Mbak Rinai belum jadian juga sama Mas Al?”Rinai memang tak terlalu pintar menyembunyikan reaksinya atas hal-hal tertentu, termasuk ketika dengan frontalnya Shahia menanyakan hal tersebut.“Belum.” Atlas-lah yang menjawab pertanyaan Shahia. “Kamu sih, kurang kenceng doanya.”“Yah, gimana sih, Mas Al.” Shahia mengerucutkan bibirnya, lalu menyandarkan kepala di bahu Rinai yang duduk di sampingnya “Ayo, usaha lebih kenceng lagi dong. Perempuan kayak Mbak Rinai nih satu banding sejuta alias langka banget!”“Kamu gencar banget promosiin aku, Sha,” canda Rinai kepada Shahia.“Abisnya aku kan nggak mau Mbak Rinai ketemu laki-laki yang nyia-nyiain Mbak gitu aja. Jadi aku cuma kenalin dan promosiin
“Mbak Rinai nggak nyesel?” Shahia bertanya dengan sangsi. “Ini si Bangsat-nya VIP lho, Mbak. Belum terlambat kok kalau Mbak mau ganti orang.”Dengan dramatis (sepertinya Rinai mulai tertular Ksatria), Rinai menggeleng. “Aku juga pengennya gitu, Sha. Tapi gimana ya….”“Nai!” Tanpa Ksatria sendiri sadari, ia sudah melotot dan merajuk pada Rinai. “Kok kamu gitu sih sama aku?”“Abisnya gimana ya, Sat…. Sebenernya kan yang dibilang Shahia ada benernya.” Rinai sengaja menoleh pada Ksatria yang masih duduk di sampingnya. “Ini Ksatria lho, si Bangsat-nya VIP Club.”Ksatria mendengus pelan. Lama kelamaan kalau ia biarkan Shahia lebih lama lagi bersama dengan Rinai, hubungannya dengan Rinai bisa bubar jalan karena tiba-tib
“Orang kalau mau kencan biasanya pakai baju apa?”“Nggak pakai baju?”“Orang gila!” maki Rinai kepada Shua yang terhubung dengannya melalui sambungan telepon.“Serius, Nai, skin to skin bagus juga lho.”“Ah, capek ngomong sama kamu!” desis Rinai kesal.Panggilan itu sudah terhubung sejak setengah jam yang lalu dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Karena malas memegang ponsel sambil mondar-mandir, Rinai mengaktifkan mode loudspeaker.Hari masih cukup pagi, kalau Rinai tak ada janji, ia mungkin masih tertidur sampai sekarang. Tapi hari ini adalah jadwal kencannya dengan Ksatria dan tiba-tiba saja, Rinai tidak tahu harus memakai pakaiannya yang mana.
Rinai hanya memutar kedua bola matanya begitu mendengar ucapan Ksatria dan masuk ke mobil lelaki itu. Ksatria sendiri tertawa melihat reaksi Rinai, kemudian mulai mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah.Di mobil, Rinai sibuk mengganti stasiun radio dan berhenti di Prambors. Setelahnya, Rina bertanya kepada Ksatria, “Kita mau ke mana emangnya hari ini, Sat?”“Sebenernya aku nggak tahu kita enaknya ke mana, Nai,” aku Ksatria seraya. “Kupikir kita harus ke tempat yang belum pernah kita datengin karena ini kencan pertama kita secara resmi. Semalam aku tidur sampai jam tiga buat nyari ide, nggak ketemu-ketemu.“Aku pengennya hari ini ya spesial buat kamu, tapi ternyata minimnya pengalamanku bener-bener bikin aku nggak bisa kepikiran tempat kencan yang ideal buat kamu.”
“Masih disayangkan juga ya kenapa Rinai mau sama si Bangsat ini.” Kalu mengusap dagunya dengan perlahan, terlihat dramatis apalagi ditambah dengan gelengan kepalanya yang dibuat sepelan mungkin.“Iya, bener. Kayak nggak ada laki-laki yang lebih baik aja. Si Ksatria plusnya juga cuma di tampang doang. Kelakuan sih minus,” imbuh NaraYogas mengangguk setuju atas pernyataan Nara barusan. Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya untuk ikut bicara, Ksatria sudah lebih dulu menjejalkan makanan ke mulut salah satu sahabatnya tersebut.“Kalian tuh kayaknya yang paling sebel aku bisa bareng sama Rinai.” Ksatria memicingkan matanya ketika kembali duduk di sofa, berhadapan dengan Yogas, Nara, dan Kalu.Badai yang duduk di sampingnya hanya tertawa. Hari ini mereka berlima berkumpul di rum
“Kamu mau makan siang sama siapa?”“Al,” jawab Rinai dengan ringan. “Nggak usah pura-pura nggak denger ya. Nanti jadi susah denger beneran, baru tahu rasa.”“Bukan pura-pura nggak denger, tapi susah menerima kenyataan.”“Lebay,” cibir Rinai. “Lagian kamu kan mau ke The Clouds katanya.”“Iya sih, emang kamu nggak mau ikut?”“Nggak deh, aku udah janji sama Al dari Sabtu kemarin. Nggak enak kalau dibatalin.”Ksatria mendengus pelan dan segera menggandeng lengan Rinai padahal mereka masih berada di lorong.“Ih, Sat!” Rinai segera melotot. “Nanti kelihatan yang lain. Lepas, nggak?!”