Rinai menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Setelah ini, ia harus apa?
Menatap dirinya sendiri saja ia tak mau. Bayangan mengenai bagaimana Atlas menyentuh sekujur tubuhnya kerap kali membuat Rinai jijik pada dirinya sendiri dan berakhir mual, muntah, lalu histeris.
Atlas memang tidak memperkosanya, tapi bukan berarti sentuhannya langsung terlupakan begitu saja oleh Rinai.
Di sisi lain, beberapa hari ini Rinai mulai sadar kalau ayahnya terlihat lebih tua daripada sebelumnya. Kantong matanya terlihat jelas, wajahnya tak terlihat segar seperti biasa, dan hal itu menyakitkan hati Rinai.
Ayahnya pasti merasa bersalah dan sedih saat
Nara membukakan pintu mobilnya untuk Ksatria dan sahabatnya itu segera duduk lalu menutup kembali pintunya.Sebelum menjalankan kembali mobilnya, Nara yang masih mengenakan kemeja kerjanya melongok ke belakang untuk mengambil sesuatu.“Nih.” Nara meletakkan satu kantong plastik dari McD yang tadi ia sempat beli sebelum mampir ke rumah sakit. “Biar ada tenaga buat ngomong.”Ksatria mendengus pelan, tapi tak urung ia juga berterima kasih kepada Nara yang sudah mampir untuk drive thrudi jam makan siang hanya untuk membelikannya makanan.Siang ini Ksatria pamit sebentar kepada Rinai, mengatakan kalau ia harus ke kantor sebentar karena ada sesuatu yang
“Aku mau nonton Avengers begitu keluar dari sini.”“Avengers lagi? Serius, Nai?”“Emang kenapa sih? Ibaratnya makanan, Avengers itu kayak comfort food aku.”Ksatria terkekeh dan akhirnya mengangguk. “Oke, nanti kita nonton Avengers kalau udah pulang.”“Yes!”“Aku boleh ikut nonton bareng kamu kan?”Sepanjang hidupnya, baru kali ini Ksatria menanyakan hal tersebut kepada Rinai. Selama ini mereka terbiasa dengan kehadiran satu sama lain tanpa perlu adanya konfirmasi atau persetujuan salah satu dari mereka.
“Kamu yakin mau tetep kerja?”“Yakin, Pa.”Sudah hampir dua minggu Rinai tidak bekerja. Selama itu juga, baik ayahnya dan Ksatria juga ikut menemaninya. Rinai mencemaskan keduanya, tentu saja.Apalagi Ksatria. Lelaki itu meski bukan pimpinan utama di Heavenly & Co, tetap saja punya tanggung jawab besar di bahunya.Beberapa tahun lagi pun, kursi yang diduduki Haydar pasti akan ditempati oleh Ksatria dan Rinai tidak ingin orang-orang memandang Ksatria dengan remeh, hanya karena lelaki itu tidak masuk bekerja untuk jangka waktu yang lama.“Papa juga hari ini mulai kerja kan?” tanya Rinai saat semalam menden
“Kamu baik-baik aja, Mas?”Ksatria terkejut saat perempuan paruh baya yang ia kenali sebagai salah satu tante Rinai dari pihak sang ibu, menegurnya seraya menaruh secangkir teh di hadapan Ksatria.“Baik, Bude.”Perempuan yang biasa dipanggil Bude Mega oleh Ksatria dan Rinai itu tersenyum begitu mendengar jawaban Ksatria.Sama seperti keluarga Rinai yang lain, Mega sudah mengenal Ksatria sejak dulu. Mega yang tinggal di Jogja, rutin berkunjung ke Jakarta minimal setahun sekali, baik saat mendiang ibu Rinai masih ada sampai saat Sandy menjadi single parent.Mega yang selalu bisa mengimbangi percakapan anak seusia
Bukan Ksatria Baja Hitam: Kamu istirahat aja di rumah. Aku hari ini pergi kerja ya, Nai.Rinai Prawara: Iya, kamu hati-hati ya di jalan. Aku tetep kerja ya dari rumah.Bukan Ksatria Baja Hitam: Istirahat aja, Nai.Rinai Prawara: Pleaseeee.Rinai Prawara: Nggak bakal capek kok, kan cuma koordinasi sama Fiona aja, terus nyocokin jadwal sama load kerjaan kamu.Rinai Prawara: Ksatria ganteng deh. ;)Bukan Ksatria Baja Hitam: Hhhh. Oke.Bukan Ksatria
“Sat, kamu tahu kan kalau aku sayang kamu?”Ksatria menggeleng. “Kayaknya kamu belum pernah bilang ke aku soal itu.”“Masa?”Tawa segera meluncur dari bibir Ksatria ketika melihat raut wajah Rinai yang tak percaya sekaligus kesal karena jawabannya tadi.“Seingetku, kamu nggak pernah ngomong secara gamblang,” koreksi Ksatria sebagai upayanya untuk menenangkan Rinai. “Tapi lewat mata kamu aja, aku tahu kok sayangnya aku ke kamu itu berbalas.”Rinai tertawa geli mendengar kata-kata Ksatria.Malam ini, sepula
“Kamu beneran bakal pergi, Nai?”“Kamu lama-lama kayak Ksatria ya. Kalau nggak percaya, bisa nanya sampai sejuta kali.”Rinai memasukkan baju-bajunya ke dalam kontainer yang akan dikirim tiga hari lagi—menunggu semua barang di rumah itu siap untuk dikirim, melalui jasa pengiriman kargo ke alamatnya di Jogja.Matanya melirik ke arah Shua yang ikut duduk di lantai sembari memasukkan pakaian-pakaian Rinai ke kontainer yang sesuai dengan namanya.“Rasanya masih nggak percaya aja sih.” Shua menghela napasnya untuk yang kesekian kalinya. “Aku bakal kangen kamu yang kadang-kadang suka nginep tanpa pemberitahuan.”Rinai meringis begitu mendengarnya. “Aku juga bakal kangen kamu sama Janar. Baik-baik ya selama usaha nyari ‘ayam bakar’-nya.”Shua tertawa kala Rinai menyinggung istilah yang ia gunakan untuk candaannya kalau mengatakan ia ingin mencari suami baru. ‘Ayam bakar’ atau yang merupakan kepanjangan dari ayah muda badan kekar itu rasanya masih jauh panggang dari api.Alias masih belum kel
“Nih, makanan buat di sepanjang jalan nanti.”“Udah kayak ngasih bekal buat satu bus pariwisata,” sindir Rinai ketika melihat berapa banyak plastik sampai cooler box yang dimasukkan Rinai ke bagasi mobilnya.“Lebay,” cibir Ksatria tak terima. Usai menutup pintu bagasi, ia beralih ke kursi belakang dan menaruh satu plastik lagi berisi berbagai macam snack.“Selesai,” tandas Ksatria dengan bangga. Lelaki itu menutup pintu mobil dan tersenyum lebar kepada Rinai yang sejak tadi mengamatinya. “Di bagasi ada termos juga, in case kamu mau minum yang hangat. Ada tiga termos, isinya kopi, teh, dan air hangat kalau kamu mau makan Pop Mie.”“Emang kamu bawain Pop Mie juga?”“Iya, sama Super Bubur yang di cup juga sih sebenernya.”“Sat, ini tuh kayak bekel buat anak Jambore seminggu. Naik mobil ke Jogja juga nggak sampai sehari semalam deh.”“Kan nggak ada yang tahu, Nai. Daripada pas lagi laper atau haus terus masih jauh dari rest area? Mending sediain dari sekarang.” Ksatria masih bersikukuh de