Tiga hari berlalu. Akhirnya hari keberangkatan Angga ke kota B tiba juga.
Riska menjadi semakin manja bukan main, bahkan kedua orangtua mereka sampai harus turun tangan untuk mencoba menenangkan Riska yang tidak mau ditinggal Angga.
"Riska! Lepas dulu ya! Angga juga bukannya tidak akan kembali lagi," bujuk Rosyad.
Mereka semua ikut mengantar Angga ke bandara, termasuk juga Fajar. Riksa yang merasa akan ditinggal Angga, sama sekali tidak mau melepaskan pelukannya.
"Papa jahat! Papa mau misahin aku dan Angga!" Riska menangis dengan keras karena Rosyad mencoba untuk melepaskan pelukan Riska pada Angga.
"Mana ada Papa mau misahin kalian!" Rosyad tidak terima di
Jam satu malam, Riska yang sudah tidak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada Angga, akhirnya menangis sejadi-jadinya. Riska menangis sendiri di dalam kamar sambil memeluk foto pernikahan mereka. "Angga! Aku kangen!" ucap Riska berulang-ulang. "Kenapa kamu lama banget disana?" ucap Riska. Padahal, ini baru hari pertama Angga pergi, tapi sikap Riska sudah seperti ini. Tadinya Riska tidak ingin mengganggu orangtuanya, karena ini sudah tengah malam. Tapi sekarang, rasanya Riska benar-benar membutuhkan orang di sampingnya. Riska akhirnya berjalan keluar kamar sambil memeluk foto pernikahann
Hari ke empat Angga pergi ke luar kota. Riska yang sudah tidak bisa menahan rasa rindunya kepada Angga, ditambah lagi dengan kondisinya yang memang menurun beberapa hari terakhir ini, akhirnya pingsan.Riska dari pagi sudah merasakan tubuhnya tidak enak. Tapi dia tetap memaksakan diri untuk datang ke butik dengan diantar Fajar.Bahkan sedari pagi, pertanyaan kamu baik-baik saja, selalu ditanyakan oleh keluarganya.Riri sendiri juga merasa jika Riska sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari wajahnya yang terlihat pucat."Mbak Riska!"Riri mengetuk pintu ruang kerja Riska, sambil memanggil-manggil namanya. Tapi hampir lima menit dia mengetuk dan memanggil-manggil nama Riska, tidak ada sahutan dari dalam.Riri pun akhirnya menjadi khawatir, takut terjadi apa-apa dengan Riska. Karena Riska tidak pernah mengabaikan jika Riri memanggilnya, apalagi mengingat wajah pucat Riska tadi pagi.Dengan mengumpulkan keberaniannya, Riri membuka pintu
Kini para orangtua dan juga Kakek, sudah berada di rumah sakit. Mereka menunggu Riska yang sampai sekarang masih belum sadar.Wajah-wajah bahagia tidak bisa mereka sembunyikan. Bahkan sekarang kedua orangtua Fajar juga berada di dalam ruang perawatan Riska."Pa! Kita kasih tahu Angga sekarang, pa?" tanya Sofia.Sofia duduk di kursi samping bankar Riska. Sofia menggenggam tangan Riska yang tidak terpasang infus. Rasa haru dan bahagia sangat terasa.Sebagai orangtua, dia memang menginginkan untuk menggendong cucu segera. Tapi mereka juga bukan tipe orangtua yang akan memaksakan kehendak mereka."Jangan kasih tahu Angga dulu! Riska belum sadar ini!" Kakek yang
Di kota B, Angga benar-benar mencoba yang dia bisa, untuk segera menyelesaikan pekerjaannya disana.Rasa tidak tega dan juga bercampur rindu kepada Riska, tumpang tindih menjadi satu. Apalagi jika Angga teringat dengan air mata Riska saat mengantarnya ke bandara."Ga! Ini mau kamu selesaikan sekarang? Kamu istirahatlah dulu, jangan memaksakan diri!"Dimas sampai tidak tega, karena melihat Angga yang memaksakan dirinya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya di kota B."Taruh saja di meja! Kamu juga sudah melihatnya sendiri, bagaimana Riska menangis waktu mengantarku ke bandara kan?"Angga bukannya tidak capek. Dia capek, sangat capek malah. Tapi jika mengin
Perdebatan unfaedah Angga dan Fajar masih terus berlanjut. Riska yang masih ingin berbicara dengan Angga, akhirnya hanya bisa cemberut.Sofia yang sadar jika mood Riska kembali berubah, karena perdebatan Angga dan Fajar, akhirnya mendekati Riska."Sayang! Kamu makan sesuatu nggak? Mau Mama buatkan atau belikan?" tanya Sofia dengan penuh perhatian."Mama! Fajar nyebelin, Ma!" Riska menatap Fajar dengan sebal."Kamu itu bagaimana, Riska itu istrimu atau istriku? Kenapa kamu malah menyalahkanku karena Riska masuk rumah sakit! Bukankah itu karenamu, Riska berakhir di rumah sakit!"Suara Fajar cukup keras untuk didengar semua orang yang berada ruang rawat
"Fajar ... Boleh ya! Aku mau makan itu," rengek Riska.Sore harinya, Fajar kebagian untuk menjaga Riska sendiri. Sedangkan yang lain, sedang pulang ke rumah untuk membersihkan diri dan juga berganti pakaian.Fajar terpaksa harus menemani Riska sendiri. Jika bukan karena ancaman dari orang tuanya dan juga Angga, Fajar akan memilih untuk pulang saja.Bukannya Fajar tidak mau menjaga Riska. Tapi setelah Riska berada di rumah sakit, yang Fajar dapatkan adalah hal yang tidak baik.Mulai dari dia yang tiba-tiba tidak konek setelah mengetahui kehamilan Riska. Berdebat dengan Angga, dimarahi Riska, hingga telinganya dijewer mamanya."Tidak bisa!"
Fajar kini tengah kelimpungan untuk menenangkan Riska yang menangis sesegukan.Apa yang ditakutkan Fajar benar-benar terjadi. Riska yang tadinya sok-sokan berani untuk mendengar cerita horor, berakhir dengan menangis sesegukan."Aduh, Ris! Udah dong! Nanti kalau Om dan Tante tahu, pasti aku yang akan disalahkan lagi," ucap Fajar sambil memeluk Riska, dan mengusap-usap punggung Riska."Kamu kenapa juga cari cerita yang serem begitu! Kan aku jadi takut!" jawab Riska dengan masih sesegukan."Tuh kan! Aku lagi yang salah!" ucap Fajar dalam hati."Iya maaf! Lain kali nggak lagi!"Fajar selalu m
Besok siangnya, Riska sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tentu saja hal itu membuat Riska teramat sangat bahagia."Ingat ya, Ris! Kamu harus menjaga pola makanmu. Makan makanan yang sehat juga. Kalau sempat, olahraga ringan juga bagus untuk kehamilanmu," pesan Wanti saat Riska sudah siap untuk kembali ke rumah."Terima kasih ya, Tante. Riska sayang sama Tante," balas Riska sambil memeluk Wanti."Sama-sama! Sudah lama juga ya, Tante nggak peluk kamu," ucap Wanti sambil tersenyum.Riska hanya terkekeh mendengarnya. Lalu mereka berdua pun melepaskan pelukan mereka.Wanti berbalik untuk melihat Fajar.