Undangan pernikahan Alya dan Akmal dikirim Lek Titik lewat aplikasi pesan. Ada perasaan tak percaya Alya begitu cepat menerima laki-laki lain dalam hidupnya. Kupikir, saat aku mengucapkan talak kepada Nely di hadapan semua orang dan dia juga menyaksikannya, itu bisa menjadi jalan bagi kami kembali bersatu.
Nyatanya wanita yang dulu kunikahi secara sederhana itu move on begitu cepat. Padahal dia selama ini perempuan yang kalem. Tidak agresif. Namun keputusannya menikah lagi dalam waktu dekat benar-benar membuat mataku terbelalak. Apakah ini hanya pelariannya?
Pagi ini, nama yang ditulis ibuku dalam lembaran kertas di akhir hidupnya itu telah melangsungkan akad nikah. Maafkan anakmu ini Ibu, tak bisa menjalankan amanat terakhirmu.
&nbs
“Kamu sudah bangun?” Dengan entengnya dia bertanya. Seperti tak ada rasa kaget sama sekali. “Apa yang terjadi semalam?” Tanpa melihatnya, kulontarkan tanya. “Kamu mabuk. Sepertinya kamu enggak pernah minum ya sebelumnya? Jadi minum sedikit saja sudah membuatmu sempoyongan.” “Trus?” tanyaku tak sabar mengetahui apa yang terjadi setelahnya. “Kebetulan shiftku jaga bar sudah selesai. Kamu kubantu ke kamar.” “Gimana kamu tahu ini kamarku?”&n
Jam dinding di restoran hotel menunjukkan pukul 07.25 WIB. Namun matahari pagi belum menampakkan sinarnya. Hampir semua tamu yang bermalam di sini sudah menikmati sarapan. Bahkan sebagian dari mereka telah menandaskan isi piringnya. Yang tersisa tinggal menghabiskan minuman hangat yang ada di cangkir-cangkir warna putih tulang itu. Sementara itu, Akmal dan Alya baru melangkah menuju meja hidangan. Mereka tak sadar ada dua pasang mata yang terus mengikuti gerak-geriknya. “Enggak usah diliatin terus, kali! Tar mereka tambah belagu lagi!” Nely mencoba mengingatkan teman satu mejanya.“Aku sepertinya enggak bisa deh jalanin idemu, Nel. Rasanya kayak wanita murahan. Bukan aku banget!” Jasmin seketika meletakkan garpu dan sendoknya. Nafsu
Alya dan Akmal kini dalam perjalanan menuju Bandara Juanda. Jadwal penerbangan yang dipilih pukul 10.05-11.40 WIB. Sebelum keluar dari mobil, Akmal mengecup kening istrinya itu lembut. Alya kian membenamkan wajahnya seolah enggan berpisah.Kali ini Akmal yang bisa mengotrol diri. “Sudah ya …, Sayang. Aku pergi sebentar saja kok.”Tepat pukul 09.05 mereka sudah berada di ruang tunggu. Bandara ini aktivitas penerbangan internasionalnya cukup ramai, bahkan termasuk tersibuk kedua setelah bandara Soekarno Hatta.“Kamu sebenarnya enggak perlu anter aku sampe sini. ‘Kan bisa naik taksi online tadi. Tar kamu capek.” Akmal menggenggam tangan Alya erat. Mereka duduk di salah satu deretan kursi tunggu. “Enggak apa-apa, Mas. Selagi aku ada waktu.” Alya memberikan senyum terman
Wildan terduduk di lantai. Tubuhnya yang semula bersandar di dinding kini merosot. Lemas. Apa yang dilihatnya barusan seperti mimpi. Benar dia merindukan anak-anaknya, bahkan Alya. Namun tidak dalam situasi seperti ini berjumpanya. Anak yang ingin dia peluk, justru ada dalam gendongan pria lain. Ada pun Alya, jangan ditanya. Bahkan Wildan telah merelakan dirinya menenggak minuman yang bisa meringankan beban pikirannya sejenak. Wildan lupa, justru dari hilangnya kesadaran, akan mengantarkan pada kerusakan yang lebih parah. Lihatlah apa yang telah dilakukannya beberapa waktu lalu. Sudah bagus dia menolak ajakan Joseph. Agar terhindar dari godaan wanita-wanita penghibur. Akan tetapi pilihannya masuk ke bar juga bukan sesuatu yang tepat. Akhirnya mengantarkannya pada dosa besar. “Samp
Rombongan Akmal memilih makan dalam satu meja. Bilqist pun juga bergabung dengan bundanya. Meski dia tahu ada mamanya di meja yang lain. “Pa, habis makan malam kita ngapain? Tidur?” tanya Bilqist setelah duduk manis.“Enggak lah, Qist. Kamu bisa pilih nonton film layar lebar, show on ice, atau teater ala Broadway. Di kamar tadi ‘kan tersedia macam-macam fasilitasnya. Dah dibaca belum?” tanya Akmal sambil menggerakkan hidungnya. “Nonton saja ya, Pa. Besok baru yang lainnya.” Akhirnya Bilqist menjatuhkan pilihan. “Siap, Tuan Putri.”&nb
“Al, boleh aku ikut renang sama anak-anak?” Wildan tiba-tiba muncul dengan permintaan yang mengagetkan Alya. “Eh, kamu, Mas!” jawab Alya dengan perasaan canggung. Dia sekarang sedang mengawasi anak-anaknya. “Gimana pernikahanmu?” tanya Wildan mencoba mencari bahan obrolan. “Apa kamu bahagia?” Wildan masih berdiri di samping Alya yang duduk di kursi tunggu tepi kolam renang kapal pesiar. Laki-laki itu menanyakan sesuatu yang sudah dapat ia saksikan di depan mata. “Seperti yang kamu lihat, Mas. Apakah aku dan anak-anak terlihat tidak bahagia?” Pandangan Alya lurus ke kolam renang. Menyaksikan Akmal, Rheza, Rohim, dan Bilqist berena
Sebelum semua memori itu muncul ke permukaan, Alya segera meninggalkan kolam renang itu. Dia berjalan menuju kafe yang sebagian kursinya berada di ruang terbuka. Alya memilih kursi di dalam kafe, karena cuaca mulai menyengat.“Mau pesan apa, Mbak?”Alya terkejut melihat pelayan itu menyapanya dengan Bahasa Indonesia. “Cokelat panas.” “Ada lagi?” “Kentang goreng, ada?” Alya memesan itu untuk selingan camilan anak-anaknya setelah berenang. Meski dia tak tahu apakah punya nyali untuk mendekati kolam renang atau tidak. Sebab Alya paham betul kelemahannya, syahwatnya mudah terpancing saat melihat tubuh Wildan dalam kondisi basah. Terutama ketika selesai berenang. Buliran air yang mebasahi rambut dan wajah laki-laki itu membuatnya
“Mas Wildan …! Mas Wildan ….!” Alya seketika terbangun dari tidurnya. Dia yang tadi dalam posisi berbaring, kini duduk dengan napas menderu. Akmal yang tidur di sampingnya akhirnya juga terbangun. Kaget mendengar istrinya meneriakkan nama mantan suaminya. “Yang … kamu kok nyebut-nyebut Wildan?” “Ma-maaf, Mas. Aku juga enggak tahu. Barusan seperti mendengar Mas Wildan minta tolong,” jawab Alya terbata. Dia sendiri kaget atas apa yang terjadi. Akmal ikut duduk. Dirangkulnya bahu istrinya itu. Alya yang sedang mengenakan lingerie menjadikan tangan Akmal mengelus lengan istrinya tanpa terhalang apa pun. “Sudahlah, mungkin itu cuma