Aman.Satu hal yang berada di benak Jenar ketika dirinya dipapah oleh Mada serta langsung dibawa ke ruang kerja si pria agar tidak bertemu dengan karyawan lainnya adalah aman.Dirinya kadung merasa bahwa hanya ada dirinya dan Mada saja sejak mereka meninggalkan area parkir kendaraan lalu terpingkal-pingkal seakan dunia tercipta untuk mereka berdua. Nyatanya ..."Hei hei hei! Berkumpul, aku membawa sesuatu yang sangat penting!" pekik Dalilah yang baru saja sampai lalu menaruh barang-barang di dalam kubikelnya dengan cukup berisik hingga beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh si biang gosip tersebut."Apa?""Jika yang kamu katakan bukan tentang promo makan siang di salah satu restauran, aku tidak ingin mendengarnya.""Oh ayolah, apalagi yang akan diberi tahu oleh biang gosip ini selain .... jadi, siapa lagi yang berselingkuh di kantor ini?" tebak yang lain ketika mereka mulai berkerumun."Selamat pagi pekerja Lawana, kembali lagi dengan Dal
"Hari ini Jenar datang dengan Pak Mada, berdua. Aku yakin seperti itu."Lamina berseru kepada Taka yang duduk dihadapannya seraya membawa nampan berisikan menu makan siang yang habis dirinya ambil di area cafetaria."Oh ya?" Taka memberikan kode kepada Lamina untuk menggeser beberapa piring saji sebelum dirinya dapat meletakan nampan di depan meja putih pembatas yang tidak terlalu besar tersebut.Lamina menepuk-nepuk tempatnya duduk, menguji tingkat empuk sofa yang diduduki sebelum menyelipkan rambut kebelakang telinga."Tentu. Aku tahu dengan pasti bahwa Dalilah tidak mungkin berbohong," bisiknya setelah sibuk mengedarkan pandang, berusaha keras agar target yang menjadi topik pembicaraan tidak ada di sana sama sekali."Hanya saja, aku berupaya untuk menutupinya agar hal ini tidak menjadi semakin liar." Lamina mencondongkan tubuh ke arah Taka, kekasihnya, hingga lanyard di leher bergoyang pelan sebelum mendecakan lidah beberapa kali."Kamu tahu 'kan kalau berita dari Dalilah itu sepe
"Tidak mungkin."Secara spontan, Jenar mengutarakannya dengan kerongkongan yang terasa kering.Sekretaris pribadi Mada itu menggelengkan kepala kuat-kuat dengan meremas bagian depan pakaian yang dikenakan.Rasanya ini sangat salah, tidak mungkin perempuan jumawa yang tengah berbicara di hadapannya adalah seseorang yang berada di masa lalu."Excuse me?"Bianca mengerutkan kening dan kepalanya sedikit ia miringkan ke arah kiri sebelum jemari berhias kukunya yang indah bergerak untuk menepiskan rambut.Jenar terkesima saat melihat Bianca, seolah-olah dirinya tengah melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Mereka nampak mirip, serupa namun tidak sama. Jenar tahu bahwa dirinya tidak memiliki kaitan apapun dengan Bianca, mereka berasal dari dunia yang berbeda. Jenar, putri bungsu dari dua bersaudara.Bagaimana bisa mereka menjadi sepasang kembar bila Bianca memiliki usia yang berbeda dua tahun dari Mada sementara dirinya berbeda sepuluh tahun dari si pria?Tidak, ini hanya kebetula
"Apa? Apa yang ingin kamu katakan kepada diriku? Apa yang bisa membela dirimu saat ini, huh?" rentet Bianca tanpa memberi kesempatan bagi Jenar untuk menjawabnya."Kamu tidak lebih dari sekretaris murahan yang dengan begitu mudah dapat melebarkan kaki dan beradu desah.""Nyonya Bianca," tegas Jenar saat menyebutkan nama Bianca, besar harapannya bahwa setelah ini Bianca tidak lagi bersikap agresif seperti sebelumnya."K—kita bisa membicarakan ini dengan baik-baik. Nyonya hanya salah menduga, diriku tidak seburuk apa yang sempat terlintas di dalam benakmu, Nyonya Bianca." “Katakan kepada diriku pada titik mana aku mengatakan sesuatu yang salah? Kamu pikir Mada sudah berpaling dariku sepenuhnya hanya dalam waktu lima tahun? Apa itu yang berada di benakmu?”Bianca melipat kedua tangan di depan dada dan mengangkat dagunya cukup tinggi untuk menantang Jenar yang mematung sepersekian detik seraya membasahi bibirnya yang kering.Dia menelan saliva, karena hanya itu satu-satunya kesempatan Je
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba