"Kenapa, Bu? Bukan tante Wera ya?""Katanya bukan, malah ibu di bilang salah sambung, jelas juga tersambung, namanya juga tidak salah. Ini beneran nomornya kak Wera lho. Apa dia tidak mau ketemu kita ya?""Coba cek sama nomor yang di hape kamu, Mas. Apa sama dengan yang ditelpon ibu barusan."Dengan malas Ibra mengeluarkan ponselnya. Dan, setelah di cek ..."Berapa nomor belakangnya?" tanya Ibra ketus."068""Sama!" sahut Ibra kemudian."Nah kan sama. Gimana mungkin salah sambung coba," gerutu bu Nani."Hhuuft ... ibu masih nanya kenapa mantan mertuaku berkata seperti itu. Mana ada orang yang mau ketemu macam ibu. Saya pun, kalau tahu sedari awal, tidak sudi juga punya mertua macam ibu. Bu Wera selama jadi mertua saya nggak seneko ibu. Dia baik, pengertian.Mendengar itu, bu Nani semakin cemburu dengan Wera."Atau beneran salah sambung kali, Bu. Nomornya bu Wera udah mati kali, Bu. Jadi, kalau kartu yang udah mati. Bisa diaktifkan lagi, tapi kayak nomor baru lagi." Liana ikut menjelas
"Nya, lebih baik Nyonya istirahat di kamar. Saya buatkan teh hangat ya." Bik Surti datang menghampiri Yati berdiri terpaku di ruang tamu. Dia papah majikannya itu ke dalam kamar. Setelah merebahkan tubuh Yati di tempat tidur, lalu dia bergegas bertolak ke dapur.Kondisi rumah memang lengang, Bryan dan Dennis sedang ada pekerjaan di luar kota. Jika kedua anak lelaki Yati mengetahui hal ini jelas mereka akan sangat marah pada papanya.Ponsel bu Wera kembali berdering."Siapa, Bu? Nomor yang tadi?""Tidak, Ras. Beda. Biarkan sajalah!"Namun, hal yang sama pun terjadi seperti Syahrial tadi. Nomor itu terus saja menelepon hingga lima kali."Angkat saja, Bu! Mungkin penting," usul Laras kemudian"Gimana kalau mereka?""Hmm ... angkat ajalah, Bu. Siapa tahu bukan."Wera pun menuruti usulan Laras, mengangkat telepon yang kebetulan masih belum putus asa menghubungi dirinya."Halo.""Apa ini dengan ibu Wera? Kami dari pihak rumah sakit mau mengabarkan jika saudara Ibra, ibu Nani, juga saudari L
"Kenapa tidak coba pak Bryan sama pak Ibra saja, Pak. Siapa tahu golongan darah mereka sama.""Saya maunya mereka berdua tidak tahu akan hal ini, Pak," ucap Syahrial dalam hati."Mereka lagi sibuk, Pak. Tidak enak kalau diganggu."Mobil Pajero menepi memasuki area rumah sakit. Pak Tono langsung menurunkan Syahrial di depan IGD, lalu setelahnya mencari tempat parkir. Tak lama kemudian, mobil Alpard yang ditumpangi Yati pun juga sampai di area rumah sakit."Parkir dekat mobil bapak aja, Pak Bud!" titah Yati yang seorang diri duduk kursi penumpang bagian tengah."Baik, Bu.""Mana bapak, Pak Ton? Sudah masuk?"Pak Tono yang tengah mengecek ponsel tersentak karena tak menyadari majikannya berdiri di sebelah pintu kemudi. "Astagfirullah, kaget saya, Bu." Buru-buru pak Tono keluar dari mobil."Iya, Bu. Bapak sudah masuk, tadi saya langsung turunin di depan IGD.""Oh, oke. Kalian berdua tunggu di sini, saya masuk dulu.""Baik, Bu." Pak Tono juga Pak Budi serempak menjawab lalu saling berpand
"Ma, kamu ikutin aku?""Menurutmu?""Buat apa?""Kamu tidak perlu banyak tanya. Buat apa? Kenapa? Di mana letak harga diri keluargamu? Bahkan kamu lupa ada orang asing sekaligus perusak di sini. Untuk urusan kita, biar di rumah saja dibahas. Privasi antara aku dan kamu lebih berharga dari perempuan j*lang ini.""Oke, Ma. Aku minta maaf. Tapi urusan ku belum selesai. Liana --.""Oh jadi Liana nama anak perempuanmu itu?""Iya, dia butuh darah.""Ya sudah, donor kan saja darahmu, Pa. Biasanya kalau ayah biologis sama. Itupun jika benar kamu ayah biologisnya."Aku tidak bisa, Ma. Mau tidak mau aku harus suruh Bryan dan Ibra ke sini.""Mbak, apa maksudnya bicara seperti itu? Mbak pikir saya suka gonta-ganti pasangan?""Saya tidak berkata demikian, ya. Kamu sendiri yang berujar. Berarti benar? Kamu suka gonta-ganti, mana tahu kasusnya sama. Lagi puyeng liat yang bening dikit, langsung jual diri.
"Maafkan perilaku Ibra ya, Bu," pinta bu Yani saat melepaskan pelukan perlahan lalu kemudian menyapa Kinara dan memeluknya.""Ya Allah, Ibra. Kenapa bisa seperti ini, Nak? Ya Allah." Kondisi Ibra yang sangat memperihatinkan semakin membuat air mata bu Yani mengucur deras. Luka dimana-mana. Wajahnya di beberapa titik sudah ditutupi dengan perban. Bagian mata juga sembab membiru. Dan, Ibra masih juga belum sadar dari pingsannya. Sudah berlalu dua jam dari kecelakaan."Kinara.""Itu nanti saja kita bahas ya, Bu. Fokus sama kondisi Ibra dulu.""Jadi ibu, ibunya bapak Ibra?" tanya dokter Fani."Iya, Bu. Saya ibunya.""Bisa ikut saya sebentar, Bu?'"Boleh, Dok."Bu Yani mengikuti langkah dokter Fani ke ruangannya. Sementara Gina tinggal bersama bu Wera juga Kinara. Tak lupa anak sulung bu Yani bersalaman dengan bu Wera juga Kinara.Saat bu Yani keluar dari ruangan IGD tampak dua lelaki sedang berbicara serius
"Kamu ikut Nenek saja ke dalam ya! Biar om yang cari mama.""Benar kata om nya, Ki. Mending kita di dalam aja nunggu, dingin juga di luar.""Tapi om janji ya, harus nyari mama sampai ketemu.""Iya, om janji." Dennis pun mengulurkan jari kelingkingnya. Awalnya, Kinara tampak ragu. Namun, bu Yani ikut meyakinkan bahwa Dennis bisa menepati janjinya. Barulah Kinara menautkan jari kelingkingnya."Aku titip Kinara, ya, Bu. Satu lagi, jangan sampai bu Wera tahu, ya. Aku takut dia kaget dan drop.""Iya, Nak."Kemudian, Dennis pun menekuk lututnya hingga sejajar berhadapan dengan Kinara."Ki, jangan bilang-bilang sama nenek Wera, ya. Kan nenek lagi sakit. Nanti ... kalau nenek kaget, nenek bisa tambah parah sakitnya. Pokoknya Kinara diam aja ya!""Baik, Om."Bu Yani dan Kinara melangkah menuju ruang IGD. "Ya Allah, maaf jika aku terpaksa mengajarkan berbohong," ucap Dennis dalam hati.
Dennis mengangguk. Bu Wera, Laras, juga Kinara berpamitan dengan Syahrial. Meski mereka tak diperlakukan sopan. Terakhir, berpamitan dengan bu Yani yang terpaksa tinggal di rumah sakit untuk menemani Ibra."Maafkan mantan suamimu ya, Ras," bisik bu Yani saat mereka berpelukan."In syaa Allah aku sudah memaafkannya jauh hari, Bu."***"Jadi, apa yang ingin kamu katakan, Den?" tanya Laras saat mereka sudah sampai di rumah Laras. Bu Wera juga Kinara sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah."Apa berhubungan dengan yang dikatakan papa kamu tadi, Den?" Laras menatap tak senang."I-iya, Ras. Aku ... aku juga baru tahu ka-kalau pel@kor itu anak papa juga.""Rupanya, banyak hal yang aku tidak tahu soal kamu ya, Den. Kita teman dekat. Pantas saja selama ini kamu tidak terbuka sama aku dan Dinda. Rupanya kamu menyimpan banyak rahasia.""Berarti kamu tahu saat mas Ibra berkhianat lima tahun dulu? Kenapa kamu pura-pura me
"Oh tidak, tidak. Tidak ada masalah. Kenapa nelpon?""Enggak, cuma ngasih tahu kalau aku nggak jadi pulang hari ini. Biar papa nggak cemas, makanya aku kasih tahu.""Oh, oke. Sudah telpon mamamu?""Sudah, sebelum telpon papa, aku telpon mama.""Terus?""Terus apa, Pa?""Iya, maksud papa, apa kata mamamu?""Mama jawab iya aja. Emangnya kenapa, Pa? Ada masalah ya?""Iya, Bry. Papa tadi dapat kabar, anak teman papa butuh darah. Kebetulan darahnya sama dengan kamu. Kamu bisa donor?""Anak teman papa? Kok bisa sama golongan darahnya? Laki-lkai ata perempuan, Pa?""Perempuan, iyalah, namanya golongan darah wajarlah sama. Kamu bisa tidak, Bry?""Hmm ... kurang tahu aku, Pa. Kalau begadang mana mungkin bisa donor. Pendonornya kan musti istirahat yang cukup dan segala macamnya. Kenapa nggak darah papa aja yang di donor?""Mana bisa, Bry. Papa sudah tua mana bisa. Kamu bisa bantu papa c