"Kamu ikut Nenek saja ke dalam ya! Biar om yang cari mama."
"Benar kata om nya, Ki. Mending kita di dalam aja nunggu, dingin juga di luar.""Tapi om janji ya, harus nyari mama sampai ketemu.""Iya, om janji." Dennis pun mengulurkan jari kelingkingnya.Awalnya, Kinara tampak ragu. Namun, bu Yani ikut meyakinkan bahwa Dennis bisa menepati janjinya. Barulah Kinara menautkan jari kelingkingnya."Aku titip Kinara, ya, Bu. Satu lagi, jangan sampai bu Wera tahu, ya. Aku takut dia kaget dan drop.""Iya, Nak."Kemudian, Dennis pun menekuk lututnya hingga sejajar berhadapan dengan Kinara."Ki, jangan bilang-bilang sama nenek Wera, ya. Kan nenek lagi sakit. Nanti ... kalau nenek kaget, nenek bisa tambah parah sakitnya. Pokoknya Kinara diam aja ya!""Baik, Om."Bu Yani dan Kinara melangkah menuju ruang IGD."Ya Allah, maaf jika aku terpaksa mengajarkan berbohong," ucap Dennis dalam hati.Dennis mengangguk. Bu Wera, Laras, juga Kinara berpamitan dengan Syahrial. Meski mereka tak diperlakukan sopan. Terakhir, berpamitan dengan bu Yani yang terpaksa tinggal di rumah sakit untuk menemani Ibra."Maafkan mantan suamimu ya, Ras," bisik bu Yani saat mereka berpelukan."In syaa Allah aku sudah memaafkannya jauh hari, Bu."***"Jadi, apa yang ingin kamu katakan, Den?" tanya Laras saat mereka sudah sampai di rumah Laras. Bu Wera juga Kinara sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah."Apa berhubungan dengan yang dikatakan papa kamu tadi, Den?" Laras menatap tak senang."I-iya, Ras. Aku ... aku juga baru tahu ka-kalau pel@kor itu anak papa juga.""Rupanya, banyak hal yang aku tidak tahu soal kamu ya, Den. Kita teman dekat. Pantas saja selama ini kamu tidak terbuka sama aku dan Dinda. Rupanya kamu menyimpan banyak rahasia.""Berarti kamu tahu saat mas Ibra berkhianat lima tahun dulu? Kenapa kamu pura-pura me
"Oh tidak, tidak. Tidak ada masalah. Kenapa nelpon?""Enggak, cuma ngasih tahu kalau aku nggak jadi pulang hari ini. Biar papa nggak cemas, makanya aku kasih tahu.""Oh, oke. Sudah telpon mamamu?""Sudah, sebelum telpon papa, aku telpon mama.""Terus?""Terus apa, Pa?""Iya, maksud papa, apa kata mamamu?""Mama jawab iya aja. Emangnya kenapa, Pa? Ada masalah ya?""Iya, Bry. Papa tadi dapat kabar, anak teman papa butuh darah. Kebetulan darahnya sama dengan kamu. Kamu bisa donor?""Anak teman papa? Kok bisa sama golongan darahnya? Laki-lkai ata perempuan, Pa?""Perempuan, iyalah, namanya golongan darah wajarlah sama. Kamu bisa tidak, Bry?""Hmm ... kurang tahu aku, Pa. Kalau begadang mana mungkin bisa donor. Pendonornya kan musti istirahat yang cukup dan segala macamnya. Kenapa nggak darah papa aja yang di donor?""Mana bisa, Bry. Papa sudah tua mana bisa. Kamu bisa bantu papa c
"Silakan. Aku antar ya.""Den, duduk dulu. Aku mau liat Kinara dulu, dia sakit."Dennis mengangguk cemas. Perasaannya sungguh tidak tenang. Namun, diperbolehkan masuk sedikit memberi kelegaan pada hatinya.Sebelum menuju kamar Kinara, Dinda pun bersalaman terlebih dahulu dengan bu Wera karena kebetulan lewat depan ibunya Laras."Din, kok bawa Dennis sih ke sini. Aku yakin, kamu pasti dijadiin tumbal 'kan sama dia. Kali ini aku minta sama kamu. Apapun itu, jangan paksa aku untuk percaya. Dia tak sebaik yang kita pikir, Din," bisik Laras tak lama masuk ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, mereka menemukan kondisi Kinara sedang tertidur."Ras, aku ke sini emang karena Dennis. Semalam ....""Din, maaf telepon malam-malam. Penting!"Dinda yang kala itu masih asyik menonton televisi dengan suaminya, agak curiga karena Dennis menghubunginya sudah dini hari. Sebelum mengangkat telepon, Dinda sudah terlebih dahulu meminta izin b
"Gimana, Mbak? Bisa?""Bisa, Pak. Mari!"Seorang petugas PMI pun menuju ruangan khusus donor darah. Bryan bisa menjadi pendonor setelah seharian beristirahat total."Aku akan mendonorkan berapa pun kantong darah yang dibutuhkan, asal papa menjauhkan diri dari mereka. Tidak lagi berkomunikasi dengan mereka. Jika mereka butuh secara finansial, biar aku yang menanganinya. Ingat, Pa. Apa yang aku lakukan ini bukan semata untuk memaafkan papa. Bukan semata dengan gampang menerima pengkhianatan papa. Namun, aku lakukan ini demi nama baik keluarga, terpenting demi mama.""Ya, Bry. Papa janji."Begitulah perjanjian yang dibuat Bryan setelah melihat kondisi Liana semalam. Dan, Bryan langsung mengajak papanya pulang ke rumah. Meski Syahrial dan Yati tidak tidur sekamar, setidaknya Bryan bisa menjawab kegundahan hati Yati yang tak terucap padanya."Sebentar lagi, darahku akan mengalir di tubuhmu. Namun, semenjak itu juga, kamu dan ibumu tid
Dikeremangan malam mata bu Yani berbinar kala melihat Laras berjalan mendekat tempat dia berdiri dekat pintu utama ruang ICU."Akhirnya kamu datang, Ras.""Iya, Bu. Aku ke sini karena Kinara badannya belum turun-turun juga.""Haa? Kinara panas?" Bu Yani yang kaget langsung menaruh tangannya di kening Kinara."Bu, boleh minta tolong nggak.""Apa, Ras? Iya, nih. Kinara panas.""Ibu aja ngomong sama petugas medis di dalam ya! Biasanya ada rentangan umur ada yang diperbolehkan masuk. Kinara kan belum cukup umur juga.""Ya sudah, ibu masuk dulu buat minta izin."Kakak Ibra sedang tidak berada di tempat, dia sedang pergi beli makan untuk di santap malam ini."Kamu nggak ikutan masuk, Ras?" tanya Dinda. Kali ini bu Wera tidak ikut dikarenakan ingin istirahat. Namun, ibunya Laras lah yang menghubungi bu Yani, bahwasanya Laras dan Kinara akan menemuinya di rumah sakit. Haru biru dan bahagia yang tak terucap deng
Usai menghubungi kedua buah hatinya, setengah jam kemudian dua anak lelakinya itu sampai. Mereka benar-benar tidak menyangka akan keputusan mamanya. "Mama tahu kalian pasti berat akan keputusan yang mama ambil sekarang. Namun, perlu kalian tahu, pengkhianatan fatal yang seorang suami tidak akan pernah terhapus begitu saja. Dan, papa kamu melakukan hal fatal itu. Berbeda jika tidak separah ini, tidak sampai berhubungan intim, mungkin mama hanya menganggap itu masalah selewat saja.""Tapi bagaimana jika perusahaan kita merosot tajam, Ma? Banyak karyawan yang harus kita gaji.""Tidak akan, kalian tidak perlu memikirkan terlalu jauh. Biar mama yang urus. Papa kalian pantas diberi ganjaran.""Ya sudah, Ma. Aku mendukung apapun keputusan mama," ucap Dennis."Aku juga, Ma. Meski pel@kor itu akan menang karena mama berpisah.""Bry, berpisah tidak selamanya kalah. Dan, mereka pasti akan mendapat ganjaran perbuatannya.""Cob
"Hah? Buka hati buat aku."Laras kembali mengangguk."Tapi perlahan ya, Den."Dennis yang merasa terharu langsung sujud syukur di lantai. Berulang kali dia mengucapkan kata alhamdulillah.Mendung yang begitu lama menyelimuti hati Dennis, dalam sekejap mata berubah.Semalam, saat memutuskan untuk membaca buku yang diberikan Bryan, mata Laras memanas dan menurunkan bulir bening. Dia haru membaca kata demi kata yang ditulis Dennis.Selama ini dirinya memang tidak sadar akan perhatian ataupun sikap lain yang lebih dari Dennis. Mungkin semasa kuliah, Laras lebih fokus agar bisa meraih nilai yang bagus."Din, aku mau ngobrol. Bisa?""Ngobrol aja, Ras. Kalau aku angkat, berarti aku bisa. In syaa Allah kapanpun kamu butuh aku siap membantu.""Din, kamu udah tahu lama ya soal perasaan Dennis sama aku?" Awalnya, Laras sempat mengurung niatnya untuk menghubungi Dinda."Ka-kamu tahu dari mana? Dennis?"
"Ibra, kamu sudah sadar, Nak?" terdengar bergetar kata yang terucap dari bibir tanpa polesan itu.Pasca rawat intens di ICU selama empat hari, tepat sehari setelah kejadian listrik padam. Ibra bangun dari tidur panjangnya. Bubur yang tertarik di kedua sisi seketika kembali ke posisi semula."Bu, ibu, kenapa aku tidak bisa melihat apapun," ucap Ibra sembari meraba-raba. Sang dokter yang ada di sana seolah memberi kode pada bu Yani yang menatapnya dalam keheranan."Aku buta, Bu?" Suara Ibra yang menggema tak terkendali. "Sabar, Ib. Sabar." Namun, Ibra seolah tak mendengar apa yang dikatakan bu Yani. Ibra malah semakin memberontak, membuat dokter menyuntikkan obat penenang padanya."Anak saya buta, Dok?" tanya bu Yani disela tangis yang menjadi-jadi, saat mereka sedang berada di ruangan lain.Dokter Laura sebagai dokter spesialis syaraf mengangguk seraya memejam kedua matanya."Yang sabar, Bu.""Saya akan sabar, Dok. Tapi kenapa tidak sejak awak saya diberi tahu. Dokter bilang hanya ada