Di rumah sakit Rebecca duduk di ruang tunggu dengan perasaan kacau, air matanya terus mengalir deras. Dia tidak mengerti mengapa semua bisa terjadi seperti ini.Sedangkan Demian, kakinya terus mondar-mandir di depan ruang periksa. Wajahnya kusut, memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam.Keduanya segera menoleh ke arah pintu saat terdengar orang keluar dari ruangan tersebut."Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Demian cemas."Anda orang tuanya?" tanya dokter menatap Rebecca dan Demian secara bergantian."Iya Dok, kami orang tuanya," jawab Rebecca."Baik, mari ikut ke ruangan saya," ucap Dokter melangkah pergi menuju ruangan yang berada di ujung lorong rumah sakit.Sementara itu di ruang periksa. Seorang pria masuk. Di ruangan itu sudah tidak ada orang kecuali bayi yang terkapar lemah.Pria itu menahan air mata yang mengalir begitu deras. Dia membelai wajah mungil yang saat ini terlihat begitu pucat. Beberapa alat medis di pasang di tubuhnya kecil tak berdaya itu.Hati Dion han
Revan menginjak pedal gas, mobil yang dia kemudi melaju meninggalkan rumah Flora. Wanita yang duduk disampingnya menatap lurus kedepan, wajahnya masih cemberut."Ayolah Flo, sudah. Nanti kalau Key sama Rey tanya gimana?" bujuk Revan.Masih tak bergeming, keberadaan Revan tidak di anggap ada oleh Wanita bergaun putih dengan motif bunga warna-warni."Nanti mampir ke taman bermain yuk!" ucap Revan mencoba membujuk Wanita tersebut.Tetep diam, hal ini membuat jiwa usil Revan meronta-ronta. Dia menginjak pedal rem saat mobil melewati jalan sepi.Mobil berhenti lama, pada akhirnya Flora melempar wajahnya pada Revan. Pria itu tersenyum penuh arti menatap Flora."Apa maksudmu?" tanya Flora sinis."Setelah di pikir-pikir yang harusnya tidak di pikir. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu," ucap Revan menaik-turunkan alisnya."Nggak jelas banget, cepetan jalan," ucap Flora memicing."Baik, setelah pekerjaanku selesai," jawab Revan singkat."Pekerjaan ..." ucapan Flora terpotong.Revan menangku
Rebecca dan Dion duduk di salah satu cafe terdekat dari rumah sakit. Keduanya memasang wajah serius. Saat ini Demian sedang menjaga Lydora dan ini adalah kesempatan yang tepat bagi mereka membicarakan masalah.Wanita yang memakai blazer hitam itu meminum segelas teh hangat hanya dengan satu kali tegukan. Masalah ini membuatnya menjadi depresi.Dion tak kalah pusing, otaknya berpikir keras bagaimana caranya dia bisa mendorong darah tanpa sepengetahuan Demian."Kau sudah cek darah?" tanya Dion cemas."Belum lah, aku bilang kalau aku sedang sakit. Hanya Demian yang cek," ucap Rebecca memainkan gelas yang ada di genggamannya."Syukurlah." Dion menarik napas lega."Baik, sekarang pikirkan caranya. Bagaimana kita menukar Sempel darahku dengan darahmu? aku tidak punya kenalan orang dalam sama sekali," ucap Rebecca sambil meremas kepalanya."Kita bisa nyewa OB mungkin," sahut Dion meneguk kopi."Astaga, ini bukan sinetron ataupun novel Dion. Siapa yang mau kehilangan pekerjaannya di zaman sul
Di rumah sakit Demian sedang duduk di tepi ranjang. Pandangannya tertuju pada bayi mungil yang saat ini tertidur lelap.Banyak alat medis yang terpasang di tubuhnya, melihatnya saja tidak tega. Bila biasanya anak itu selalu menangis dan rewel, tapi lain saat ini. Bibir mungilnya mengatup rapat.Ingin sekalian Demian mendengar tangisan yang riuh itu kembali. Dirinya menyesal terkadang sering mengeluh saat bayinya rewel."Makan dulu Mas," ucap Rebecca yang baru saja datang dan membawa kantong plastik.Demian melempar pandangan ke arah pintu dan tersenyum teduh. Setidaknya dia lega karena sang istri tidak merasakan kepedihan lagi."Iya, kamu sudah makan belum?" tanya Demian bangkit dari ranjang dan melangkah menuju sofa. "Belum, ini kita makan sama-sama. Aku nggak bisa makan di luar," ucap Rebecca sambil menatap Lydora."Yaudah, sini kita makan barengan," ucap Demian yang segera membuka kantong plastik dan mengeluarkan dia bungkus nasi.Meskipun tidak sehancur tadi pagi, masih terlihat
Revan menghempaskan tubuhnya di kasur. Disaat bersamaan ponselnya berdering. Dengan melawan rasa malas dia merogoh benda pilih yang berada di saku celananya itu."Halo Maa, ada apa?" tanya Revan malas."Bisa ke perusahaan Mama sekarang?" ucap Risa menekan suaranya."Untuk?" tanya Revan singkat."Mama sudah memberi kelonggaran untukmu menikahi janda itu bukan, jadi sekarang kau harus kembali ke perusahaan ini lagi bukan," ucap Risa datar.Revan menghela napas panjang. Suasana hatinya sedang buruk, kenapa Mamanya selalu datang tidak tepat waktu?"Mama, lalu yang ngurus perusahaan Flora siapa dong? Revan masih banyak kerjaan di sini," jawab Revan."Apa yang kau andalkan di perusahaan kecil seperti itu. Lagian furniture cuma membutuhkan tukang dan kayu kan, tidak ada urusan yang penting," sahut Risa tidak mau kalah."Aku masih mau ngurus surat ekspor-impor Maa," jawab Revan.Risa mencengkram genggamannya. Terdengar suara tarikan napas panjang. Wanita paruh baya itu tidak menyangka akan me
Dion terdiam membatu, lidahnya kaku seketika saat mendengar pertanyaan Demian. Melihat pria di hadapannya kebingungan membuat Demian mencaci topik lain."Tidak perlu di jawab, Lydora sudah memiliki pendonor. Sepertinya Tuban sangat baik padanya, sehingga dia mendapatkan pendonor begitu capat," ucap Demian tersenyum bahagia.Dion memalingkan wajahnya. Pria yang duduk di sampingnya memasang wajah bahagia dan haru. Hatinya begitu pedih saat ini. Di sisi lain dia ingin sekali memeluk anaknya tanpa harus memikirkan status, tapi di sisi lain, Pria ini. Dia bahkan sudah menganggap anak itu seperti anaknya sendiri.Dia merasa bersalah, tapi tidak ada cara lain. Rebecca lebih memilih hidup dengan pria tersebut. Mau atau tidak, Dion harus pergi dari keluarga bahagia ini."Antar aku pulang, sudah ada Rebecca di dalam. Aku harus ke rumah produksi sebentar dan kembali ke rumah sakit lagi," ucap Demian menepuk pundak Dion dan melangkah pergi.Punggung lebar itu perlahan menjauh. Dengan langkah bera
Di rumah sakit, Rebecca duduk di samping ranjang. Kepalanya bersandar di ranjang tersebut. Mata sayu itu menatap bayi mungil yang masih menutup matanya.Jemari Rebecca memainkan jemari mungil yang di beri sepotong kayu untuk menjaganya agar selang infus tidak ditarik."Sayang, sampai kapan kamu bobok, ayo dong buka mata. Kamu nggak kangen sama Bunda?" tanya Rebecca pedih.Terdengar suara ponsel berbunyi. Rebecca segera meraih benda pipih yang berada tidak jauh darinya.Matanya terbelalak ketika melihat nama yang tertera di sana. Tanpa buang waktu, Rebecca segera membuka chat yang masuk.Ada banyak chat dari nomor yang sama. Jemari dan mata Rebecca membaca dan menggeser layar secara teliti lalu membacanya perlahan."Aku tidak bermaksud menghancurkan hidupmu, kalau aku tau kedatanganku hanya akan menjadi kutukan. Aku tidak akan pernah datang mencari kalian,""Sungguh, aku sangat mencintai kalian. Tapi aku tau semua telah terlambat. Kau dan Lydora telah memilih pria lain menjadi penggant
Demian masih menatap sang istri dengan tajam. Bibir Rebecca masih menutup rapat, hanya matanya yang berkata seolah ada beban begitu berat di dalam."Rebecca, kau baik-baik saja? Percayalah semuanya akan baik-baik saja." Demian memeluk Rebecca kembali.Mungkin karena musibah ini sang istri begitu stres jadi tidak bisa berpikir dengan baik. Baby blues yang dia alami belum sembuh total masih dan harus melihat bayinya terkapar tak berdaya."Kamu istirahat di rumah, aku akan menjaga Lydora. Apa kamu mau aku bawain kasur lipat?" ucap Demian menatap dalam Rebecca.'Mas, andai kau tau kalau Lydora itu bukan anakmu, melainkan anak Dion. Apa yang akan kau perbuat?' batin Rebecca terus mengulang perkataan yang sama, tapi begitu sulit untuk di ucapkan.Demian masih memeluk Rebecca. Memberi waktu untuk Wanita itu meluapkan rasa capeknya. Dia tidak peduli dengan apa yang akan di ucapkannya. Demian yakin kalau itu hanyalah kalimat yang tidak penting....Di meja makan semua penghuni rumah sudah b