Jam pelajaran biologi sedang berlangsung, Aldevan yang duduk paling depan menyiapkan mata dan telinganya agar bisa mengerti penjelasan bu guru di depan. Jujur, duduk paling depan bukanlah keinginan Aldevan, ini justru perintah dari wali kelasnya. Seperti yang kalian tahu, duduk di depan bukanlah sesuatu yang enak.
Sulit mengobrol, sulit mencontek jika ada tugas, dan harus siaga mata sebab yang di depan sangat rentan kena lirikan.
"Aldevan stt."
Aldevan menoleh mendengar panggilan setengah berbisik, rupanya dari Arlan yang duduk melewati satu barisan di sampingnya.
Aldevan hanya mengangkat dagu sebagai bentuk pertanyaannya. Bersuara sedikit saja, dia bisa ketahuan.
"Tangkap kertasnya, bro."
Belum saja Aldevan menjawab, Arlan sudah melempar kertasnya, untung saja Aldevan secepat mungkin menangkapnya hingga tidak ada yang mencurigakan.
Lagi, Aldevan mengangkat dagu, maksud bertanya.
"Buka aja, lo pasti perlu," bisik Arlan me
"Uhk." Mery meraih botol minum dan menenggaknya hingga tersisa setengah. Di balik bias botol bening itu dia melirik wajah Aldevan. Selesai minum, Mery mengatur napasnya yang memburu. "Kenapa? Lo nggak terima? Gue nggak terima penolakan." "Hah?" "Hah hah mulu, lo ngerti nggak?" Mery manggut-manggut paham masih setengah tak percaya. Jika dikategorikan, Mery mungkin bingung harus memasukkan ucapan Aldevan dalam kategori mimpi atau nyata. Antara percaya atau tidak, mau tidak mau Mery mencubit pipinya sendiri. "Aww." Setelah itu, barulah Mery sadar, dia mengerjap tidak percaya. Ini benar-benar nyata woi! Bukan mimpi. Sementara Aldevan di hadapannya hanya mengulum senyum. "I-ini seriusan, gu-gue nggak mimpi ya?" ujar Mery, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Bagaimana bisa ini terjadi secara mendadak, kalau pake cara romantis sih Mery mau saja. Aldevan berdecak. "Masih nggak percaya? Oke gue
Dalam kelas, tepat sekali ketika jam kosong dimulai setelah Adnan memberitahu jika guru-guru sedang mengadakan rapat penting. Adnan mengatakan rapat itu membahas tentang acara besok, yaitu pertunjukan eskul untuk menyambut kunjungan kepala sekolah SMA Nishida.Sebab itu, sekarang Aldevan berkumpul bersama dua temannya di ruang properti eskul, Arlan dan Kevin. Seperti biasa, mereka juga termasuk dalam acara."Ciah, apa gue katakan. Gue bakal menang." Arlan mendaratkan pantatnya di kursi. Tersenyum kemenangan. "Tapi percuma sih gue nagih taruhan lo, lagi pun lo udah nembak Mery secara terang-terangan, cukup memuaskan bagi seorang Arlan," ucap Arlan, dia menepuk bahu Aldevan sekali. Lalu tertawa pelan."Taruhan? Lo bedua taruhan apalagi, kok gue gak diajak?" tanya Kevin, duduk di kursi samping Arlan.Arlan mencibir. "Percuma geb, gue kasih tau pun lo nolak mentah," katanya. "Jarang emang cowok penakut kayak lo mau taruhan. yang ada udah mundur dulu."
Mungkin, bagi Hana masa lalunya dengan Aldevan itu sesuatu yang sulit dilupa. Buktinya, buku album berisi foto kenangan mereka tertata rapi pada rak khusus samping kasur Hana. Dia meraba tiap lembar halaman album itu, foto masa kecil mereka begitu rapi bahkan tak ada yang usang sedikit pun, masih seperti baru saja dicetak. "Gue kangen lo yang dulu, Aldevan." Hana mendekap album itu, tersirat rasa penyelasan mendalam yang ia pendam karena pernah meninggalkan Aldevan dulu. "Gue sekarang ngerti kenapa lo marah, lo pasti kesel gue tinggalin mendadak gitu." Setetes air mata Hana berhasil jatuh. Rasa sesak timbul di dadanya. "Tapi gue bisa apa, gue kepepet banget waktu itu, gue nggak bisa ngomong panjang lebar sama lo. Ayah bilang kalau gue nggak bisa lama-lama di Indonesia." Masih, kehangatan yang pernah ia rasakan dulu rasanya sulit untuk kembali. Hana hampir saja memukul lengannya sendiri. Meskipun Aldevan berada di hadapannya tetap sulit memastikan Aldeva
Selama perjalanan mereka menuju rumah Mery, Aldevan hanya diam tanpa bicara, tangan Mery memeluk perutnya. Sesekali menempelkan wajahnya ke bahu cowok itu. "Gabut banget. Pengen ngelakuin sesuatu, gelitikin lo aja ya?" tanya Mery tanpa dosa. Dia mendongak sayangnya tidak bisa melihat wajah Aldevan. "Tolol! Kalo gue kehilangan keseimbangan terus jatoh gimana?" ketus Aldevan. "Lagian kita lagi di jalan, ngerti dikit kek. Bego jangan dipelihara lama-lama," katanya lagi. Mery mengerucutkan bibir. Daripada mendengar ketusan Aldevan, Mery memilih melihat-lihat jalanan. Pemandangan sore memang begitu indah, langit mulai berwarna jingga dan burung-burung beterbangan di langit cukup membuat Mery terpana. Dia mengangkat telunjuknya berniat menghitung burung-burung itu. "Satu, dua, tiga, em ... sepuluh. Ada sepuluh burung," kata Mery usai menghitung. Dia mendadak haus, ditepuknya bahu Aldevan sekali. "Gue haus, pengen minum. Ke supermarket deh," ajaknya.
Terkadang aku rapuh, menyembunyikan semua beban dengan senyuman manis yang dilihat semua orang. Namun nyatanya, aku lebih menderita jauh dari pemikiran kalian sekarang.-Mery Theresia- Hal yang menyenangkan bagi Mery jika dapat berkumpul bersama temannya malam ini, Tasya dan Raya senang hati mengiyakan permintaan Mery untuk menginap di rumahnya. Sebab itu saat ini kamar Mery penuh dengan bungkus makanan, Raya seenaknya memakan camilan dan memanfaatkan fasilitas kamar Mery yang tidak lain adalah TV LED. Sementara Tasya, dia terlihat sibuk berkutat dengan macbook Mery. "Emang bokap lo kemana lagi, Ry, Bukannya baru pulang dari Amerika? enak bener bisa bolak-balik seenaknya kayak setrikaan," tanya Raya. Dia menatap ke arah layar yang menampilkan drama Korea sambil memakan camilan. Mery memutar bola matanya malas. Bukan hanya itu, dia juga malas memperhatikan ayahnya. "Gue nggak tau, nggak penting banget, apa emang urusannya sama gue?" sahutnya sekenanya.
"Lo udah nyiapin semuanya, Al ? besok kak Bima minta kita ngumpul sebelum pukul tujuh, menurut gue harus selesai malam ini juga," tanya Kevin. Memutar tubuh menghadap Aldevan. Aldevan menggeleng, malam ini sungguh melelahkan baginya, bukan uring-uringan di kasur dia justru sibuk mempersiapkan pertunjukan eskul besok. Bukan hanya mereka, para anggota OSIS lain juga sibuk mempersiapkan panggung dan sarana lainnya di lapangan sana. Arlan memijit pelipisnya, ia menaruh kardus berisi stick drum ke atas meja. "Menurut gue kita nggak bisa selesain malam ini juga, ada banyak barang terus properti eskul yang belum siap, gue udah capek banget, udah dua jam kita di sini. Mana nggak ada makanan lagi." Benar sekali, Kevin bahkan belum makan mulai siang tadi hingga perutnya yang keroncongan membuat Arlan tertawa renyah. "Haha, cacing lo minta dikasih makan," kata Arlan. "Gimana, Al ? Lo mau di sini sampai kapan?" Aldevan menghela berat, ia tak tau mau
Diangin Sepuluh menit gue nyampeLo tnggu dpn rumah Gk ush bntah Mery berdecak sebal, baru saja ia duduk menghadap cermin Aldevan sudah menchatnya dan mendesaknya dalam sepuluh menit. Ia tak habis pikir mengapa Aldevan memberinya sedikit waktu untuk berdandan. Mungkin dirinya memang terlalu cantik, hingga tak perlu pakai bedak dempul. Ho oh, gue doainlo kempes ban biartelatan dikit. Bodo amat Mery mendengus lagi, ia memilih mengiyakan saja perkataan Aldevan. Toh, ini juga hal yang baik. Berangkat bareng pacar baru. Merasakan angin pagi hari yang sejuk, atau pamer pada teman-temannya plus sama adik kelas biar dia iri gak ketulungan. Mery mengambil bedak di atas meja, mengoleskannya rata pada pipi dan wajahnya yang mulus. Sungguh, ia cukup bersyukur Aldevanugerahi wajah secantik ini. Ia lalu mengoleskan sedikit liptint pink yang cocok untuk warna bibirnya. "Cakep dah. Cantik banget gue ya. Haha."
Sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan gerbang SMA Bakti Buana, sosok gadis berambut selengan yang keluar dari mobil itu membuat beberapa pasang mata menoleh. Wajah yang sangat asing, beberapa pasang mata bahkan mengerjap memastikan siapa gadis itu. Namun nihil, tak ada yang mengenalinya, mereka pun kembali pada aktivitas masing-masing. Gadis itu tidak lain adalah Hana, ia mengedar pandang setelah menutup pintu mobil. Ya, ini adalah hari pertamanya sekolah di SMA Bakti Buana. "Gimana menurut kamu? Bagus?" tanya Haris–-ayahnya Hana yang sudah berdiri di sampingnya sambil mengusap turun rambut Hana. "Bagus kok Pa, Hana suka, meski masih bagusan di London sih," jawab Hana. Haris tersenyum. "Iyalah. Ini Indonesia. Bukan London. Kamu mau Papa antar sampai ke kelas?" Hana menggeleng, ia masih kuat berjalan. Toh, apa kata orang-orang nanti jika melihat Haris, bisa-bisa dia disamakan dengan anak SD yang baru masuk sekolah.