Share

TCM 11

Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.

Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.

“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.

Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.

Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.

“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.

Alisya terlihat senyum-senyum sendiri melihat kakaknya begitu manis memperlakukan Ana, sedangkan Mikaila tampak menatap sinis karena merasa tidak senang.

Mikaila merasa jika posisi dirinya di rumah sebagai putri nomor satu akan tergeser oleh kehadiran Ana, gadis itu merasa Ana lebih cantik, berperilaku baik, dan manis darinya. Mikaila memang selama ini selalu dimanja oleh sang ayah, karena itu kehadiran Ana membuatnya iri sebab Zidan mulai sangat perhatian pada Ana.

“Siapa yang masak? Kenapa nggak enak?!” Mikaila menaruh sendok ke atas meja sedikit kasar, membuat semua yang ada di meja makan terkejut.

Alisya mencoba mencicipi makanan yang dikata tidak enak oleh Mikaila, gadis itu malah merasa jika makanan itu sangat lezat.

“Ini enak, kenapa kak Mikaila bilang nggak enak?” tanya Alisya bingung.

Ana merasa bersalah karena adik suaminya tidak menyukai masakan darinya.

“Saya yang masak, jika tidak suka biar saya buatkan yang lain.” Ana bangkit dari tempat duduknya.

Namun, niat baik Ana ditolak mentah-mentah oleh Mikaila, gadis itu melempar serbet ke atas meja kemudian langsung berdiri.

“Nggak perlu! Mau dibuatkan yang lain pun akan tetap sama, hambar!” cibir Mikaila menatap sinis pada Ana.

“Mikaila, kamu bisa nggak sedikit sopan dengan Ana, bagaimanapun dia kakakmu sekarang,” ucap Zidan masih dengan nada lembut memberi pengertian.

Mikaila semakin membenci Ana karena kini kakaknya juga membela wanita itu. Mikaila mengambil tas dan menyematkan di pundak, ia langsung pergi meninggalkan ruang makan untuk pergi ke kampus.

Ana menghela napas kasar, ia tidak mengerti kenapa sikap adik pertama Zidan begitu sangat memperlihatkan jika tidak menyukai dirinya.

“Abaikan dia, kamu duduk lagi. Ayo makan!” ajak Zidan.

Ana hanya mengangguk, ia akhirnya kembali sarapan bersama Zidan dan Alisya.

_

_

_

“Aku berangkat ke kantor dulu,” pamit Zidan seraya mengulurkan tangan kanan ke arah Ana.

Ana bingung, ia menatap punggung tangan Zidan kemudian menatap wajah pria itu.

“Kamu nggak cium tanganku, aku pamit kerja, lho!” Zidan mengingatkan.

Sebelumnya Zidan tidak pernah berpamitan pada Ana dengan cara seperti itu, tapi setelah kejadian sore itu, membuat Zidan merasa untuk memperlihatkan jika mereka sepasang suami istri yang harmonis.

Ana baru tersadar, ia ingat jika Shima juga mencium punggung tangan Aditya ketika kakaknya itu hendak berangkat bekerja.

Ana meraih tangan Zidan, ia lantas mengecup punggung tangan suaminya. Zidan pun tersenyum, ia lantas balik mengecup kening Ana kemudian bersiap berangkat bekerja sekalian mengantar Alisya.

“Aku juga pamit, Kak!” Alisya langsung meraih tangan Ana dan mengecup punggung tangan kakak iparnya.

Ana hanya mengulas senyum, ia berdiri termangu menatap mobil Zidan yang meninggalkan garasi rumah itu.

Selepas Zidan pergi, Ana melakukan kegiatan layaknya seorang ibu rumah tangga, ia membereskan meja makan hingga mencuci peralatan.

“Mbak Ana, biar saya saja,” ucap pembantu Zidan ingin mengambil alih apa yang sedang dikerjakan Ana.

“Nggak apa-apa kok, Bi! Lagian mau ngapain, ayah juga sedang istirahat.” Ana memajang senyum dengan tangan yang masih terus mengusap piring dan peralatan lain.

Pembantu Zidan menghela napas, ia akhirnya membiarkan Ana mengerjakan pekerjaan itu.

Sebenarnya Ana hanya mencari kesibukan agar dirinya tidak jenuh dan kembali mengingat Arga. Dirinya yang tidak diperbolehkan bekerja membuat Ana memiliki banyak waktu luang, dan itu artinya ia akan lebih banyak memiliki ruang untuk terus mengingat mantan kekasih.

Saat siang hari, Ana menyiapkan makanan cair untuk ayah Zidan, sekarang Analah yang mengurus segala kebutuhan asupan gizi ayah Zidan.

“Yah, makan dulu.”

Ana membangunkan ayah Zidan kemudian membantu pria itu setengah duduk agar bisa mudah saat menyuapi ayah Zidan.

Ayah Zidan menatap Ana yang begitu perhatian, tidak menyangka jika putranya bisa memilih seorang gadis baik seperti Ana.

Ana menyuapi ayah Zidan dengan begitu telaten. Sesekali ia harus mengusap sisa makanan yang mengalir ke luar dari mulut dengan tissue.

Ana tiba-tiba teringat tentang orangtuanya, jika mereka sakit dan tidak bisa bangun seperti ayah Zidan, apa dia masih sanggup merawat kedua orangtuanya, mengingat jika perlakuan kedua orangtua Ana yang tidak pernah adil padanya.

Ayah Zidan menggerakkan tangannya, ia menyentuh tangan Ana yang sedang memegang sendok. Pria itu seperti bisa melihat kesedihan di mata Ana.

“Apa Yah? Ayah mau minta sesuatu?” tanya Ana yang memang tidak mengerti maksud dan keinginan ayah Zidan.

Ayah Zidan terlihat mengerakkan bibir, tapi tetap saja Ana tidak mengerti. Ana akhirnya hanya mengulas senyum, ia tidak mungkin memaksa pria itu bicara lebih jelas mengingat kondisi Ayah Zidan yang sudah lebih dari setengah tubuhnya tidak bisa digerakkan.

Ayah Zidan berkata, “Jangan bersedih, apapun masalahnya hadapi dengan senyuman. Zidan anak baik, dia tidak mungkin menyia-nyiakan dirimu.”

_

_

_

Hari-hari Ana kini terasa membosankan, setiap hari ia hanya mengurus ayah mertuanya kalau tidak mengurus rumah, sungguh membuatnya begitu jenuh.

Sore itu Ana terlihat sedang merapikan kamar, hingga Zidan pulang dan langsung menghampiri istrinya. Pria itu langsung mengecup kening Ana, membuat wanita itu terkejut.

“Bagaimana kabar ayah?” tanya Zidan seraya melepas dasi.

Ana terkejut, ia lantas menjawab, “Ayah baik, kondisinya juga stabil.”

Zidan hanya mengangguk, ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ana menatap punggung Zidan yang menghilang dari balik pintu, entah kenapa hatinya merasa aneh dengan sikap Zidan.

“Kenapa aku merasa ingin dia juga menanyakan kabarku? Saat dia diam dan tidak bertanya, hati ini merasa kalut,” gumam Ana seraya mencengkeram pakaian bagian dada.

Zidan memang pribadi yang baik dan hangat, hanya saja semenjak mereka menikah hingga sekarang, Zidan tidak pernah menanyakan bagaimana keadaan Ana atau sekedar menanyakan apakah Ana betah tinggal di rumah itu, apa yang diinginkannya atau sekedar berbasa-basi bertanya apa cita-cita Ana, membuat wanita itu merasa terabaikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status