Share

Bab 3

Ivander tengah menyimpulkan dasi ketika notifikasi dari ponselnya berdering cukup keras. Ia segera memeriksanya karena suara notifikasi tersebut tidak juga berhenti. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah W******p dari Irene. Wanita itu mengirim beberapa pesan panjang. Namun karena malas untuk membaca, Ivander mengabaikannya.

Fokusnya teralih ke m-Banking miliknya, terdapat sebuah transaksi masuk. Ivander tersenyum kecut. Irene mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Yang membuat Ivander tidak habis pikir adalah catatan yang disematkan di sana.

Sebenarnya Ivander cukup merasa bersalah terhadap Irene karena kejadian kemarin. Kejahilannya terlalu berlebihan bahkan sampai membuat wanita itu menangis, tetapi di satu sisi ia juga merasa puas karena berhasil membuat Irene merasa tak berdaya.

“Aku ternyata jahat juga, eh?” Ia terkekeh pelan. “Ah, sudahlah.”

Ivander bergegas untuk berangkat ke tempat kerja dengan menaiki bus kota. Ia tidak memiliki kendaraan pribadi. Areeya sudah menawarinya untuk membeli motor, tetapi Ivander menolak. Terlalu merepotkan. Ia lebih senang menggunakan kendaraan umum karena praktis dan bebas dari kemacetan. Ia juga tidak ingin menambah jumlah hutang yang dirinya harus bayar.

“Hei, Van. Baru datang? Duluan ya.”

Ketika sampai di pintu belakang tempat kerjanya, Ivander bertemu temannya yang  akan pulang. Ia mengangguk singkat, dan melambaikan tangan kepada teman kerjanya tersebut, lalu masuk ke loker karyawan. Di sana sudah datang dua pekerja lain yang satu shift dengannya.

“Van, ada wanita cantik yang mencari kamu. Dia terus nanya kapan kamu bakal datang- nyaris ke setiap pegawai.”

Dahi Ivander mengerinyit dalam. Rasanya ia tidak memiliki janji dengan siapa pun. “Siapa nama wanita itu?” tanyanya penasaran.

“Kalau tidak salah namanya Irene. Dia masih ada di dalam.”

Mendengar nama Irene disebut, tangan Ivander terkepal erat. Ia mendesah berat. Padahal Ivander malas bertemu dengan Irene, tetapi wanita itu malah mendatanginya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah pertemuan terakhir mereka.

“Oke, thank you.”

“Kekasihmu?” Shiki bertanya dengan nada penasaran.

“Bukan, dia … “ Ivander sendiri bingung menyebut Irene sebagai apa. Jelas wanita itu tertarik padanya, dan menginginkan hubungan lebih dari sekedar klien. Irene juga mengatakannya dengan tersirat kemarin. Meski begitu, Ivander memiliki pendirian untuk tidak menjalin hubungan dengan wanita dalam waktu dekat- terutama dengan kliennya sendiri. Itu menjadi pilihan paling terakhir yang mungkin dilakukannya. Menurut Ivander, hal itu hanya akan merepotkannya.

“ … Dia cuma wanita yang tertarik padaku. Sepertinya.”

“Hmm, wanita itu- dia tipe wanita yang bakal melakukan apa aja agar keinginannya terpenuhi. Apalagi dia sepertinya dari kalangan atas.”

Penilaian Shiki jarang melesat. Temannya itu seorang pengamat. Ketertarikannya terhadap karakter manusia membuat ia gemar mengawasi, dan dengan mudah mengetahui seluk beluk seseorang- terutama dari sifat dan karakter. Jurusan Psikologi yang diambil Shiki juga semakin menambah keyakinan Ivander untuk mempercayai ucapan pria itu.

“Oke. Thanks untuk sarannya.”

Setelah percakapan singkat mereka, Shiki dan Ivander berjalan bersamaan menuju counter bar untuk melayani pengunjung. Ivander mengedarkan pandangannya ke seluruh area bar untuk memastikan apakah Irene masih berada di sana atau tidak. Lalu, matanya bertubrukan dengan netra biru gelap yang tampak mencolok meski di keremangan.

Irene masih berada di sana. Duduk di ujung ruangan sendirian dengan segelas ‘El Presidente.’ Wanita itu melihat ke arah Ivander dengan tatapan lekat dan mendamba yang tidak disembunyikan. Mirip tatapan predator yang tengah mengawasi mangsanya. Irene tersenyum tipis, dan melambaikan tangan sebagai tanda kehadirannya.

Anggukan sopan Ivander berikan pada wanita itu. Setelahnya ia mulai sibuk melayani permintaan minuman dari pengunjung. Meski begitu, Ivander masih bisa merasakan kalau Irene tengah memerhatikannya tanpa melepaskan pandangan sedikit pun. Jenis tatapan intens yang membuat risi. Hal itu tentu saja membuat Ivander sedikit bergidik, tetapi ia berusaha mengacuhkan perasaan itu dan hanya fokus pada pekerjaannya.

Semakin malam pengunjung yang datang semakin banyak. Bar itu ramai oleh manusia-manusia yang melepas penat dari kerasnya kehidupan. Alkohol membuat mereka sejenak melupakan beban, dan permasalahan yang menghantui meski terdapat beberapa orang hanya datang untuk mengobrol. Yang pasti mereka memiliki alasan tersendiri mendatangi bar tersebut. Menjelang subuh, Ivander bisa sedikit merenggangkan ototnya yang kaku karena terlalu lama berdiri. Pengunjung yang datang juga mulai berkurang sehingga ia tidak terlalu sibuk.

Disaat itu, Irene memanfaatkan kesempatannya untuk menyapa Ivander.

“Ivander,” panggilnya dengan suara lembut.

“Selamat malam, Irene. Kamu mau pesan sesuatu?” balas Ivander santai.

Kehadiran Irene memang tidak diharapkan. Namun ia harus tetap bersikap profesional, dan tidak mencampurkan urusan pribadinya. Dalam hati Ivander sebenarnya bertepuk tangan akan kesabaran Irene menungguinya sejak tadi. Kegigihan wanita itu patut diacungi jempol.

“Aku ingin pesan kamu aja gimana?”

Ivander mengukir senyum tipis, lalu tertawa pelan. “Kamu bisa aja, Nona,” balas Ivander -menganggap yang dikatakan Irene sebagai sebuah candaan. Meski sebenarnya ia sadar kalau wanita itu serius.

“Sebenarnya aku serius, tapi … ya udah lah.” Nada suara Irene setengah mencibir. Namun wanita itu segera menutupinya dengan tersenyum manis ke arah Ivander. Ia memainkan ujung rambutnya yang dicatok sembari menunjukkan wajah seduktif.

Pria lain mungkin akan langsung menyerahkan diri jika diperhatikan sampai seperti itu oleh Irene. Apalagi, ditambah dengan kerlingan nakal dari wanita itu. Namun hal itu tidak mempan untuk Ivander. Ia lumayan kebal. Kecuali kalau ia tengah sangat bergairah karena obat, akan berbeda ceritanya. Lagipula Ivander tahu wanita seperti Irene hanya akan merepotkan kalau ia tetap membiarkannnya berlama-lama di sisinya. Menjaga jarak adalah pilihan tepat untuk sekarang.

 “Aku pesan …” Irene menyebutkan pesanannya. Kurang dari lima menit Ivander telah meyajikan minuman milik wanita.

“Ini minumanmu,” ucap Ivander singkat.

Irene tidak langsung menyentuh minuman tersebut. Ia justru malah memerhatikan Ivander dengan lekat. Kedua telapak tangannya dijadikan sebagai tumpuan untuk dagunya. Ivander yang merasakan tatapan tersebut tentunya merasa kurang nyaman.

“Ada lagi yang kamu butuhkan, Nona?”

“Ngga, ternyata memandangimu aja juga sangat menyenangkan, Ivander.” Irene mengucapkan kalimat itu dengan senyum manis yang masih tersamat di bibirnya.

Sebelah alis Ivander terangkat ke atas. Ia menunggu Irene melanjutkan kalimatnya, tetapi wanita itu mimilih menikmati minumannya, dan seolah melupakannya. Ivander beralih melayani pengunjung lain yang berada di sebelah Irene. Sejenak ia kembali larut dengan pekerjaannya, dan melupakan eksistensi Irene. Sayang hal tersebut tak berlangsung lama ketika Irene memanggilnya.

“Ivander.”

Ivander menghampiri Irene. “Ada ap-”

Ciuman Irene yang tiba-tiba seketika menghentikan Ivander. Ciuman singkat tersebut terasa panas di bibir Ivander. Panas dalam arti harfiah.

“Sampai jumpa lagi.” Setelah mengatakan itu Irene pergi begitu saja tanpa berbalik lagi. Wanita itu bahkan belum membayar minumannya. Ivander sendiri masih terlihat gamang dengan wajah bingung. Ia menyentuh bibirnya yang tadi dicium Irene.

“Dia sedang demam?” gumamnya pelan. Entah kenapa perasaan khawatir tiba-tiba melingkupi diri Ivander. Tanpa alasan yang terlalu jelas, kakinya melangkah untuk mengikuti Irene yang berjalan ke luar dari bar. Punggung wanita itu tampak sangat kecil dan rapuh ketika Ivander melihatnya dari belakang.

Lalu, tepat saat berada di pintu masuk bar- di mana para penjaga keamanan dan staff bar berdiri, Irene ambruk ke lantai dengan suara yang cukup keras. Kejadian itu mengakibatkan kekagetan bagi beberapa orang yang berada di sana. Saat para staff dan penjaga keamanan akan memindahkan Irene ke tempat yang lebih sepi dan nyaman, suara teriakkan tertahan Ivander menghentikkan mereka.

“Irene!” Ivander berteriak kaget. Ia menghampiri tempat di mana wanita itu tergeletak tak berdaya.

“Kamu kenal wanita ini?” tanya salah satu staff pada Ivander.

“Ya, dia temanku. Sepertinya dia demam tinggi makanya sampai pingsan.” Ivander menjelaskan secara singkat. Ia menyentuhkan punggung tangannya di kening Irene yang ternyata memang sesuai dugaannya- suhu tubuh wanita itu sangat panas.

Kepanikan tidak hanya dirasakan oleh Ivander, tetapi juga oleh beberapa staff yang mendengar penjelasan saat pria itu mengatakan bahwa Irene tengah dalam keadaan sakit.

“Apa kita harus panggil ambulan?”

Pertanyaan salah satu staff tersebut tentunya sangat bodoh. Tidak mungkin bisa mereka memanggil ambulan dan membuat keributan yang mengakibatkan kekhawatiran  pengunjung lain. Bos mereka pasti akan langsung mengamuk kalau mereka melakukan hal seperti itu.

“Jangan, kita pindahkan ke ruang staff aja dulu. Coba kamu cari di luar supir yang mengantar wanita ini. Aku yakin ada beberapa pengawal yang juga datang bersamanya.”

Setelah mengatakan itu, Ivander mulai mengangkat  tubuh Irene dengan dibantu oleh staff wanita lain yang membantu mengambilkan tas yang dibawa Irene. Ivander sedikit berjengit ketika merasakan suhu tubuh wanita itu yang sangat panas di kulit telapak tangannya. Ketika mereka hampir sampai di pintu belakang bar yang melewati lorong panjang dari pintu masuk, kedatangan dua pria berjas hitam menghentikkan Ivander. Ia mengenali salah satu dari dua pria berjas tersebut. Pria itu sering bersama Irene.

“Tuan Ivander.”

Sikap pria itu yang menunduk sopan, dan memanggilnya dengan sebutan tuan membuat Ivander salah tingkah. Ia tersenyum kikuk, lalu mulai menjelaskan keadaan Irene pada pria tersebut.

Tanpa membuang waktu, pria itu langsung mengambil alih untuk menggendong Irene.

“Terima kasih, Tuan Ivander. Sisanya biar saya saja yang urus. Kalau begitu kami pergi dulu.”

Namun lengan Irene yang terulur ke arah Ivander serta suara lemahnya yang memanggil pria itu dengan nama lain menghentikan pergerakan pengawal tersebut.

“Liam … ” Air mata Irene mengalir deras di pipinya. Ia terus memanggil Ivander dengan panggilan Liam sebelum akhirnya kembali memejamkan mata.

“… Saya permisi, Tuan Ivander.’

Setelahnya, kedua pria itu pergi seakan kejadian tersebut bukan apa-apa. Staff yang tadi menemani Ivander ketika menggendong Irene pun ikut pergi untuk mengerjakan tugasnya yang sempat tertunda. Ivander ditinggal sendirian dengan ekspresi kebingungan di wajahnya. Pria itu menggaruk pipinya, lalu mendesah pelan.

“Liam? Siapa pula itu. Ah- kenapa juga aku harus peduli?”

Meski ia berbicara seperti itu, raut wajah Irene yang penuh kesedihan cukup menganggunya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status