Share

Bab 5

Irene menatap tajam wanita di hadapannya- Shiori. Pengganggu yang harus segera ia singkarkan. Keadaan Shiori saat ini sangat mengenaskan. Kaki dan tangan wanita itu diikat kuat oleh tali tambang. Mulutnya pun tertutup oleh lakban hitam. Shiori masih tidak sadarkan diri akibat obat bius yang diberikan Irene masih bekerja.

Sejenak Irene memerhatikan keseluruhan penampilan Shiori, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri. Dari aspek apa pun Shiori kalah, begitu lah yang dipikirkan oleh Irene. Wajah wanita itu terbilang biasa saja, hanya sedikit manis karena baby face-nya. Tubuh mungil yang berbalut pakaian kusam dan kebesaran tentunya sangat tidak menarik perhatian.

‘Terus, kenapa Ivander sepertinya menganggap dia sangat spesial?’

Pikiran tersebut terus terbayang dalam benak Irene. Rasa kesal seketika membuncah ketika ia mengingat foto mesra antara Shiori dan Ivander yang di kirimkan anak buahnya.

“Bangunkan wanita itu!” perintah Irene pada pria berbaju hitam yang berdiri di samping Shiori.

Pria itu mengangguk patuh, lalu mengambil wadah berisi air es dan mengguyurkannya ke seluruh tubuh Shiori. Seketika saja Shiori terkesiap dan terbangun dengan wajah linglung. Napasnya memburu dan tubuhnya bergetar kedinginan. Wanita itu melihat keadaan sekitarnya yang gelap gulita.

“Hah… Hmhhh- hmhhhh … ” Kepanikan melanda Shiori ketika merasakan kedua tangan dan kakinya terikat ke kursi. Ia bergerak gelisah -berusaha melepaskan tali yang mengikatnya meski mustahil. Mulutnya yang ditutup lakban semakin menambah kengerian yang dirasakannya. Pikiran bahwa ia tidak bisa mencari bantuan dengan keadaannya saat ini sangat mengerikan bagi Shiori.

“Jangan berisik.” Irene mendengus. Teriakan tertahan Shiori memang tidak keras, tetapi tetap saja menyakiti telinganya. Kondisi Irene yang tengah demam menjadi alasan utama. Kepalanya yang sejak tadi pusing pun semakin pening.

Shiori yang masih belum menyadari kehadiran Irene meski wanita itu sudah berbicara padanya, kembali mengedarkan mata ke sekitar ruangan yang tampak gelap gulita dalam pandangannya. Matanya belum bisa menyesuaikan untuk melihat dalam kegelapan karena terlalu panik dan ketakutan dengan kondisinya yang sangat tidak menguntungkan.

Ingatan terakhir Shiori sebelum kehilangan kesadaran kembali terputar di dalam otaknya. Ketidakberdayaannya melawan pria yang menculiknya, dan bagaimana kasar penculik tersebut ketika memasukkannya ke dalam mobil hitam semakin membuat wanita itu terlihat mengenaskan.

Ketakutan dan kengerian yang menggerayangi fisik dan psikisnya terlalu besar. Namun, Irene yang tidak peduli dan justru merasa kesal dengan sikap menyebalkan Shiori, menampar keras pipi wanita itu sampai telapak tangannya terasa panas dan perih. Ia tidak menyukai fakta kalau Shiori- wanita yang dalam segala aspek berada di bawahnya, mengabaikan dirinya. Irene merasa direndahkan.

“Aku udah bilang jangan berisik ‘kan?! Selain bodoh, apa kamu juga tuli?!”

Teriakan dan bentakan keras Irene yang menggema di dalam ruang gelap tersebut berhasil membuat Shiori berjengit kaget. Wajah dingin Irene yang tertimpa cahaya bulan, perlahan mulai membuka kesadaran akan keadaan sekitarnya. Ia memaksakan dirinya untuk tenang, dan tidak lagi berusaha melepaskan tali yang mengikatnya meski jantungnya berdegup kencang. Kekalutan belum sepenuhnya menghilang dalam diri Shiori, tetapi ia tidak ingin semakin membuat Irene- sang pelaku penculikan, bertambah marah terhadapnya.

“Nah, kaya gini lebih baik. Aku ngga suka kamu buat keributan kaya tadi.”

Irene mengusap lembut sebelah pipi pucat Shiori dengan punggung tangannya yang panas. Tatapannya yang dingin dan menusuk di arahkan pada wanita itu.

“Kamu tahu, aku sangat benci padamu.”

Jantung Shiori berdentam kuat sampai terasa sesak dan menyakitkan ketika kuku tajam Irene bermain-main di kulitnya. Kekejaman wanita itu yang terlihat dari matanya terasa terlalu nyata untuk disebut sebagai akting biasa. Shiori menyadari kalau Irene tidak berbohong akan kata-katanya. Namun ia masih tidak mengerti kenapa dirinya dibenci sedalam itu sampai diculik dan disekap seperti ini.

 “Mmmhh- hmhh … ” Shiori berusaha berbicara- atau setidaknya memberikan tanda pada Irene untuk membiarkannya berbicara dan menanyakan kebingungannya.

“Kamu mau tahu apa kesalahanmu?”

Irene kembali bertanya, dan Shiori menggeleng tegas. Kali ini seulas senyum terbit di bibir Irene. Senyuman yang justru malah membuat Shiori merinding ketakutan- seolah instingnya mengatakan kalau teror yang sebenarnya baru saja dimulai.

Gelengan kuat Shiori tidak digubris Irene sama sekali. Wanita itu masih fokus dengan hal yang ingin dilakukannya. Ia mulai menancapkan kuku-kuku tajamnya yang diberi kutek berwarna ungu tua ke bawah mata Shiori, lalu tarikan kasar ke sebelah kiri dilakukannya.

“Hnmhhh-”

Ringis tertahan Shiori membuat Irene terkekeh senang. Luka yang berusaha dibuatnya di wajah mulus wanita itu hanya berhasil menciptakan goresan merah seperti cakaran kucing. Ia sedikit kecewa luka tersebut tidak mengeluarkan darah sama sekali. Meski begitu Irene yakin Shiori pasti merasakan perih karena aksinya, terlihat dari cairan bening yang mengalir dari mata wanita itu.

“Kesalahan kamu cuma satu, yaitu mengganggu pria yang menjadi milikku,” lanjutnya sembari menjilat sensual jari telunjuknya.

Saat Irene akan kembali menggoreskan kukunya di kulit Shiori, suara dering ponsel menghentikannya. Atensi wanita itu berpindah pada benda pipih yang tergeletak di lantai- itu merupakan ponsel milik Shiori. Ia mengambilnya dengan bibir menekuk kesal. Ekspresi Irene semakin gelap tak kala ia melihat layar ponsel tersebut menampilkan panggilan telepon dari pria yang dicintainya.

“Tuh lihat! Apaan-apaan ini. Aku masih ngga ngerti kenapa Ivander nunjukin rasa peduli pada gadis miskin sepertimu.”

Irene menecengkeram keras rahang Shiori agar menghadap pada layar ponsel yang diperlihatkannya. Kuatnya tenaga wanita itu membuat Shiori merasakan sakit yang tak tertahankan di dagunya- apalagi Irene melakukannya dengan tiba-tiba. Bisa dipastikan terjadi kesalahan pada otot lehernya.

“Berani banget kamu ngambil perhatian Ivander dariku!”

Teriakan putus asa Irene dan kalimat-kalimat yang diucapkannya sejak tadi membuat Shiori mulai menghubungkan semua informasi tersebut. Termasuk nama Ivander yang menjadi kunci dan permasalahan utama. Kesimpulan yang ia perkirakan adalah Irene salah paham akan hubungannya dengan Ivander. Wanita itu mengira dirinya menjalin hubungan spesial dengan pria jangkung itu.

‘Wanita ini- sebenarnya, siapa wanita ini? Apa mungkin kekasih Ivander?’ Pikiran itu terlintas dalam benak Shiori, dan membangkitkan kecemburuan dalam hati wanita manis itu.

Srekkk.

Lakban hitam yang sejak tadi menutup mulut Shiori agar tidak berbicara dibuka paksa oleh Irene. Tanda kemerahan muncul di sekitar pipi wanita tampak menambah daftar hal yang membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Namun bekas kemerahan tersebut justru terlihat lucu bagi Irene. Ia senang karena dengan begitu kecantikan Shiori berkurang.

Lalu, tiba-tiba saja sebuah ide menyenangkan muncul di otak licik Irene. Wanita itu menyeringai lebar, dan mulai terkekeh dengan pikiran gilanya sendiri. Ketika pupil matanya yang tidak fokus bersitatap dengan Shiori, senyum di wajah Irene seketika hilang digantikan wajah datar.

“Shiori, gimana kalau kita coba bertaruh?” ucap Irene memberikan sebuah tawaran. Tangannya mencekik kuat leher Shiori agar wanita itu memberikan seluruh atensinya pada Irene.

Shiori menelan salivanya dengan susah payah, lalu bertanya dengan suara sedikit gemetar.

“Bertaruh?”

Ujung bibir Irene sedikit tertarik ke atas, menampakkan seringai tipis yang membuat bulu roma Shiori merinding.

“Menurutmu, Ivander bakal datang ke sini buat nyelamatin kamu? Dan kira-kira dia bakal lebih percaya siapa ya … aku atau kamu?”

Suara Irene ketika mengatakan kalimat itu terdengar seperti akan memainkan sebuah permainan menyenangkan Truth or Dare. Namun dari sikap wanita itu yang melangkah ringan ke sebuah meja panjang, lalu mengambil sebilah belati tajam, semakin meyakinkan insting Shiori bahwa permainan yang akan mereka lakukan jauh dari kata aman.

“Nah, gimana kalau kita buka tali kamu dulu sebelum kita mainkan taruhannya?”

Kali ini Irene menampilkan seringai misteriusnya sembari memberi perintah kepada pria berbaju hitam yang sejak tadi hanya berperan sebagai penonton itu untuk melepaskan Shiori. Setelah ikatan di kedua tangan dan kaki Shiori terlepas, pria berbaju hitam itu memaksa Shiori untuk berdiri meski pada akhirnya Shiori malah berkali-kali jatuh karena kedua kakinya terlalu lemas.

Irene berdecak kesal ketika Shiori tidak juga berdiri dengan tegak. “Kamu itu ternyata lemah ya. Apa sih kelebihan kamu sampai Ivander mau repor-repot rawat kamu?”

“Kenapa ngga jawab? Apa aku harus pasang benang atau tali buat ngontrol kamu supaya gerak sesuai yang aku mau, layaknya boneka Marionette?” lanjutnya dengan suara malas.

Ancaman tersirat yang dilakukan Irene membuat Shiori bergidik. Ia semakin memaksakan kedua kakinya agar bisa berdiri tegak sesuai keinginan Irene. Usaha yang dilakukannya tersebut bukan hal yang mudah bagi Shiori. Pada akhirnya ia berhasil. Lalu, saat akhirnya Shiori bisa berdiri saling berhadapan dengan Irene, wanita itu melemparkan belati yang sama dengan miliknya ke kaki Shiori.

 “Ayo mulai permainannya.”

Permainan itu dimulai tanpa aba-aba dari Irene, hingga Shiori yang berada dalam keadaan tidak siap, telat menyadari sebuah belati yang melayang tepat ke arah matanya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status