Alana tidak mengira dia akan menikmati momen kebersamaan dengan Eric dan keluarganya, kecuali bagian di mana Darren mengacau sehingga membuat suasana mendadak berubah canggung. Mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol dan tertawa, dengan Eric yang selalu mengalihkan pembicaraan jika ibunya mulai membahas dirinya.Spaghetti yang mereka makan untuk siang itu juga nikmat, cocok karena tidak terlalu berat setelah beberapa potong kue yang mereka habiskan bersama teh. Alana tidak menyangka akan menikmati hari itu.Ketika menjelang sore Eric mengantarnya pulang. “Terima kasih sudah datang kemari,” kata Sania sambil memeluk Alana erat. “Kapan-kapan datanglah lagi kemari.”“Aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih untuk kue dan makan siangnya.” Ucap Alana. Alana juga memeluk Darren yang tampak sedih melihat Alana harus pulang. “Hei, jangan sedih. Kita bisa bertemu lagi kapan-kapan.” Kata Alana yang berjongkok di depan Darren.“Janji ya, kita akan main lagi?” ucap Darren.Alana tersenyu
Hari minggu itu adalah hari berkebun, jadi Sherly mengharapkan setiap bantuan yang bisa didapatkannya. Hari itu Sherly berniat memindah dan mengganti pot-pot tanaman besar, yang tidak bisa dilakukan sendirian oleh para wanita.Jadi Steve, Adrian dan Pak Darmo sudah bersiap dengan baju santai. Hanya Braden yang tidak ada di sana, seperti biasa. “Alana, coba bangunkan Braden. Sepertinya kita masih butuh bantuan.” Kata Sherly.“A-apa? Kenapa tidak Mama saja yang membangunkan dia?” tanya Alana beralasan. “Dia pasti tidak mau bangun kalau aku yang membangunkannya.”“Tangan dan kaki Mama sudah belepotan tanah. Jadi kamu saja ya, tolong.” Sherly memohon. “Dan jangan kembali sebelum anak itu bangun. Dia susah sekali dibangunkan.”Mau tidak mau Alana masuk ke dalam rumah. Dia berniat meminta bantuan Mbak Murni atau Mbok Ijah, tetapi Mbok Ijah terlihat sangat sibuk di dapur sedangkan Mbak Murni tidak terlihat di mana pun. Dengan amat terpaksa dan berat hati Alana menuju ke kamar Braden.Dia mer
Alana menimang Mikha yang mulai terlihat gemuk dan berisi, berbeda sekali dengan keadaannya ketika baru ditemukan. Kucing itu menjilati tangan Alana membuat gadis itu tertawa. “Mikha, hentikan. Ini geli.” Kucing itu menatap Alana dengan mata lebar berbinar senang. “Lihat mukamu itu. Kenapa kau lucu sekali?”Braden memasuki ruangan dan tiba-tiba saja Mikha melompat dari pangkuan Alana. Kucing itu berlari ke arah Braden dan melompat-lompat di dekat kaki pemuda itu. “Huush huush, pergi kau! Sana pergi!”Alih-alih pergi, binatang itu tetap mengikuti langkah Braden. “Kenapa kau terus mengikutiku? Sana pergi pada Kakakmu!” ujar Braden menghardik Mikha agar menjauhinya.“Kenapa kau jahat sekali? Lihat, Mikha suka padamu. Kau tidak boleh bersikap kasar seperti itu.” Kata Alana yang tidak setuju dengan sikap Braden.“Aku tidak mau dia suka padaku. Aku benci binatang apa pun, terutama yang berbulu seperti dia!” ucap Braden.“Mungkin karena dia merasa berterima kasih padamu. Kau telah menyelamat
Alana sedang bersantai di kamarnya, berbaring sambil membaca buku yang dia pinjam dari Eric. Alunan lembut musik klasik terdengar dari laptopnya yang menyala di atas meja belajar, membuat suasana lebih hidup namun tetap terasa tenang.Buku yang sedang dibacanya sudah hampir selesai, jadi Alana berniat untuk meminjam buku yang lain pada Eric nanti. Saat dia hampir membuka halaman baru terdengar ketukan pelan di pintunya. “Lana,” itu suara Adrian. “Apa kau sedang sibuk?”“Tidak, masuk saja.” Alana duduk bersila dan mengambil pembatas buku kemudian menyelipkannya ke halaman terakhir yang dia baca.“Kau sedang apa?” tanya Eric.Alana menunjukkan buku yang berada di pangkuannya, “Hanya membaca buku. Ada apa, Kak?”“Kau mau jalan-jalan?” tanya Adrian yang kini duduk di samping Alana. “Nanti kita bisa mampir ke toko buku. Aku akan membelikanmu buku yang kau inginkan?”“Sungguh?” tanya Alana dengan mata berbinar. “Memangnya Kakak ingin pergi ke mana?” Adrian menggaruk telinganya yang tidak g
Alana menyarankan pada Adrian untuk memberikan sepasang sepatu, karena pilihannya beragam dan pastinya benda itu akan berguna. Namun pemuda itu tidak tahu berapa ukuran kaki gadis yang akan dia beri hadiah itu.“Bagaimana kalau perhiasan?” tanya Adrian meminta pendapat.“Itu hadiah yang terlalu personal. Kurang tepat jika diberikan oleh seorang teman.” Alana memberi tahu.Adrian mempertimbangkan lagi,”Bagaiman kalau baju?” tanya Adrian.“Memangnya Kakak bisa memperkirakan ukuran tubuhnya? Dan Kakak juga tahu persis selera fashionnya? Kalau tidak, bisa-bisa pakaian yang kakak berikan tidak akan pernah terpakai.” Alana menjelaskan.Adrian mengangguk-angguk paham. “Jadi, apa saranmu?”“Tas? Atau dompet?” Usul Alana.“Baiklah, ayo kita cari.”Mereka pergi melihat-lihat toko yang menjual tas dan dompet wanita. “Bagaimana kalau kita lihat toko ini dulu? Brand ini lumayan bagus.” Alana menyarankan sambil mengamati display toko.“Oke, ayo kita masuk.” Kata Adrian yang berjalan di samping Alan
Alana masuk ke dalam mobil dan membanting pintu dengan keras, kemudian menyentak sabuk pengaman dengan kasar sebelum mengaitkan gespernya. Dan dia sama sekali tidak melirik Braden sedikitpun, seolah pemuda itu tidak ada di sana.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang sakit?” tanya Braden melihat muka Alana yang kusut. Dan dia hanya mendapat pelototan sebagai balasan. “Kau― suasana hatimu terlihat kacau.”“Memangnya kau pernah membuat suasana hatiku membaik? Sejak kapan suasana hatiku berubah bagus jika sedang bersamamu?” jawab Alana sambil bersedekap tanpa memandang Braden.Braden menelan kembali kata-kata yang sudah sampai di ujung lidahnya. Biasanya Alana hanya akan bersikap gugup, diam, dan menjaga jarak. Bukan ketus dan kasar. Sorot mata Alana yang seperti itu hanya pernah dilihatnya sekali, saat gadis itu sedang berkelahi dengan Leona.Sepertinya seseorang sedang mencari masalah dengannya, batin Braden. “Apa kau bertengkar lagi dengan Leona?”“Untuk apa aku berurusan dengan jalang sep
“Kau ingin makan di mana?” tanya Eric meminta pendapat Alana.“Di mana saja asal bukan di kafe depan.” Jawaban Alana sontak membuat Eric tertawa sangat keras.Pemuda itu selalu tertawa kalau diingatkan tentang perkelahian antara Alana dan Leona. “Ya, aku mengerti. Kalau aku jadi kau, aku juga tidak akan pernah pergi ke sana lagi.” Kata Eric masih sambil tertawa. “Kalau begitu aku yang menentukan pilihan. Ada mie yang lumayan enak. Kau mau?”“Terserah padamu.” Jawab Alana acuh. Maka Eric membawa Alana ke rumah makan yang dia rekomendasikan.“Kenapa kau terus menatapku?” tanya dari atas mangkuk mienya.“Aku sedang manganalisis masalahmu. Karena kalau aku bertanya baik-baik aku yakin kau tidak akan pernah mau mengatakannya.” Jawab Eric masih sambil mengamati Alana.“Jadi, kau sudah mendapat kesimpulan?” tanya Alana sarkas.Eric menatap Alana d
“Kenapa kau tidak menjawab telefon? Kau juga mengabaikan semua pesan kami? Kau tahu, kami semua cemas memikirkanmu!” cecar Braden. “Mama mengkhawatirkanmu karena kau tidak bisa dihubungi.”Alana benar-benar lupa dan tidak mengecek handphone. “Maaf, aku tidak sempat melihat handphone.”“Sudah kukatakan tadi, hubungi aku ketika kau akan pulang. Aku menunggumu menghubungiku dari tadi! Dan siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Braden dengan galak.Alana menelan ludah, “Teman. Aku diantar seorang teman.”“Lain kali, jangan membuat semua orang cemas!” ujar Braden sebelum berjalan masuk ke rumah yang diikuti oleh Alana.Ketika Alana masuk, Sherly langsung menghambur menyambutnya. “Lana, kenapa kau tidak membalas satu pun pesan dan telefon kami? Kami mengkhawatirkanmu.”“Maaf, Ma. Tadi Lana tidak sempat melihat handphone. Maaf sudah membuat semua orang khawatir.”“Tidak masalah kalau kau memang harus mengerjakan tugas sampai malam, Lana. Tapi setidaknya beri tahu kami.” Steve menimpali. “Kami