Alana sedang bersantai di kamarnya, berbaring sambil membaca buku yang dia pinjam dari Eric. Alunan lembut musik klasik terdengar dari laptopnya yang menyala di atas meja belajar, membuat suasana lebih hidup namun tetap terasa tenang.Buku yang sedang dibacanya sudah hampir selesai, jadi Alana berniat untuk meminjam buku yang lain pada Eric nanti. Saat dia hampir membuka halaman baru terdengar ketukan pelan di pintunya. “Lana,” itu suara Adrian. “Apa kau sedang sibuk?”“Tidak, masuk saja.” Alana duduk bersila dan mengambil pembatas buku kemudian menyelipkannya ke halaman terakhir yang dia baca.“Kau sedang apa?” tanya Eric.Alana menunjukkan buku yang berada di pangkuannya, “Hanya membaca buku. Ada apa, Kak?”“Kau mau jalan-jalan?” tanya Adrian yang kini duduk di samping Alana. “Nanti kita bisa mampir ke toko buku. Aku akan membelikanmu buku yang kau inginkan?”“Sungguh?” tanya Alana dengan mata berbinar. “Memangnya Kakak ingin pergi ke mana?” Adrian menggaruk telinganya yang tidak g
Alana menyarankan pada Adrian untuk memberikan sepasang sepatu, karena pilihannya beragam dan pastinya benda itu akan berguna. Namun pemuda itu tidak tahu berapa ukuran kaki gadis yang akan dia beri hadiah itu.“Bagaimana kalau perhiasan?” tanya Adrian meminta pendapat.“Itu hadiah yang terlalu personal. Kurang tepat jika diberikan oleh seorang teman.” Alana memberi tahu.Adrian mempertimbangkan lagi,”Bagaiman kalau baju?” tanya Adrian.“Memangnya Kakak bisa memperkirakan ukuran tubuhnya? Dan Kakak juga tahu persis selera fashionnya? Kalau tidak, bisa-bisa pakaian yang kakak berikan tidak akan pernah terpakai.” Alana menjelaskan.Adrian mengangguk-angguk paham. “Jadi, apa saranmu?”“Tas? Atau dompet?” Usul Alana.“Baiklah, ayo kita cari.”Mereka pergi melihat-lihat toko yang menjual tas dan dompet wanita. “Bagaimana kalau kita lihat toko ini dulu? Brand ini lumayan bagus.” Alana menyarankan sambil mengamati display toko.“Oke, ayo kita masuk.” Kata Adrian yang berjalan di samping Alan
Alana masuk ke dalam mobil dan membanting pintu dengan keras, kemudian menyentak sabuk pengaman dengan kasar sebelum mengaitkan gespernya. Dan dia sama sekali tidak melirik Braden sedikitpun, seolah pemuda itu tidak ada di sana.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang sakit?” tanya Braden melihat muka Alana yang kusut. Dan dia hanya mendapat pelototan sebagai balasan. “Kau― suasana hatimu terlihat kacau.”“Memangnya kau pernah membuat suasana hatiku membaik? Sejak kapan suasana hatiku berubah bagus jika sedang bersamamu?” jawab Alana sambil bersedekap tanpa memandang Braden.Braden menelan kembali kata-kata yang sudah sampai di ujung lidahnya. Biasanya Alana hanya akan bersikap gugup, diam, dan menjaga jarak. Bukan ketus dan kasar. Sorot mata Alana yang seperti itu hanya pernah dilihatnya sekali, saat gadis itu sedang berkelahi dengan Leona.Sepertinya seseorang sedang mencari masalah dengannya, batin Braden. “Apa kau bertengkar lagi dengan Leona?”“Untuk apa aku berurusan dengan jalang sep
“Kau ingin makan di mana?” tanya Eric meminta pendapat Alana.“Di mana saja asal bukan di kafe depan.” Jawaban Alana sontak membuat Eric tertawa sangat keras.Pemuda itu selalu tertawa kalau diingatkan tentang perkelahian antara Alana dan Leona. “Ya, aku mengerti. Kalau aku jadi kau, aku juga tidak akan pernah pergi ke sana lagi.” Kata Eric masih sambil tertawa. “Kalau begitu aku yang menentukan pilihan. Ada mie yang lumayan enak. Kau mau?”“Terserah padamu.” Jawab Alana acuh. Maka Eric membawa Alana ke rumah makan yang dia rekomendasikan.“Kenapa kau terus menatapku?” tanya dari atas mangkuk mienya.“Aku sedang manganalisis masalahmu. Karena kalau aku bertanya baik-baik aku yakin kau tidak akan pernah mau mengatakannya.” Jawab Eric masih sambil mengamati Alana.“Jadi, kau sudah mendapat kesimpulan?” tanya Alana sarkas.Eric menatap Alana d
“Kenapa kau tidak menjawab telefon? Kau juga mengabaikan semua pesan kami? Kau tahu, kami semua cemas memikirkanmu!” cecar Braden. “Mama mengkhawatirkanmu karena kau tidak bisa dihubungi.”Alana benar-benar lupa dan tidak mengecek handphone. “Maaf, aku tidak sempat melihat handphone.”“Sudah kukatakan tadi, hubungi aku ketika kau akan pulang. Aku menunggumu menghubungiku dari tadi! Dan siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Braden dengan galak.Alana menelan ludah, “Teman. Aku diantar seorang teman.”“Lain kali, jangan membuat semua orang cemas!” ujar Braden sebelum berjalan masuk ke rumah yang diikuti oleh Alana.Ketika Alana masuk, Sherly langsung menghambur menyambutnya. “Lana, kenapa kau tidak membalas satu pun pesan dan telefon kami? Kami mengkhawatirkanmu.”“Maaf, Ma. Tadi Lana tidak sempat melihat handphone. Maaf sudah membuat semua orang khawatir.”“Tidak masalah kalau kau memang harus mengerjakan tugas sampai malam, Lana. Tapi setidaknya beri tahu kami.” Steve menimpali. “Kami
Alana memotong wortel dengan hati-hati, berusaha agar setiap potongannya memiliki ketebalan yang sama. Dia berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya, namun pisau yang tajam itu membuatnya gugup.“Bagaimana? Kamu bisa?” tanya Sherly sambil mengamati pekerjaan Alana. Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya.Alana menekan pisau dengan keras, membuat sepotong besar wortel terlempar dan menggelinding di lantai. Dengan panik gadis itu mencari-cari potongan wortelnya yang berhenti tepat di depan sepasang kaki, yang pemiliknya kini berusaha keras untuk tidak melontarkan ejekan.Alana batal memungut potongan wortelnya saat melihat ekspresi mencela di wajah Braden. Pemuda itu terlihat jelas sekali sedang menahan tawa. “Kalau kau memotongnya dengan cara seperti itu, bisa-bisa besok pagi kita baru makan.” Kata Braden dengan seringai mengejek.“Memangnya kau bisa?” tanya Alana sambil bersedekap.“Tentu saja,”“Kalau begitu, coba lakukan?” tantang Alana.Braden berjalan mendekati kabinet
“Aargh!” Alana melempar pisaunya saat merasakan sengatan rasa perih. Dia memegangi tangan kirinya dan melihat cairan pekat berwarna merah tidak berhenti mengalir.Kini perhatian semua orang tertuju padanya. Adrian, seperti biasa, sangat cekatan ketika terjadi sesuatu. “Astaga, tanganmu berdarah!” Adrian memegang tangan kiri Alana yang langsung gadis itu tepis.“Aku baik-baik saja.” Tetapi darah yang keluar cukup banyak, hingga tetesannya jatuh ke lantai marmer yang berwarna putih. Alana mengabaikan kepanikan semua orang.“Minggir kau!” Braden menyela Adrian, mendorong pemuda itu dengan bahunya dan memaksanya menyingkir.Braden langsung mencengkeram tangan Alana dan memasukkan jarinya yang terluka ke dalam mulut. “Apa yang kau lakukan?” Alana berusaha menarik tangannya namun ditahan oleh Braden. Pemuda itu menarik Alana mendekati wastafel, lalu meludahkan segumpal darah.Dia melakukan hal itu beberapa kali lagi hingga darah Alana benar-benar berhenti mengalir. “Lain kali, hati-hati!” u
Ketika Braden meninggalkan Alana, gadis itu sudah jauh lebih tenang. Dia berusaha meyakinkan Braden bahwa dia baik-baik saja, namun pemuda itu tetap saja merasa khawatir akan keadaannya. Alana yang tengah menangis adalah pemandangan yang baginya sangat memilukan.Salah satu hal yang paling dia sesali adalah ketika dia membuat Alana menangis. Braden merasa sangat bersalah karena hal itu. Dia bahkan merasa malu pada dirinya sendiri. Dan Braden bertekad tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.Apa yang terjadi hari ini menurutnya adalah bencana. Dia tahu seperti apa rasanya patah hati. Pasti menyakitkan mengetahui seseorang yang kita sukai dan kagumi ternyata menjalin hubungan dengan orang lain. Dan melihat Alana yang patah hati, entah mengapa sangat menyakiti hatinya.Braden tidak suka ketika Alana menyukai kakaknya, akan tetapi dia jauh lebih tidak suka lagi jika gadis itu menangis karena Adrian. Pemandangan Alana yang menangis dan hancur bukankah sesuatu yang ingin dia saksikan lagi.