Share

Bertemu di Sekolah

Sesuai dengan perintah Arsen. Allice tak berangkat bekerja. Dia juga tidak mengantar anak-anak. Sejak pagi, Allice membantu Bi Suci membereskan kamar.

“Apa kamu bisa berdiri dan membawa kopermu sendiri naik ke lantai dua?” ucap Allice menahan marah.

Bagaimana tidak, sejak tadi kerjaan Nadya hanya bermain HP sambil tiduran di sofa ruang tengah. Seolah dia adalah nyonya rumah. Bahkan dengan mudahnya memanggil Bi Suci hanya untuk minta dibuatkan es jeruk manis.

“Hufh, aku lelah. Kalau tidak ikhlas membantuku, aku bisa minta Mas Arsen mengantarku ke apartemen,” ancamnya dengan wajah sok polos.

Allice memutar kedua bola matanya. “Kau pikir aku peduli?”

Benar-benar tak peduli. Yang penting tugas Arsen membereskan kamar sudah selesai. Dia pun melangkah pergi meninggalkan Nadya.

Gadis itu hanya mencibir melihat punggung Allice yang menjauh.

Saat begitu, ponsel yang sejak tadi menjadi teman gadis berkulit sawo matang itu berbunyi. Sebuah panggilan dari Arsen membuatnya girang.

“Halo, Mas Arsen. Ada apa menghubungiku?”

Suara riang Nadya masih mampu Allice dengar meski dia sudah berada di ruang sebelah. Namun, mendengar nama Arsen-lah yang membuat tubuh Allice menegang.

Dahinya berkerut dan berbisik dalam hati. ‘Untuk apa menelfon Nadya? Apa yang mereka berdua bicarakan?’

Allice mengintip dari sela guci besar sebagai pembatas ruangan. Hingga dia bisa melihat perubahan wajah Nadya yang menjadi sumringah.

“Ja-Jadi Asisten Pribadi kamu? Sungguh? Tentu aku mau!” sahut Nadya heboh.

Allice menarik nafasnya dalam-dalam. Entah mengapa pikirannya mulai tidak-tidak pada Nadya. Karena belum juga ada satu hari disini, tingkahnya sudah berlebihan.

Ah, dari pada memikirkan hal yang tak penting. Allice memilih membersihkan diri dan bersiap menjemput anak-anak. Hanya Brian dan Anna hiburannya.

Wanita itu masuk ke dalam kamar utama rumah megah itu. Kamar yang indah namun sangat dingin untuk ditempati.

Allice dan Arsen selama ini memang tidur satu kamar. Satu tempat tidur. Tapi mereka tak pernah berpelukan dalam tidur. Tidak seperti pasangan suami istri lainnya.

Arsen juga jarang sekali menyentuh Allice. Bahkan sampai Allice lupa kapan terakhir kali mereka bercinta.

***

Allice membawa mobil biru miliknya yang dibelikan oleh Arsen. Bukan dibelikan atas nama cinta dan peduli. Tapi Arsen tidak mau kalau ada yang melihat anak istrinya memakai mobil model lama.

Arsen harus menunjukkan pada semua orang kalau keluarganya sangat terurus.

Di tengah teriknya matahari, Allice masuk ke parkiran sekolah elite di kota besar itu. Kedatangannya disambut hangat oleh satpam disana.

“Miss Allice, selamat siang,” sapa si satpam itu setelah membantu Allice membuka pintu mobil.

Allice melepas kacamata hitamnya seraya turun dari mobil. Penampilannya selalu modis namun tetap tertutup dan sopan. Apalagi dia adalah guru bahasa inggris, jadi harus bisa menjaga sikap dan penampilan.

“Siang, anak-anak belum keluar, ya?” tanya Allice melihat sekitar.

Para orang tua murid sudah berdatangan dan duduk di tempat yang disediakan. Tapi anak-anak belum ada yang keluar.

“Belum, Miss. Mungkin sebentar lagi,” sahut satpam.

Allice mengangguk saja dan tersenyum hangat. Dia lalu berjalan masuk, namun langkahnya melambat ketika melihat Arsen sudah ada disana.

Pria itu berdiri di depan jendela sambil mengarahkan kamera ponsel ke dalam kelas.

Bibir Allice reflek tersenyum. Dia senang karena setidaknya Arsen sangat mencintai anak-anaknya. Bersikap lembut dan ikut menunjukkan rasa peduli terhadap semua kegiatan anak-anak.

Saat seperti itu, seorang orang tua murid menyapa Allice.

“Miss Allice,” sapa pria itu.

Allice pun menoleh dan melihat Hexa ada di sampingnya.

“Hai! Kau ini, sudah aku katakan jangan memanggilku seperti itu,” sahut Allice memprotes.

Hexa terkekeh ringan. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada Arsen.

“Wah, tumben ke sekolah bersama. Apa dia sengaja datang menjemput kalian? Langka sekali moment ini,” ledek Hexa.

Percakapan Allice dan Hexa akhirnya berhasil menarik atensi Arsen. Dia memandang dua orang itu bergantian. Lalu memilih mematikan videonya dan mendekat.

“Kau, untuk apa kesini?” tanya Arsen pada Allice.

“Untuk apa? Jelas menjemput anak-anakku,” jawab Allice menunjuk ke kelas.

Hexa menepuk bahu Arsen. “Kau ini selalu saja dingin pada istri sendiri. Jangan begitu, bahaya kalau ada yang mengambil hatinya.”

Arsen berdecak ringan.

Sedangkan Allice, dia melihat ada kepala sekolah di ujung koridor. Ada hal yang ingin dia bicarakan pada kepala sekolah.

“Kalian, aku tinggal dulu,” pamit Allice.

“Oke, Miss Allice. Hati-hati jalannya, nanti tersandung,” goda Hexa.

Allice hanya terkekeh ringan dan pergi. Sahabat Arsen memang seperti itu.

Hexa lalu mengalihkan pandangannya pada Arsen. Pria itu sedang memberikan sorot tajam padanya.

“Kenapa? Cemburu? Kalau cemburu bilang,” ujarnya santai.

Arsen memutar kedua bola matanya, jengah. “Memang sebaiknya kamu di rumah sakit saja bekerja. Mana ada dokter berkeliaran di sekolah.”

“Ya, beruntungnya aku memiliki keponakan yang satu kelas dengan anak-anakmu. Jadi aku bisa mencari hiburan disini,” sahut Hexa memilih duduk di kursi samping mereka.

Arsen pun mengikuti. “Ini sekolah bukan tempat hiburan,” ucapnya masih saja ketus.

“Hiburan, soalnya gurunya cantik-cantik. Apalagi guru bahasa inggrisnya. Sayangkan, guru secantik dia hanya mendapat tatapan dingin setiap hari.”

“Kamu mau jadi dokter yang akhirnya mati muda sebelum menikah dan punya anak?”

“Tak apa, asal mati dipelukan Miss Allice.”

Beruntung, ucapan Hexa bertepatan dengan pintu kelas dibuka. Hingga atensi mereka langsung tertuju pada anak-anak.

Kalau tidak, dipastikan Arsen memberikan tatapan lebih tajam dari sebelumnya.

***

Meski Allice membawa mobil sendiri ke sekolah. Pada akhirnya dia naik mobil Arsen. Bukan pria itu yang meminta, tapi anak-anak.

Sebelumnya Arsen sudah berjanji pada anak-anak untuk pergi ke taman bermain. Karena memang hari ini jadwal tidak terlalu padat, jadi Arsen bisa meninggalkan kantor lebih awal.

“Aku mau ice cream coklat ya, Papa!” ucap Anna tak sabaran saat mobil memasuki area taman.

“Kalau aku jus jambu aja,” ujar Brian.

Mereka berdua langsung melompat turun dan membeli apa yang mereka inginkan. Baru kemudian keduanya bermain apapun yang ada disana.

“Berhenti bekerja. Fokus saja menjaga rumah,” ucap Arsen tiba-tiba.

Allice langsung menoleh, melihat Arsen rupanya sudah duduk di sampingnya. “Berhenti bekerja? Kamu gila? Kamu bahkan dulu sudah melarangku melanjutkan proses pelatihan sebagai dokter. Kamu memintaku melupakan cita-citaku. Lalu sekarang, kamu memintaku berhenti bekerja?” protes Allice tak terima.

“Aku tak peduli dengan cita-cita dan apapun itu. Aku hanya ingin kamu tetap di rumah. Ingat, aku tak akan membebaskanmu. Kurasa sudah cukup satu tahun ini membiarkanmu mencari ketenangan dengan kegiatan recehmu itu di sekolah,” ucap Arsen tak peduli dengan ekspresi penuh protes Allice.

“Receh?” Allice sudah membuka mulutnya untuk bicara banyak. Tapi Arsen langsung menyela.

“Diam dan turuti!”

Arsenio Mahardika, setiap kata yang dia ucapkan adalah mutlak! Tak suka dibantah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status