“Arsen.” Allice langsung berdiri sebagai tanda dia meminta penjelasan.
Rupanya bukan hanya Allice, dua anak disana pun ikut terkejut dengan suasana ini.
“Papa, siapa dia?” tanya Brian dengan pipi masih mengembung isi makanan. Dahinya mengernyit melihat kedua orang dewasa di depannya bertingkah "aneh".
Anak itu memperhatikan sosok wanita muda dengan pakaian sedikit seksi berdiri merangkul lengan Arsen.
“Terus, kenapa pegang-pegang papa begitu? Kalau di film yang aku lihat. Hanya papa dan mama yang boleh begitu,” lanjutnya.
Menyadari posisinya, Arsen pun langsung melepas tangan Nadya. Seketika, keduanya kikuk di hadapan anak berusia lima tahun itu.
Jika yang memprotes adalah Allice sudah pasti Arsen tak peduli. Tapi ini dari anaknya sendiri. Sedangkan nama baik seorang ayah tentu harus dia pertahankan di depan kedua anaknya.
“Anna ... Brian .... Ini adalah Tante Nadya,” jawab Arsen seraya tersenyum canggung.
Merasa disebut namanya, Nadya pun melambaikan tangan dengan anggunnya pada dua kembar itu. “Hai!”
Nadya berusaha tersenyum, namun tatapan kedua anak di depannya kembali membuatnya kikuk.
“Selama ini Tante study di luar negeri jadi kalian tak mengenalnya. Dan, sekarang dia sudah selesai. Jadi Tante akan tinggal di rumah ini. Dia bisa menjadi teman kalian,” ungkap Arsen.
“Tinggal disini?” Nada yang Allice keluarkan benar-benar datar.
Bagaimana bisa ada wanita lain selain keluarga di rumah ini?
Arsen menatap Allice sambil menyipitkan matanya, ia tak suka dengan pertanyaan Allice. Dia tak mau sampai Nadya merasa tidak enak berada di tengah-tengah keluarganya. Tapi dia masih mengendalikan dirinya kalau di depan anak-anak.
“Nadya, apa kamu sudah makan?" tanya Arsen menoleh pada wanita di sampingnya. Dia masih nampak begitu muda. Maklum saja, umurnya masih 23 tahun, baru lulus kuliah.
"Eumh ...." Nadya berfikir akan jawabannya.
"Sebaiknya temani anak-anak lebih dulu. Karena aku akan meminta tolong pada Allice mencari berkasku di ruangan. Aku lupa meletakkannya dimana,” ucap Arsen hangat.
Nadya tentu mengangguk senang. “Siap, aku juga belum makan pagi.”
"Ayo anak-anak, makan bareng tante yuk. Mau tante suapin?"
Namun, bukannya respon positif, Brian dan Anna melengos dan langsung berjalan tanpa memerdulikan perempuan yang menurut mereka asing itu.
"Jangan kamu ambil hati ya, namanya juga anak-anak. Nanti pasti akan akrab." Arsen berusaha menenangkan Nadya.
"Iya, aku paham. Nanti juga anak-anakmu akan suka padaku," ucap Nadya dengan tersenyum kecil.
Melihat tingkah perempuan itu, Allice hanya bisa menahan rasa dongkol dalam hati. Namun, seketika itu juga ia tersenyum kecil. Cara anak-anaknya menyambut Nadya membuat Allice bangga pada mereka.
Arsen memberi kode pada Allice untuk mengikutinya. Sang istri pun paham. Mereka meninggalkan anak-anak menuju ruang baca di lantai satu.
“Kamu masih ingat, kan siapa Nadya?” Arsen langsung membuka suara ketika mereka baru saja sampai di ruangan.
Allice tak menjawab, keputusan Arsen membawa Nadya untuk tinggal di tengah keluarga kecil mereka membuatnya benar-benar kesal.
Dia berbalik berhadapan dengan Allice. “Tentu kamu ingat. Kamu adalah sahabat Safira, hingga pasti sangat dekat dengan adik Safira itu.”
“Lalu, apa hubungannya dengan keputusanmu yang mengijinkan dia tinggal bersama kita?” Ekspresi Allice sama sekali tak menunjukkan rasa sukanya pada Nadya.
Meski dulu dia adalah sahabat Safira, bukan berarti kenal dekat dengan Nadya.
Arsen menarik nafasnya lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Sebenarnya aku tak peduli dengan reaksimu. Tak peduli dengan pikiranmu. Tapi aku tak mau kalau sampai kamu salah paham dan membuat Nadya tak nyaman berada disini.”
Allice berdecih dan membuang wajahnya ke samping. Rasanya sungguh menyakitkan ketika seorang suami lebih mementingkan perasaan wanita lain ketimbang istrinya sendiri.
“Sejak dulu, ketika aku menikahi Safira. Dia sudah memberi tanggungjawab Nadya padaku. Bahkan, seluruh biaya study di luar negeri juga aku yang menanggung. Meski Safira sudah tidak ada, selamanya Safira adalah istriku. Selama itu pula, Nadya tanggungjawabku,” terang Arsen.
Alicia membalas tatapan dingin Arsen. “Haruskah tinggal serumah?”
Arsen kali ini tak menjawab. Terdengar tarikan nafas yang berat darinya, lengannya tegang dengan telapak tangan mengepal di sakunya.
Saat Allice membuka mulut untuk bicara lagi, Arsen langsung menunjuk dengan jemarinya ke wajah wanita itu.
“Aku tak butuh pendapatmu apapun itu. Jadi, jangan berangkat bekerja hari ini. Urus kamar untuk Nadya.”
“Apa maksudmu?” Allice menunjukkan raut kecewanya. “Ada pelayan disini. Dia juga menumpang. Jadi dia bisa bersihkan kamar untuk dirinya sendiri, bukan?” sambungnya dengan nada semakin keras.
Arsen maju dua langkah ke arah Allice. Tatapannya tajam dan rahangnya mengetat ketika Allice mencoba membantahnya.
“Pelankan suaramu,” geramnya lirih.
“Lalu lakukan apa yang aku perintahkan. Kau pun harus sadar diri. Kamu juga menumpang di rumahku, Allice!” sambungnya menatap tajam istri di depannya, lalu melangkah pergi meninggallkan Allice sendirian.
Allice membatu. Dada itu rasanya seperti terhantam palu godam atas perkataan Arsen barusan. Seorang istri menumpang di rumah suami? Apakah ada istilah seperti itu di dalam hubungan pernikahan?
Lalu, apa bedanya Allice dan pelayan kalau begitu?
Air mata pun tanpa permisi menetes. Tapi, Allice segera mengusap pipinya kasar. Dia juga berusaha keras untuk tak menangis saat ini. Jangan sampai Nadya tau kalau dirinya terintimidasi dengan kedatangan gadis itu.
***
Gedung utama Mahardika Group.
Arsen adalah pimpinan utama perusahaan yang sudah lama dia kendalikan. Keluarganya mempercayakan semua padanya.
Reputasi Arsen juga sangat baik. Meski dulu diketahui memiliki istri kedua, semua pun memaklumi karena istri pertama meninggal dikarenakan memiliki penyakit.
Reputasi? Ya, itu adalah salah satu alasan Arsen masih mempertahankan pernikahannya dengan Allice. Dia tak ingin ketahuan hanya menjadikan Allice alat pencetak anak saja.
Di luar, orang pun hanya tau kalau rumah tangga Arsen sangat harmonis. Hingga kesuksesan ini pun dianggap karena peran istri yang begitu kuat.
Arsen tak mempermasalahkan itu. Asal semua nampak baik-baik saja di luar.
Rapat para pemegang saham berlangsung. Arsen lagi-lagi mendapat pujian atas suksesnya proyek-proyek yang dia pegang.
“Bagaimana kalau kita mengadakan pesta kecil-kecilan di klub malam milik saya yang seminggu lalu baru dibuka,” ujar salah satu rekan kerja menawarkan diri.
“Ah, benar juga. Tuan Arsen sangat sibuk sampai tak pernah lagi ikut pesta kecil kita. Kali ini Anda harus ikut. Kalau berkenan, istri Anda yang cantik itu turut diajak,” sahut pria berkumis yang duduk tak jauh dari Arsen.
Arsen tersenyum tipis. “Apa seperti itu cara Anda memuji istri saya?”
“Hahaha! Ayolah Tuan Arsen. Kita sudah lama cukup tegang karena menunggu kesuksesan proyek terakhir,” ucap salah seorang lainnya.
“Baiklah, saya usahakan untuk datang.” jawab Arsen.
“Ah! Akhirnya kita bisa berpesta.”
Arsen memang memiliki kuasa, dia terkenal tegas dan dihormati. Tapi, dia juga cukup hangat pada rekan-rekan bisnisnya. Khususnya para pemegang saham, dia pandai menjaga hubungan layaknya seorang saudara. Hingga banyak dari mereka bertahan karena sikap Arsen itu.
Setelah rapat para pemegang saham selesai. Arsen langsung menuju ruang kerjanya bersama sekretarisnya.
“Ada laporan apa?” tanya Arsen seraya berjalan menuju kursi kerjanya lalu duduk penuh kuasa disana.
“Ini adalah beberapa berkas yang harus Anda tandatangani, Tuan.” Sekretaris bernama Mira memberikan tumpukan berkas ke atas meja Arsen.
“Lalu, ini adalah surat pengunduran diri asisten Anda. Beliau meminta maaf karena sudah berbuat curang pada data pendapatan selama beberapa bulan ke belakang,” ungkap sang sekretaris.
Arsen menarik nafas panjangnya. Dia enggan membuka surat pengunduran diri itu.
Untuk mencari asisten pribadi yang jujur dan memiliki kinerja yang baik memanglah sulit.
“Sepertinya minggu ini saya sudah mendapatkan asisten baru,” ujar Arsen.
“Jadi, recruitment asisten pribadi dibatalkan, Tuan?” tanya Mira memastikan.
“Tunda dulu. Saya memiliki calon asisten yang bisa dipercaya dan berkualitas. Kalau begitu, coba buatkan surat tugas untuk asisten baru saya. Tulis dengan nama Nadya Wijaya,” titah Arsen.
Sesuai dengan perintah Arsen. Allice tak berangkat bekerja. Dia juga tidak mengantar anak-anak. Sejak pagi, Allice membantu Bi Suci membereskan kamar. “Apa kamu bisa berdiri dan membawa kopermu sendiri naik ke lantai dua?” ucap Allice menahan marah. Bagaimana tidak, sejak tadi kerjaan Nadya hanya bermain HP sambil tiduran di sofa ruang tengah. Seolah dia adalah nyonya rumah. Bahkan dengan mudahnya memanggil Bi Suci hanya untuk minta dibuatkan es jeruk manis. “Hufh, aku lelah. Kalau tidak ikhlas membantuku, aku bisa minta Mas Arsen mengantarku ke apartemen,” ancamnya dengan wajah sok polos. Allice memutar kedua bola matanya. “Kau pikir aku peduli?” Benar-benar tak peduli. Yang penting tugas Arsen membereskan kamar sudah selesai. Dia pun melangkah pergi meninggalkan Nadya. Gadis itu hanya mencibir melihat punggung Allice yang menjauh. Saat begitu, ponsel yang sejak tadi menjadi teman gadis berkulit sawo matang itu berbunyi. Sebuah panggilan dari Arsen membuatnya girang. “Halo, Ma
Arsen tadinya enggan ikut acara pesta kecil yang diadakan oleh rekan-rekan bisnisnya. Hanya saja, dua orang dari mereka terus saja memperingatinya akan pesta malam ini."Bersiaplah, malam ini ikut aku menghadiri pesta," ucap Arsen pada Allice yang baru masuk ke kamar."Aku tidak mau," jawab Allice menuju walk in closet."Kalau begitu biar Nadya yang aku bawa." Arsen mengatakan dengan santai lalu meninggalkan Allice, masuk ke kamar mandi.Meski tadinya menolak, tapi mana mungkin Allice membiarkan Arsen membawa Nadya sebagai penggantinya. ***Night club, sebuah club malam kelas atas semakin ramai di datangi para pengunjung.“Arsen, kamu yakin pesta di tempat seperti ini?” Allice terkejut melihat dimana dirinya berada.Dari dalam mobil saja, dia merasa tidak nyaman dengan pemandangan di sekitarnya. Apalagi kalau masuk.Lihatlah, mereka tidak tau malu bermesraan di sisi gedung. Bahkan ada yang berciuman. Allice sampai jijik rasanya.Seumur-umur dia tak pernah datang ke tempat seperti ini
“Miss Allice,” panggil pria itu memegang bahu Allice.Hanya saja suaranya terdam air hujan dan guntur. Allice juga masih ketakutan, hingga pikirannya tertuju pada penjahat-penjahat itu.“Ampun! Jangan sakiti aku!” tangis Allice masih belum berani membuka kedua tangannya yang menutupi wajah.“Allice! Hei!” Pria itu akhirnya berjongkok di depan Allice. Dia mengguncang keras bahu wanita itu.“Allice!” teriaknya lagi.Sampai Allice terkesiap, karena ada yang memanggil namanya. Dia perlahan membuka sela-sela jemari, mengintip tipis. Dia harus memastikan kalau di depannya memang orang yang dia kenal.Sampai sosok pria memakai jas putih basah kuyup itu nampak khawatir menatapnya.“He-Hexa?” Allice akhirnya menurunkan kedua tangan. Dia sedikit linglung, bagaimana bisa Hexa ada disini?Takut salah melihat, Allice menoleh ke belakang. Dia mencari para penjahat tadi.“Mereka sudah pergi,” ucap Hexa dengan suara keras.Benar, penjahat itu tentu sudah lari tunggang-langgang ketika kalah dari seran
Kepala Allice mulai pusing karena terlalu lama kedinginan. Bibirnya juga makin pucat dan gemetaran. Sebagai dokter, Hexa tentu paham kalau wanita di sampingnya itu sedang tidak baik-baik. Berulang kali pula Allice terdengar bersin-bersin lalu mengusap ujung hidung yang gatal. “Ada paracetamol di rumah?” tanya Hexa masih membawa mobilnya melintas cepat ke kawasan elite rumah Arsen. “Hem ...,” jawab Allice hanya mengangguk. “Maaf, kalau aku hanya bisa mengantarmu pulang. Karena aku tawarkan ganti pakaian di apartemen kamu tidak mau. Berhenti di toko baju pun, kamu tidak mau.” Pandangan Hexa sudah menuju gerbang rumah megah di depannya. Dia menekan klakson dua kali, barulah seorang satpam berlari memakai payung untuk membuka gerbang. Satpam itu tentu sudah mengenal mobil Hexa. Selain sahabat Arsen dari kecil, Hexa juga merupakan dokter keluarga. “Kamu tenang saja, aku bisa mengobati diriku sendiri,” jawab Allice. “Hemm ... ya. Aku tak pernah lupa kalau kamu lulusan S2 kedokteran.
Mata Arsen kembali terbuka ketika mendengar erangan dari mulut wanita yang tidur satu ranjang dengannya."Ma ... bawa aku ....”Ibu Allice sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Lalu kenapa Allice tiba-tiba minta dibawa? Hal itu yang membuat Arsen akhirnya menoleh ke posisi tidur Allice.Wanita itu memunggunginya, masih tergulung di dalam selimut.“Hei,” panggil Arsen. “Kau bisa diam?”Tak ada respon. Bahkan Allice cukup berisik untuk sekedar mengeluarkan nafas.Arsen mulai merasa ada yang tak beres. Dia memposisikan diri untuk duduk kemudian mengguncang ringan bahu Allice yang tertutup selimut tebal.“Allice?” panggil Arsen.Dengan ragu, tangan Arsen akhirnya berpindah menyentuh dahi Allice.Dia cukup terkesiap merasakan hawa panas di tubuh istrinya itu. “Demam.”Arsen menyingkap selimut. Dia turun dari ranjang lalu keluar mencari Bi Suci. Tapi karena ini sudah lewat tengah malam, suasana sudah sangat sepi. Tak mungkin Arsen membangunkan pelayannya apalagi Nadya untuk mengurus Allice.
Salah satu alis Hexa menukik saat mendengar perkataan Axton barusan.“Menginginkan istrimu?” Dokter itu mem-beo.“Hem,” sahut Arsen dingin.Hexa masih bingung. Dia melihat sosok sahabat di depannya dari atas sampai bawah guna mencari jawaban. Kemudian netranya beralih pada mobil Arsen yang parkir tak jauh darinya. Disana Nadya keluar dari mobil lalu memandangi Arsen, seolah sedang menunggu pria itu.“Kau datang dengan Nadya. Allice tidak masuk kerja? Apa dia sakit?” tanya Hexa.“Dia sakit karenamu, bukan? Ada janji temu dengannya semalam? Pergi kemana sampai hujan-hujanan basah kuyup lalu berpelukan di depan rumahku.” Arsen akhirnya mengutarakan kekesalannya.Ah!Hexa terkekeh ringan. Dia hampir tak percaya kalau rupanya Arsen sedang mempermasalahkan soal semalam.“Kau cemburu aku pulang bersamanya? Memangnya Nadya tidak cerita? Atau Allice, mungkin?” Hexa tentu ingat, kalau semalam Nadya yang membukakan pintu rumah.Hexa juga menceritakan apa yang terjadi dengan Allice, hingga dia bi
Arsen hanya memutar-mutar chip itu di jemarinya. Dia berfikir, apa perlu melihat bukti entah apalah itu yang tertangkap di mobil Hexa?Pria itu akhirnya memilih meletakkan chip di laci meja kerjanya. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.Tapi gangguan selalu saja ada. Sebuah telefon masuk ke ponselnya.Pak Burhan. Dia adalah pemilik Night Club sekaligus rekan bisnis yang mengundangnya untuk party bersama semalam.Karena dipastikan apa yang akan dibahas Pak Burhan adalah penting, Arsen pun langsung mengangkatnya.“Halo, Pak Burhan. Bagaimana?” tanya Arsen langsung ketika benda pipih itu menempel di daun telinganya. Sedangkan tangan kanannya sedang menggoreskan tinta untuk tanda tangan di atas berkas.“Tuan Arsen, sebelumnya saya ingin memohon maaf karena minimnya penjagaan dan CCTV club masih belum aktif,” ucap Pak Burhan merasa tak enak pada Arsen.Dahi Arsen berkerut tipis. Dia tentu tau kalau itu club masih baru berdiri seminggu yang lalu. Memang belum sepenuhnya jadi. Diibaratk
Ulang tahun Safira? Arsen memejamkan matanya erat, memarahi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa tanggal ulang tahun istri pertamanya itu?Setiap tahun, semasa hidup Safira. Dia selalu berpesan pada Arsen. Kalau Safira akan selalu merayakan ulang tahunnya di panti asuhan tempatnya dibesarkan dulu.Bahkan, setelah kematian sang istri. Arsen masih saja melakukan hal serupa. Dia datang ke panti asuhan. Bermain dengan anak panti, berbagi dan hal lainnya. Makam Safira juga dikubur dekat dengan panti, jadi Arsen biasanya kesana dengan ibu panti.“Maaf Safira, aku hampir saja lupa,” ucap Arsen bermonolog. Tapi sekarang masalahnya adalah, Arsen sudah berjanji pada anak-anak akan membawa mereka berlibur akhir pekan.Arsen menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Dia memejam sembari memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut.Sampai dia menemukan sebuah keputusan.*** “Papa! Papa! Papa!” Anna melompat turun dari sofa ketika dia melihat Arsen baru dari arah ruang baca.Gadis kecil itu