Share

Hanya Untuk Menyiksa

LIMA TAHUN KEMUDIAN

“Brian! Anna! Sarapannya sudah siap!”

Suara teriakan itu khas terdengar setiap pagi.

Allice menata meja makannya. Rambut panjangnya dia gelung. Apron juga belum sempat dia lepas. Meski begitu, wajahnya tetap bersinar dan cantik tanpa make up sekalipun.

Lima tahun berlalu, hampir lima tahun pula Allice memiliki sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan, anak dari Arsenio Mahardika. Lelaki yang masih menjadi suaminya saat ini.

Ya, setelah dia melahirkan tanpa didampingi Arsen. Bertarung nyawa sendirian di ruang bersalin. Allice pikir, dia bisa terlepas dari pria yang pernah berkata akan menceraiakannya setelah memberikan anak.

Tapi nyatanya, sampai detik ini, Arsen masih menjeratnya begitu erat dengan status istri sekaligus pembunuh.

Kehadiran dua bayi lucu itu di rumah megah sang CEO sama sekali tak merubah sifat dan sikap dingin Arsen terhadap Allice.

Meski begitu, Brian dan Brianna adalah satu-satunya alasan Allice bertahan dalam nerakanya Arsen.

“Aduh, dimana ini anak-anak.”

Allice akhirnya melepas apron berwarna pink motif Hello Kitty. “Bi, aku akan naik ke kamar anak-anak. Tolong ambilkan sup salmon-nya masih di dapur,” ucapnya lembut.

“Baik, Nyonya.”

Sikap Allice yang baik membuat pelayan disana ikut melayani dengan senang hati. Allice juga jarang marah-marah kecuali pada kesalahan yang cukup fatal.

Kini, wanita itu naik ke lantai dua. Sayangnya, langkahnya melambat saat bertepatan dengan Arsen yang turun membawa tas kerjanya.

Pria itu sudah rapi memakai jas lengkap. Aroma citrus juga langsung menguar begitu seksi di indra penciuman Allice.

Seharusnya, Arsen memberikan senyuman juga sapaan selamat pagi. Tapi mana pernah. Bahkan sang suami langsung melewati Allice tanpa melirik sedikitpun.

“Arsen!” panggil Allice pada akhirnya.

Mereka berdua pun akhirnya sama-sama berbalik. “Aku berangkat,” ucapnya dingin.

“Aku sudah membuatkan sarapan kesukaanmu,” ujar Allice.

“Aku makan di kantor,” jawab Arsen seraya berbalik dan hendak pergi.

“Papa!” Panggilan kecil dari malaikat tercintanya membuat Arsen kembali menghentikan langkahnya yang baru saja menginjak marmer lantai satu.

Brianna atau biasa dipanggil Anna itu adalah gadis kecil yang ceria. Dia berlari menuruni anak tangga dengan cepat. Hingga kucir pita di kanan dan kiri kepalanya berayun-ayun. Sesampainya di tangga terakhir dia langsung melompat ke tubuh Arsen. Untung saja sang ayah bisa langsung menangkap dan membawanya ke gendongannya.

“Cantik sekali anak Papa.” Bibir Arsen tersenyum lebar. Dia bahkan menciumi wajah gadis kecilnya itu.

Ya, kalau dengan anak-anaknya Arsen bisa memberikan sisi lembut, senyuman terbaik serta pelukan ternyaman.

“Harum juga,” sambungnya setelah menghabisi setiap sudut wajah Brianna.

“Karena aku punya Mama yang cantik, jadi aku harus cantik juga,” ujar Anna.

Arsen tak merespon itu, dia hanya melirik samar pada wanita yang masih bergeming di tempat. Meski diakui, Allice adalah wanita cantik. Tapi baginya wanita tercantik adalah Safira.

“Ayok, makan. Aku ingin disuapi Papa!” Anna menunjuk ke ruang makan yang ada di samping kiri tangga.

“Kamu makan dengan Brian saja. Papa harus ke kantor sekarang,” sahut Arsen.

Wajah sumringah Anna pun meredup. "Papa tak ingin makan denganku? Papa ngga sayang sama aku?"

"Hai, Baby. Papa hanya ingin cepat-cepat ke kantor." Arsen rasanya enggan harus makan bersama Allice.

Anna mendengus kesal. Dia bahkan mendorong dada Arsen lalu merosot turun dari gendongannya.

“Mama siap-siap aja ke sekolah. Aku bisa makan sendiri dengan Brian dan ditemani Bi Suci,” ucap Anna.

Allice selama tiga tahun ini memang tidak menganggur. Dia adalah guru bahasa inggris di sekolah anak-anaknya. Meski soal harta dia tak pernah kekurangan, sebab Arsen sudah menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga. Tapi Allice ingin menyenangkan dirinya walau hanya beberapa jam saja di luar sana.

Dia bisa gila kalau terus-terusan di dalam rumah ini. Rumah yang sudah memberinya banyak luka. Rumah yang begitu dingin dan menegangkan tatkala Arsen ada di dalamnya.

Allice tersenyum tipis. “Mama juga lapar ingin makan bersama kalian.”

Dia pun turun menghampiri Anna.

Gadis kecil itu lalu meraih tangan Allice dan menarik pergi. Seolah Arsen tak ada lagi disana. Padahal, pria itu belum juga bergerak sedikitpun. Arsen terus mengamati perubahan sikap anak gadisnya setiap kali dirinya menolak kemauan Anna.

“Papa, kenapa cuma diam disini?” Suara Brian cukup mengagetkan Arsen.

Dia menoleh, melihat anaknya yang tampan dan tumbuh dengan baik tengah turun dari anak tangga teratas. Bisa dibilang, Brian menuruni sifat ayahnya. Dia tak suka banyak bicara.

“Papa mau berangkat.” Arsen tersenyum mengusap puncak kepala Brian setelah anak itu sampai di depannya.

Namun Brian langsung membenarkan rambutnya lagi dan berdecak. “Rambutku berantakan lagi.”

Arsen terkekeh. Anaknya itu sudah dewasa terlalu cepat. Bahkan urusan penampilan saja harus sempurna. Ah, bukan hanya itu. Sikap Brian bahkan sudah tidak seperti anak pada umumnya. IQ anak itu memang tinggi. Dia cerdas dan hampir tergolong jenius. Sampai kadang Arsen sulit berdebat dengan anak yang masih berusia 5 tahun itu.

“Makan bareng, Pa. Cuma sebentar ngga bisa?” tanya Brian.

“Papa benar-benar harus berangkat, Sayang.”

“Ngga, aku mau papa ikut makan,” kekeuh Brian.

Arsen menghela nafasnya. Dia sebenarnya tidak ada urusan genting, hanya saja terlalu malas untuk duduk di ruangan yang sama dengan Allice.

“Ayolah, Pa. Jangan sampai Anna marah terlalu lama. Aku pusing di sekolah kalau masih pagi mood dia hancur hanya karena perkara Papa menolak sarapan bersama kami,” pinta Brian sedikit merengek. Bibirnya mengerucut lucu. Membuat Arsen ingin tertawa.

Wajah polos anaknya itu akhirnya membuat Arsen mengikuti kemauan Brian dan Anna. Dia bergabung di meja makan. Dan – benar saja. Anna langsung tersenyum lagi.

"Yeeeyy! Papa makan bareng! Aku suapi ya. Biar papa ngga terlambat kerjanya." Anna benar, dia menyuapi Arsen katanya supaya makannya cepat habis. Arsen menurut saja. Dia menikmati moment kecil bersama anak-anaknya.

Allice hanya bisa ikut tersenyum tipis melihatnya. Dia tak berani ikut campur dan bisa saja membuat mood Arsen turun. Allice memilih menyantap makanan sambil memperhatikan semuanya. Kehangatan ini hanya bisa dia lihat di saat-saat tertentu saja.

Namun, sepertinya ketentraman mereka terganggu.

Seorang pelayan datang lalu membungkuk dengan hormat di samping Arsen.

“Permisi, Tuan Arsen. Ada tamu datang,” ucap pelayan bernama Bibi Suci.

“Tamu?” beo Arsen. Sebab dia merasa tidak ada jadwal bertemu tamu segala. Apalagi pertemuan di rumah ini.

Belum juga pelayan menjawab. Sosok itu sudah muncul sembari menarik kopernya masuk.

“Mas Arsen!” panggil seorang wanita.

Pria itu menoleh. Dia mendapati wanita seksi yang tersenyum lebar padanya. Tentu Arsen langsung berdiri dan membalas senyuman itu. Bahkan dengan santainya Arsen memeluk singkat wanita yang bernama Nadya.

“Kenapa tidak mengatakan padaku kalau kamu sudah kembali, hem?”

“Aku hanya ingin memberikan kejutan untukmu.”

“Oke, setelah ini akan tinggal dimana?”

Nadya menggeleng. “Aku belum mencarinya.”

“Tinggallah disini. Bersamaku,” jawab Arsen tanpa memikirkan jawabannya.

Nadya baru merasa dia menjadi pusat perhatian. Dia pun menggeser pandangannya pada orang-orang yang duduk di area meja makan.

“Tinggal bersamamu? Apa istrimu tidak marah?” tanyanya saat melihat tatapan datar Allice.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tokoh Pku
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Syahfa Thea
Ayo anak-anak. Buat ayah kalian dekat dengan Mamamu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status