“Jadi kau betulan berbohong pada ibumu?”Lizzie sedikit terlonjak karena cibiran yang Daxon berikan kepadanya. Saat ini gadis itu sedang duduk di kursi mobil Porsche yang sedang mereka kendarai. Suara mesinnya bergemuruh keras dan Lizzie memberikan pria itu sebuah gesture mengangkat bahu sebelum memberikan jawaban lisan.“Apa lagi yang bisa aku lakukan, Om?” tanya balik Lizzie sambil melirik pada si pria yang sedang mengemudi disebelahnya. “Apa aku harus mengatakan sejelas-jelasnya bahwa aku pergi ke Prancis bersama Papi gulaku, begitu?”Daxon memutar kedua bola matanya. “Kau kan bisa bilang kau pergi dengan pacarmu. Aku rasa izin seperti itu akan berhasil.”“Tapi setelah itu? ibuku pasti ingin bertemu denganmu, dan jika dia tahu siapa kau, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Satu hal yang ada di benakku saat itu adalah dia pasti akan memarahiku.”“Karena usiaku?”“Ya, dan karena kau juga kenal dengan Armant,” kata Lizzie. “Aku hanya … entahlah aku belum siap.”“Jad
Ungkapan Daxon barusan terus terang terlihat sedikit tajam dan itu cukup membuat Lizzie terperanjat. Tapi Prof. Zoe tampaknya tidak terganggu sama sekali, dia malah mengerang sambil menyandarkan kepalanya di bahu wanita yang duduk disebelahnya. Kalau tidak salah namanya Mona.“Dia tidak membuatku takut,” ungkap Lizzie setelah situasi kembali tenang. “Aku berhasil melewati kelasnya dengan baik.”“Ah! Aku tahu kau gadis muda! pantas saja kau tidak asing dimataku!” seru Prof. Zoe lagi yang cukup berapi-api, memandang Lizzie dan Daxon secara bergantian. “Jadi, bagaimana kalian bisa bertemu?”Lizzie menatap ke arah Daxon untuk mengisyaratkan pada pria itu agar memberikan jawaban yang bagus. Mengakui bahwa mereka terlibat one night stand yang kemudian berubah menjadi sebuah kesepakatan tentang hubungan papi gula dan sugar baby, tentunya tidak mungkin dibicarakan keras-keras disini. Bisa dibilang itu adalah cerita yang paling Lizzie ingin tutupi dari siapa pun juga.Daxon yang mengerti langs
Zoe mengerang sambil menggosok pelipisnya dengan jari, Mona menepuk punggungnya tatkala Mike hanya menonton dalam diam.“Aku hanya kaget, itu saja,” kata Smith. “Aku pikir kau akan memilih seseorang yang seumuranmu lagi dibandingkan dengan bocah ingusan ini. Lagipula dengan tampangmu kau bisa mendapatkan yang lebih seksi dan cantik.”Siapa yang sedang dibicarakan oleh si tua bangka ini? apakah itu aku?Lizzie menarik napasnya, mencoba untuk menenangkan diri saat pria itu terang-terangan menghinanya begini. Wajahnya sudah memerah dan kedua matanya jelas memperlihatkan amarah yang meluap-luap di dalam. Menjadi penyabar ternyata sangat sulit. Itulah pelajaran yang dia dapatkan dari pria itu.“Ya, memang,” kata Daxon. “Tapi Lizzie jelas lebih dari sekadar muda, cantik, dan seksi. Dia milikku, dan aku sangat akan menghargai jika kau tidak menyusahkannya. Dia ada disini bukan untuk bersenang-senang saja, melainkan datang sebagai patner kencanku.”“Jadi bukan peliharaanmu?”“Lizzie bukan bin
Lizzie menggelengkan kepala sambil menggigit bibir bawahnya, sedikit tergoda dengan ucapan Daxon tapi dia memilih untuk menahannya. “Tidak untuk malam ini, Om. Aku hanya ingin kita berdua bersenang-senang dan menikmatinya.” Daxon merasakan bagian dari dirinya mulai terasa menyakitkan dibalik celana yang dia kenakan. Pria itu menarik Lizzie agar jatuh ke pangkuannya, mengulurkan tangan untuk mengelus bagian yang paling menggoda keimanannya sementara tangan yang lain bergerilya melepaskan kain transparan yang menutupi bagian dada. Kemudian fokus memainkannya dengan sebelah tangan dengan gemas. Lizzie menguatkan dirinya diatas pangkuan Daxon, lengannya sudah gemetar akibat sentuhan yang pria itu buat. Bagian depan celana dalam dari lingerie yang dia kenakan mulai terasa basah tapi Daxon tidak bergerak sama sekali untuk melepaskannya. Ah, bukan. Tapi lebih ke belum mau. Dia menarik Lizzie dari pangkuannya dan mendudukannya di sofa, mengambil dasinya sendiri dan melirik ke arah Lizzie y
Sisa tiga hari sebelum keberangkatan Lizzie, ibunya cukup sibuk menyiapkan banyak hal yang perlu dia bawa. Mulai dari kaos kaki hingga pakaian dalam baru. Tentu saja jenis pakaian dalam yang fungsional dan bukan sesuatu yang berbau estetika macam kesukaan Daxon. Sangat polos sederhana. Ibunya memang tahu betul bahwa Lizzie orangnya cukup simple, dan bukan orang yang akan pilih-pilih karena itu kenyamanan berada pada tingkat teratas dari pemilihan pakaian baru yang ibunya siapkan.Yang berbeda adalah dia mendapatkan sesuatu dari ayahnya pula. Sejujurnya Lizzie agak ragu membukanya, dia yakin bahwa hadiah tersebut mungkin hanyalah satu set obat-obatan sesuai dengan profesinya atau berupa sindiran semata. Namun ketika gadis itu membuka bungkusan yang diberikan oleh ayahnya, Lizzie hanya bisa diam dan menahan air mata.“Terima kasih, Ayah.”Pria itu hanya angkat bahu dan bergumam sebagai balasan. “Jika aku tidak bisa menolongmu dari tindakan membuang waktu demi melakukan hal yang kau sang
Lizzie sudah selesai mengemas seluruh barangnya lebih dulu, dia berpikir akan jauh lebih praktis seperti itu karena akan merepotkan bila melakukannya pada H-1. Setidaknya masih tersisa satu hari sebelum keberangkatan, dan Daxon jauh lebih sibuk dari pada hari-hari sebelumnya. Tetapi di pertemuan terakhir yang singkat pria itu menitipkan kartu kreditnya untuk Lizzie gunakan berbelanja keperluan. Tak ingin egois, akhirnya Lizzie memutuskan pergi ke toko buku hari itu, setidaknya dia membeli sesuatu yang bisa mereka baca atau dengarkan saat berada di pesawat nanti untuk membunuh waktu.Lizzie berkeliling sendiri setelah menemukan banyak barang yang dia butuhkan, dia hanya membeli sebuah buku novel misteri yang barangkali masuk ke dalam selera Daxon. Hal itu tentu saja karena Lizzie kerap melihat koleksi buku pria itu selalu didominasi oleh buku memusingkan, jadi Lizzie berharap buku yang dia beli cukup untuk penerbangan panjang mereka. Tak hanya disitu, Lizzie tiba-tiba saja tergoda deng
Tubuh Lizzie tersentak, gadis itu melihat sekeliling dan menemukan sepupunya. Mina berlari ke arah meja yang sedang diduduki. Dia melambai ke arah Lizzie, dan kemudian gadis itu melirik ke arah Smith sebelum melihat kembali ke temannya.“Jadi, Lizzie senang melihatmu disini,” kata Mina. “Dan siapa dia?”Lizzie tahu alasan mengapa Mina bertanya kepadanya seperti itu. Sepupunya mungkin berpikir bahwa orang yang kini sedang bersamanya adalah ‘sang pacar’ yang sedang dia rahasiakan.“Ah, dia sebenarnya teman pacarku,” kata Lizzie memperkenalkan Smith dengan ogah-ogahan kepada sepupunya karena untuk sesaat dia melihat gelagat aneh dari pria itu. “Jadi kalau kau pikir dia adalah pacarku, maka kau salah, Mina. Kau masih belum bisa bertemu dengannya untuk sekarang.”Mina mengerang dan Smith mulai tertawa.“Masih rahasia?” Smith bertanya.“Ya!” Dengan cepat Mina langsung menjawabnya. “Dia memang selalu begitu, menyimpan segalanya untuk diri sendiri tapi memaksa oranglain untuk terbuka kepadany
“O-om?!”“Ya?”“Kamera loh om, ini kamera!!” Beberapa orang sempat melirik kearah Lizzie yang bicara dengan intonasi agak keras. Tapi meski perhatian sementara terarah padanya, Lizzie tidak peduli dan masih mengangumi benda yang kini ada di genggaman.“Aku pikir kau bisa mengambil gambar sebanyak apa pun yang kau mau disana sebagai referensi untuk lukisanmu. Aku juga sempat mendengar kau masuk kelas fotografi, jadi memberimu kamera adalah sesuatu yang aku pikir bagus untuk menjadi modal studimu.”“Ini sempurna Om! Ini hadiah yang benar-benar sempurna. Terima kasih banyak!” Lizzie menjerit kesenangan sambil memeluk kotak yang telah dia buka dari kertas kado erat-erat. “Aku mau buka kotaknya ya.”“Silahkan, supaya kau bisa mempelajari cara kerjanya sebelum bisa memakainya.”Lizzie tidak membuang waktu dan mulai membuka secara perlahan kotak kamernya hingga terbuka. Dia dengan cepat memasukan kartu memori dan baterai. Tak lama kamera menyala dan Lizzie langsung memainkannya sekadar memer