Perjalanan pulang di mobil tidaklah sepi. Mina dan Lizzie asyik mengobrol ria, sedangkan Armant selaku pengemudi hanya diam tanpa sekali pun ikut bicara. Namun, ada ketegangan yang terselip disana dan Lizzie tidak yakin apakah Mina ikut menyadari hal tersebut atau tidak. Kalau pun dia tahu, sepertinya Mina akan berpura-pura bersikap seolah dia tidak sadar. Karena begitulah cara kerja mereka berdua kepada Lizzie.Ketika tiba di pelataran parkir apartment, Lizzie berjalan di belakang Armant, mengawasi gerak-gerik pemuda itu. Dia terus menerus melirik ke arah ponselnya sendiri, Lizzie berasumsi dia sedang terlibat sesuatu dengan Annie, atau setidaknya itulah harapannya dan bukan yang lain. Tetapi alih-alih mengkonfirmasi seperti biasa, dia justru memilih untuk tidak ikut campur sama sekali sebab dia sendiri takut bila penyebab mengapa Armant menjadi pendiam adalah justru karena dirinya.Karena ada kemungkinan seperti itu, bisa saja pemuda itu sedang menunggu pesan dari Daxon, misalnya?M
Cuaca tidak mengubah segalanya menjadi baik, sebab faktanya suasana justru jadi tampak muram dengan langit berwarna abu-abu dan udara dingin yang membuat segalanya jadi lebih buruk. Es yang menutupi tanah dan tidak pernah berubah menjadi salju, hanya sekadar lumpur kotor yang mengotori sepatu. Namun, setidaknya Lizzie berada di tempat yang hangat, nyaman, dan tenang untuk belajar sambil menikmati latte hangat kesayangan.Lizzie menyeruput minumannya ditemani buku yang berjudul photography appreciation. Dia memilih café sebagai tempat belajar karena di tempat ini tidak banyak orang yang dia kenal datang kemari sebab semua anak kampus menyembutnya sebagai café nerd lantaran diisi oleh para kutu buku kampus. Dan hari ini Lizzie memutuskan untuk menjadi salah satu dari mereka. Dia tidak tergoda untuk melirik kesana kemari atau melakukan hal tak berguna seperti biasanya dan tidak ada orang yang dia kenal datang ke café ini,Segalanya sempurna sampai Lizzie mendengar bunyi gedebuk di mejany
Lizzie berkendara ke rumah Levin dan Marie, sedikit merutuk dengan kondisi jalanan yang agak licin dan udara yang dingin. Jika saja bukan karena kecerobohan dan ujian di esok hari, Lizzie akan memastikan dia tidak akan mau keluar di situasi macam ini. Bila dia tidak berusaha paling tidak berpura-pura untuk belajar, kemungkinan besar dia akan gagal dan Lizzie sangat malas untuk mengulang.Tiba di tempat yang dia tuju, gadis itu memarkirkan motor kesayangannya dan melihat kesekeliling. Segalanya masih tampak sama, dan Lizzie merasa seperti agak bernostalgia. Mobil Levin ada di depan tetapi dia tidak melihat ada tanda-tanda keberadaan Marie. Sepertinya dia sedang sibuk di suatu tempat, tapi ada atau tidaknya dia itu bukan hal yang perlu Lizzie gelisahkan. Lizzie memasukan tangannya ke dalam saku mantel yang dia kenakan, mulai meniti ke arah anak tangga dan berjalan menuju pintu kayu. Mengetuk benda itu beberapa kali, sampai jarinya terasa sakit karena anehnya dia tidak mendengar jawaban
Marie manarik napas dalam-dalam, bibirnya mengerucut dan alisnya terangkat menunjukan rasa jijik yang jelas. Ekspresi yang baru kali ini Lizzie lihat sebagai sahabatnya. “Jangan pikirkan aku, aku kemari hanya mau mengambil beberapa barang yang ketinggalan. Aku tidak akan menyela kalian berdua.”“Marie, tidak! ini tidak seperti yang kau pikirkan!” ungkap Levin yang langsung melompat mendekat padanya dari sofa untuk mengejar gadis itu. “Aku bersumpah atas nama Tuhan, sayang, ini tidak—”“Aku tidak mau mendengar apa pun dari mulutmu, Levin! Setidaknya apa yang aku lihat dari situasi ini adalah soal kau yang tidak sabar memasukan milikmu lagi ke dalam lubang gadis itu. Jangan pedulikan aku dan bersumpah atas nama Tuhan di depan mukaku!”Lizzie bangkit dari posisinya, mencoba untuk menganalisa situasi. Terus terang dia sangat gugup sekarang. Dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini. Mestinya dia mendekat pada mereka atau keluar dari rumah ini, tapi nyatanya kedua kakinya membeku dan d
Tepat setelah kelas berakhir, hal pertama yang Lizzie lakukan adalah mengemas barang-barangnya untuk dia bawa berakhir pekan. Ketiganya sudah sepakat kemana mereka akan menghabiskan waktu. Lizzie akan tinggal di rumah Daxon, Mina akan berada di rumah Smith, dan Armant tentu saja akan menjadi penjaga apartment. Ini adalah sebuah solusi yang adil dan masuk akal untuk kebutuhan privasi mereka bertiga.Mina sudah menjadi orang pertama yang pergi, bisa dilihat dari kekosongan yang ada di kamarnya. Lizzie sendiri masih sibuk memilah apa saja yang perlu dia bawa pergi ke dalam tasnya. Terutama pakaian baru, sebab akhir-akhir ini dia punya kebiasaan buruk meninggalkan barangnya di kediaman pria itu secara sembarangan dan Daxon juga kerap mengeluhkan kecerobohannya.Dia mengambil barang terakhir, sebelum kemudian Lizzie mendengar pintu kamarnya di buka. Ada Armant disana masuk sambil melipat kedua tangan di depan dada.“Oh, sepertinya aku menangkapmu sebelum kau pergi,” katanya, yang tak lama
“Aku sepenuhnya mengerti,” kata Lizzie sambil menganggukan kepalanya dengan penuh keyakinan. “Aku akan menghormati keinginanmu, Marie. Lagipula itu sangat masuk akal, kedepannya jika ada hal lain yang kurang berkenan atau hal yang ingin aku lakukan untukmu, tolong beritahu aku.”Marie mengangguk seraya menghela napas, tampak sangat lega dengan jawaban yang baru saja diberikan olehnya. “Lizzie, terima kasih banyak. Terima kasih sudah berpikiran terbuka untuk hal sesepele ini.”“Menurutku ini tidak sebanding dengan hal buruk yang telah aku lakukan di masa lalu. Jadi biarkan aku menebus dosaku dengan menjadi teman yang suportif untuk hubungan kalian berdua. Terima kasih masih mau menganggapku teman, Marie. Aku—”Belum sempat Lizzie menyelesaikan ucapannya, terdengar bunyi dengungan yang cukup keras. Marie mengernyitkan dahi dan mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya, mengacungkan jari menyuruh Lizzie menunggu sebentar.“Ya, betul,” ujar Marie menjawab panggilan tersebut.Lizzie tidak me
Daxon mengangkat Lizzie sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya sendiri, meletakan gadis itu pada meja dekat wastafel yang dingin. Lizzie menggigil karena hawa dingin yang tiba-tiba menerpa kulitnya, tetapi tidak selang lama sebab kemudian Daxon mendorong kedua kakinya agar terbuka lebar. Dia menyingkap roknya dan menundukan kepalanya sekali lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lizzie tersentak karena dia merasakan adanya hawa panas yang menyelimuti miliknya. Kali ini Daxon tidak lagi menahan apa pun. Pria itu meraupnya, melahapnya seperti sesuatu yang lezat. Membuat Lizzie tidak mampu melakukan apa-apa selain merintih. Kepalanya bersandar pada dinding, tubuhnya menggeliat mencoba melarikan diri sebelum dirinya menjadi lebih gila. Namun kedua tangan Daxon yang berstagnasi di kedua kakinya, menahan dengan kuat menjaga kedua kakinya agar tetap terbuka. Bahkan ketika Lizzie mencoba untuk menutupnya karena kenikmatan yang dia dapatkan, cengkraman Daxon tidak bergeming sama sekali.
Akhir pekan berlalu lebih cepat dari yang diinginkan oleh setiap orang. Terlalu dini untuk kembali belajar di kampus, dan yang paling Lizzie tidak suka adalah Daxon akan kembali sibuk dengan pekerjaan dan dunianya. Itu sudah pasti, dan tidak bisa terelakan lagi. Nasibnya bahkan jauh lebih buruk dari pada pasangan yang seumur, yakni kurangnya support di saat weekday, dan tidak ada jam pertemuan sebelum masuk kelas ujian. Ini benar-benar menyebalkan buat Lizzie.Kali ini dia sedang makan malam bersama dengan Mina dan Armant, setelah siangnya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Armnat tiba-tiba berdehem dan itu cukup untuk menarik perhatian Lizzie dan Mina.“Ada apa?” Lizzie menjadi yang pertama peka dan bertanya, dia mengalihkan pandangannya dari piring yang berisi makanan menggugah selera buatan Mina. Berkat ujaran yang dikatakan oleh Lizzie, sepupunya Mina juga ikut mengalihkan perhatian kepada Armant.Ketika pemuda itu mendapatkan perhatian dari dua gadis dihadapannya, barulah kini