Dua orang wanita berseragam pakaian pegawai butik berdiri di belakang Paula, mereka diam dan hanya memperhatikan bagaimana Paula mencoba dan mengambil pakaian manapun yang dia mau tanpa melihat sedikitpun harganya. Sudah banyak barang yang Paula jual demi menunjang gaya hidupnya selama dia kehilangan pemasukan dan jauh dari Winter hingga kehilangan rumah mewahnya. Kini, begitu Winter kembali mengajaknya berbelanja, Paula kehilangan kendali dengan kesenangan yang membuncah di hatinya. Loona, manager butik itu tersenyum formal di samping Winter yang kini berdiri jauh dari Paula karena Paula tidak memberikan izin Winter berdiri dekat-dekat dengannya. Paula tidak peduli, meski Winter yang membayar semua yang Paula ambil, Paula tetap tidak ingin Winter lebih mencolok darinya, apalagi kini Winter sudah semakin kurus dan pandai berdandan. Paula tidak suka jika Winter berpakaian lebih mahal dan modis darinya. Paula marah jika Winter terlihat lebih cantik darinya. Paula tetap ingin, saat s
Paula mengambil sendok dan memulai makan dengan lahap. “Winter, kak Vincent sudah kembali ke Manchester. Apakah sekarang kita bisa pergi bersama lagi dan aku bisa bermain ke rumahmu?” “Aku minta maaf Paula. Kak Vincent masih belum mengizinkannya, dia malah menambahkan pengawal untukku, Nai selalu melaporkan setiap delapan jam sekali. Meski begitu, kita bisa bertemu di sekolah, dan aku masih bisa mengajakmu sesekali untuk keluar seperti ini. Ku harap kau tidak marah, aku akan berusaha meyakinkan kak Vincent jika kau bukanlah sahabat yang buruk untukku. Aku juga berusaha membujuk ayahku untuk kembali memberikanmu uang jajan di setiap minggunya. Ku harap kau mau bersabar menunggu.” Kali ini Paula mengangguk setuju dan tidak marah seperti sebelumnya. Hal itu di karenakan Paula yakin dengan apa yang di lakukan Winter hari ini kepadanya sudah cukup membuat dia percaya bahwa Winter memang tidak berubah kepadanya. “Winter. Kontesmu tadi siang terlihat buruk dan kacau,” komentar Paula sam
Malam yang indah memanjakan mata, setelah sekian lama tidak menyetir, kini Winter bisa merasakan bagaimana bepergian dengan begitu tenang tanpa bersembunyi. Mobil yang di kendarai Winter bergerak semakin cepat membelah jalan kota Loor yang indah dan tidak pernah sepi. Dua buah mobil pengawalan tidak pernah lepas memantau dan mengikuti. Winter melihat ke sekitar, menikmati pemandangan di sekitarnya sambil menyetir. Perlahan sudut Winter terangkat membentuk senyuman puas karena suasana hatinya menjadi semakin baik dengan jalan-jalan di malam hari. Hari-hari yang Kimberly jalani sebagai Winter Benjamin mulai membuat jiwa Kimberly nyaman meski belum sepenuhnya dia berdamai dengan masa lalunya. Kini timbul rasa penasaran di dalam jiwa Kimberly mengenai kehidupan orang-orang yang dulu mengkhianati Kimberly. Apakah Tuhan sudah memberikan mereka karmanya? Ataukah Tuhan membiarkan mereka tetap bahagia? Jika mereka masih baik-baik saja, maka Winterlah yang akan membuat perhitungan. Wint
Rasa sakit muncul di dalam hati Winter begitu tahu Nathan masih bertemu dengan Aurin. Padahal Aurin adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa uang Kimberly Feodora di bawa kabur oleh Nathan. Winter tertunduk merasa bimbang apakah dia harus pergi atau tetap tinggal sejenak saja. “Kenapa dengan penampilanmu? Ya Tuhan, bagaimana bisa kau terluka?” Tanya Aurin yang terlihat khawatir dan ketakutan. “Aku tidak apa-apa,” jawab Nathan seraya mengibaskan tangannya di udara. Nathan langsung menatap tajam Aurin penuh dengan perhitungan dan kejengkelan yang membuatnya tidak tahan untuk diam saja. “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?” tanya Nathan terdengar tajam. Aurin memberikan segelas minuman agar Nathan bisa sedikit tenang. “Memangnya ada apa?.” “Aku butuh uang.” Kening Aurin mengerut, wanita itu menatap heran pria yang duduk di hadapannya itu. “Aku sudah memberikan banyak uang padamu minggu ini Nathan. Bagaimana bisa kau menghabiskan uang ribuan dollar kurang dari satu minggu. Lag
Winter berdiri di atas sebuah jembatan, riasan cantik yang memoles wajahnya sudah berantakan, gaun yang dia kenakan berkibar tidak beraturan di gerakan oleh angin malam. Winter termenung merasakan perasaan yang menyakitkan yang kini kembali memporak porandakan seluruh isi hatinya. Sempurna sudah deritanya seakan kemenangan hanya di miliki oleh orang-orang yang berbuat jahat. Bibir Winter terbuka perlahan, gadis itu menghenmbuskan napasnya dengan berat membuang beban yang begitu sulit dia pikul. Perlahan Winter mengangkat wajahnya, gadis itu menatap langit yang cerah malam ini, di hiasi banyak bintang yang bersinar. Bola mata indah Winer kembali berkilauan terlapis genangan air mata yang perlahan jatuh melalui sudut matanya. Sebuah suara nada panggilan masuk terdengar di handpone Winter, gadis itu merongoh handponenya dari tasnya dan melihat layar yang tertera nama Benjamin. Dengan cepat Winter menerima panggilan itu, “Ayah.” “Winter, bagaimana kabarmu?” Winter menghapus air ma
Mante Hemilton, pria itu menatap dingin Winter yang berada di hadapannya, pria itu sedikit terkejut begitu mengetahui orang yang menghubunginya dan meminta jasanya adalah seorang gadis yang masih muda. Mante tidak bisa banyak berkomentar, sudah ada ratusan orang yang datang mengubunginya dalam waktu satu tahun terakhir ini, mereka datang dari berbagai kalangan dan usia. Winter Benjamin bukan satu-satunya anak muda yang menginginkan jasa kejahatan. Lagi pula, ini bukan urusan Mante, dia datang untuk bekerja sama. Perlahan Mante menegakan tubuhnya, “Nona Winter, apa tujuan Anda menghubungi kami?” Tangan Winter mengepal, meremas permukaan roknya dan tertunduk melihat permukaan meja. Winter membuang napasnya dengan kasar sebelum berkata, “Saya membutuhkan jasa Anda.” “Anda sudah tahu konsekuensinya jika berhubungan dengan kami?” tanya Mante perlahan. Winter menggeleng, dia menghubungi mafia karena marah yang tidak terkendali. Tujuannya hanya ingin membuat Aurin dan Nathan hancur mel
Mante yang masih duduk dengan tenang hanya mengetuk-ngetuk ujung jarinya pada permukaan meja, pria itu terdiam menunggu kapan Winter akan berbicara. Wajah Winter memucat, tangannya gemetar berkeringat dingin. Jiwa Kimberly di landa rasa gugup karena merasakan tekanan kuat yang mendorong dia untuk berkata jujur. Beberapa kali Winter mengatur napasnya sebelum akhirnya mulai angkat bicara. “Kau mengenal Kimberly Feodora?” tanya Winter dengan hati-hati. Mante menggeleng tidak tahu. “Kimberly Feodora adalah super model yang terlibat skandal pembunuhan, dan dia bunuh diri tiga tahun yang lalu. Pemilik bar Pentagon yang sekarang adalah Nathan Manuela dan Aurin, dia adalah manager dan sahabat Kimberly. Bar seharga jutaan dollar itu di beli dari hasil mencuri uang Kimberly Feodora. Dan harta yang terisa di seft deposit box itu adalah milik Kimberly Feodora. Semasa hidupnya, Kimberly tidak bisa mengambilnya karena Nathan mengambil semua kunci dan berkasanya. Bank tidak akan mungkin menyerah
Sebuah perapian menyala di sisi cekungan dinding, Winter duduk di ujung kursi, melihat penampakan kota Loor yang sangat indah di malam hari sambil mengusap wajahnya dengan tishu basah untuk menghapus kekacauan makeupnya karena banyak menangis. Sementara Marvelo, dia duduk di sisi lainnya, pria terdiam membisu menyembunyikan sesuatu yang membebani hatinya. Suasana hati Marvelo tampaknya tidak baik, pria itu menyimpan sebuah beban yang tidak bisa dia ungkapkan sembarangan, hal itu membuat Marvelo merasa tersiksa dan lelah. “Kau kenapa?” Tanya Winter yang menyadari suasana hati Mervelo yang buruk. “Kau sendiri kenapa menangis?” Tanya balik Marvelo yang tidak menjawab pertanyaan Winter. Winter menengok, gadis itu memperhatikan mata Marvelo yang merdup di penuhi oleh kesedihan. “Aku menangis karena di khianati. Kau sendiri kenapa terlihat sedih?.” “Sejak kapan kau peka dengan perasaan orang lain?” Tanya Marvelo lagi terdengar seperti mengejek. “Matamu mengatakan semuanya.” Marvelo b