POV Arya Wisesa
"Apa?""Kanda mau menikah dengan Nimas Ayu?" pekik Dyah Ayu terkejut.
"Benarkah itu, Kanda?" gadis itu tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, saat aku meminta Romo Sura Wijaya untuk meminangkan Nimas Ayu.
Aku tahu keinginanku ini pasti melukai hatinya. Tapi bagaimana lagi, aku menginginkan Nimas, selama 3 purnama aku berjauhan dengannya, membuat hidupku tidak bergairah.
"Tapi, Kanda, bagaimana denganku? Tidak bisakah kita menikah terlebih dahulu, maksudku aku ...." Dia terisak.
Mungkin gadis di depanku ini saat ini sangat kecewa dengan keputusanku untuk menikahi Nimas Ayu Larasati. Aku pasti telah menghancurkan harapannya.
Sebelumnya mungkin dia berharap aku bisa belajar mencintainya, tapi bagaimana lagi, hati ini sudah penuh dengan Nimas. Tak mungkin aku isi lagi dengan orang lain.
"Dinda, maafkan kanda, jika membuatmu terluka."
Dia tidak menjawab perkataanku, setegar apapun dia
"Hhiiiiyyyyaaaaa ... "Kami bermaksud untuk memacu kuda kami, tapi terlambat, karena rombongan berkuda itu sudah tiba didepanku."Kalian baik-baik saja?" setelah mendekat, ternyata rombongan berkuda itu adalah Paman Tumenggung dan para pengawal.Aku bernapas lega."Kami baik-baik saja, Paman, iya, kan, Dinda?" jawabku. Mungkin kami pergi terlalu lama, sehingga membuat Paman khawatir. Dinda Dyah Ayu memacu kudanya perlahan, kami mengikutinya dari belakang."Romo, kenapa menyusul?" tanyanya heran."Romo khawatir, kalian sudah terlalu lama diluar istana," jawab paman tumenggung. Bibir gadis itu mengerucut, rupanya dia tengah merajuk pada romonya."Aku sudah besar, Romo," ujarnya."Iya, tapi masih manja," jawab paman sambil terkekeh.Di sepanjang jalan, Dyah ayu mengomel pada romonya, karena menganggap dia seperti anak kecil.Ketika kami sudah tiba kembali di istana, rombongan kami terpisah, mereka l
POV Arya WisesaPagi mulai menyapa, saat aku terbangun di bilik bambuku. Gemerincik air sudah terdengar, suara yang telah kurindukan lebih dari tiga purnama ini. Itulah suara Nimas ketika menyiram bunga-bunga di halaman bilikku. Tanpa sadar bibir ini menyunggingkan senyuman, bisa melihatnya pagi ini. Aku bergegas mengintipnya dari balik jendela yang terbuka sedikit.Nimas Ayu tampak khusyuk menuangkan air sedikit demi sedikit. Sesekali kulihat dia berbicara sendiri, eh, mungkin saja dia sedang menyapa bunga-bunga yang sedang dirawatnya itu. Duh ... betapa bahagianya jika aku menjadi bunga-bunga itu, yang setiap hari disayang olehnya dan diajak bicara.Bahkan kadang dia melantunkan kidung untuk mereka, bunga-bunga itu. Suaranya merdu, menentramkan hatiku, Hmmm ... betapa bahagia ... Nimas, dirimu telah mengalihkan duniaku.Aku mendesah panjang, menyadari kebucinanku yang sudah berada di level akut.Beginilah rasanya jatuh cinta?Ternyat
"Nimas, pelan-pelan. Jalannya licin." ujarku seraya menggenggam tangannya dengan lembut.Aroma bulan madu menguar semerbak mewangi. Seperti Kamajaya dan Kamaratih yang selalu memenuhi kebersamaan mereka dengan cinta, begitupun kami berdua. Aroma cinta dan panasnya api asmara membakar hasrat dalam ikatan suci.Pagi ini kami berdua sedang menyusuri jalan setapak, mencoba untuk mengusir hawa dingin dengan sedikit menggerakkan tubuh. Jalan setapak yang kami lalui adalah jalan menuju ke dalam hutan Gunung Wilis. Tadi malam gadis cantik yang telah menjadi istriku ini berkata, kalau dia ingin menunjukkan sesuatu padaku. Katanya sesuatu yang sangat indah yang tersembunyi di balik hutan dan perbukitan di Gunung Wilis ini. Mengusik rasa penasaran dalam diriku.Sedikit menyebalkan memang, karena wanita cantik ini tidak mau memberitahu dengan jelas, apa yang ingin ditunjukkannya. Dia hanya tersenyum menggoda jika aku memaksanya memberitahu. Duh, membuatku gelisah saja
Simo seto menerjang tubuhku dengan tiba-tiba, membuat tubuh ini terpelanting kehilangan keseimbangan. Secepat kilat aku bangkit dan memasang kuda-kuda. Kini dia memandang dengan sorot tajam tak bersahabat, suara Auman terdengar membuat berdiri bulu kuduk. Sementara aku terus menatapnya penuh kewaspadaan. Sekalipun makhluk di depanku ini saat dia diam terlihat begitu manis, tapi naluri hewan liar tetap melekat pada dirinya. Aku tak boleh lengah sedikitpun."Apakah kau marah padaku? Karena telah mencuri perhatian majikanmu?" tanyaku padanya, sementara Simo Seto masih menggeram dari tempatnya berdiri."Kau salah paham. Kita tidak perlu saling bertengkar merebutkannya, Anak Muda. Karena kita akan saling bahu-membahu untuk melindunginya."Kulihat Simo Seto beranjak pelan memutari tubuhku, sesekali aumannya masih menyisakan rasa miris. Aku masih tetap waspada, siaga jika dia secara tiba-tiba menyerangku."Hey, apakah kau tidak mau bersahabat dengank
Aku melesat keatas pohon, karena lebih leluasa untuk mengawasi pergerakan di bawah. Kupindai sekeliling, mencari hal-hal yang mencurigakan. Dan ketika mataku menangkap sesosok tubuh yang sedang bersimpuh di atas batu hitam, aku terpana.Siapa pria itu?Apa yang sedang dilakukannya?Segudang tanda tanya semua berkumpul dan berputar di dalam benak.Aku terus memperhatikannya dari atas sini, setiap gerakan yang dia lakukan tidak luput dari perhatianku. Fokus yang dia hadirkan dalam setiap gerakannya, begitu tenang tanpa ada rasa takut pada sesuatu yang membahayakan jiwanya. Seolah-olah dia sedang menyatu dengan alam. Khusyuk.Apakah dia sedang sholat?Apakah dijaman ini sudah ada orang muslim?Diriku sebagai Panji memang bukanlah orang yang paham agama, bahkan aku tidak tahu agamaku sendiri. Apalagi tentang tatacara beribadah, gerakan dan bacaan sholat aku tidak tahu sama sekali.Selama ini aku
Pagi ini mentari bersinar hangat, mengusir kebekuan lereng Gunung Wilis meskipun masih menyisakan hawa dingin. Dari Pagi buta seluruh penghuni Padhepokan sudah disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk mengisi tandon air untuk dapur padhepokan, biasanya setiap hari dibuat jadwal secara bergilir untuk murid-murid padhepokan yang bertugas mengisi tandon air. Mereka mengambilnya dari sumber air yang terletak dibagian belakang padhepokan.Sedangkan tukang masak padhepokan sedang menanak nasi dengan kuali besar yang terbuat dari tanah. Sementara lainnya ada yang mencuci pakaian disungai, ada juga yang sedang berlatih pedang. Semua melakukan tugas masing-masing. Hal ini menjadikan suasana Padhepokan selalu hidup.Nimas sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di halaman bilik kami, saat aku dan Romo Gandiswara sedang bermain-main dengan Simo Seto. Romo Gandiwara mempunyai penglihatan yang luar biasa, beliau mampu membaca potensi orang hanya dengan beber
(Mulai bab 21 seterusnya akan menggunakan POV 3)POV Author❤️❤️❤️Tok tok tokSuara ketukan pintu terdengar di bilik milik Arya Wisesa. Mereka berdua yang masih berbincang saling pandang, karena tidak biasanya di malam selarut ini ada yang mengetuk pintu, jika bukan karena perkara penting."Biar aku saja, Nimas," ucap Arya.Setelahnya, Arya beringsut dan berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, hingga suara derit pintu terdengar. Saat daun pintu terbuka, wajah semringah Rangga Suta terpampang di depan mata."Ada apa, Kangmas?" tanya Nimas Ayu seraya mendekati suaminya."Tadi aku ikut meronda dengan murid-murid Padhepokan. Saat lewat depan bilik kalian, kulihat pelita masih menyala. Akhirnya kuputuskan untuk datang," Jawabnya tanpa dosa.Tampak Arya menghembuskan napas lega, andaikan Rangga Suta tahu, tadi mereka sudah berpikir macam-macam saat mendengar ketukan pintu. Mengira ada kejadian mene
Rangga Suta berjalan paling belakang, Nimas Ayu berjalan di tengah sementara Arya Wisesa berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Mereka bertiga berjalan menyusuri jalan setapak masuk ke dalam hutan belakang Padhepokan. Sesekali Rangga Suta berkelakar mengundang tawa, membuat suasana riang gembira mewarnai perjalanan mereka."Kanda, lihatlah! burung itu terus mengikuti kita," ucap Nimas riang ketika seekor burung hinggap di dahan pohon tak jauh dari mereka."Itu burung cucak wilis, Nimas," ucap Rangga Suta hanya sepintas menatap burung yang sedang berkicau dengan riangnya."Itu memang burung hutan, biar saja dia terbang bebas di alam liar. Jangan ditangkap!" Arya Wisesa menambahkan.Nimas Ayu mengangguk, bibirnya terus melengkung indah saat matanya menatap burung berjambul kuning itu."Kau boleh mengikuti kami, aku tidak akan menangkapmu," bisiknya lembut.Burung itu berputar-putar mengitari mereka sambil ber