Keesokan harinya Lena merasakan kondisinya begitu baik. Ia sangat bersemangat dan memiliki banyak energi.Lena juga tidak merasakan mual atau muntah sedikit pun. Entah ini efek dari es krim di tepi pantai yang ia makan kemarin bersama Oliver atau sensasi ciuman sensual yang diberikan suaminya itu.Ingatan akan kegiatan romantis mereka itu sampai-sampai membuat Lena tidak bisa tidur sepanjang malam dan setiap mengingat kejadian itu wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Beruntung saja Oliver sudah pergi ke kantor sejak pagi. Kalau saja pria itu tahu, mungkin Oliver akan semakin khawatir dan membawanya ke rumah sakit lagi seperti kemarin. Lena nggak mau mengakui kalau wajahnya memerah karena mengingat kejadian kemarin. Lena terlalu malu. Selain itu dia juga tidak boleh membuat Oliver terganggu pikirannya saat berada di kantor. “Aish ... aku tidak boleh mengingat kejadian kemarin lagi,” rutuk Lena pada dirinya sendiri sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. “Ayo fokus, Lena! F
Matahari baru saja meninggi, tetapi keributan sudah terjadi di perusahaan Oliver. Lelaki yang baru berapa saat tiba di kantor itu meminta Sarah mengumpulkan karyawan yang menangani salah satu project mereka ke ruangan.Oliver memijit pelipisnya selagi menunggu. Pening bukan main. Karyawan yang tidak ada sangkut pautnya pun ikut mengkerut di tempat. Tidak berani mengeluarkan suara. Aura yang dikeluarkan sang atasan saat dilanda emosi sungguh menakutkan.Atmosfer tempat tersebut terasa panas. Empat orang yang dipanggil Oliver masuk dengan takut-takut. Saling menyenggol lengan di sampingnya dan memberi kode jika mereka ada dalam masalah besar.Sarah siaga di tempat. Mengetahui Oliver tengah murka, dia jadi tidak berani meninggalkan keluar. Jika terjadi sesuatu, mungkin dia bisa membantu.Oliver menghampiri meja, menyahut salah satu dokumen di sana lantas melemparnya ke hadapan empat orang itu hingga kertas-kertas berhamburan di lantai."Empat orang dari kalian itu tidak ada yang becus be
Begitu sampai di rumah, Oliver langsung berlari ke kamar. Ia sangat cemas dengan keadaan Lena setelah mendapatkan telepon. Pikirannya sudah ke mana-mana dan membayangkan istri tercintanya terluka. "Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Oliver begitu ia membuka pintu kamar. Napasnya terengah-engah dan keringat membasahi wajahnya. Di sana sudah ada Lena yang duduk di atas kasur dengan santai. Seperti tidak ada yang terjadi, Lena membaca novel sambil menikmati potongan buah pir segar. Ia bahkan heran karena suaminya pulang sebelum jam kerja berakhir. "Ada apa? Mengapa kau sudah pulang?" Dengan polosnya Lena bertanya dengan ekspresi wajah datar. Seketika Oliver menghela napas lirih sembari meraup wajahnya. Ia lega karena Lena baik-baik saja. Tadinya ia sangat khawatir sebab ia mendengar kabar jika istrinya itu sempat shock berat. Namun, selang sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah serius. Dengan langkah cepat ia pun mendekati Lena. "Aku mendapatkan telepon kalau kau tadi hampir
Lena menghela napasnya cukup panjang, dia menatap langit-langit kamarnya yang tampak begitu membosakan. Dia sudah sering melihatnya, itu artinya dia sudah sangat bosan hanya di kamar saja. Detik berikutnya, Lena bangkit dari posisi berbaringnya menjadi posisi duduk. Dia menatap pantulan dirinya yang di cermin rias di samping ranjangnya.“Lihatlah betapa kasihannya kamu, Lena. Di rumah sebesar ini, kau juga punya banyak uang, tapi kau tidak bisa melakukan apa pun dan hanya berada di kamar. Sungguh luar biasa membosankan sekali hidupmu, padahal kau hanya ingin menikmati hidup dengan santai tapi suamimu terus melarang. Katanya itu semua bahaya. Ck, aku sudah bosan! ” monolognya.Kemudian Lena beranjak dari kasur dan memilih untuk melihat keadaan luar dari jendela kamarnya. Dia melihat burung-burung bisa terbang bebas, hal itu membuatnya sedikit iri.“Bahkan burung itu lebih bebas dari diriku.” Lagi-lagi Lena kembali bermonolog sambil bernapas jengah.
“Nyonya! Nyonya! Nyonya tolong respon panggilan saya!” Pelayan yang melihat kejadian tadi berteriak kencang pada Lena yang tidak bereaksi apa pun. Wajah Lena begitu pucat. Kedua tangan mulus dan bibirnya gemetar dengan hebat. Keringat dingin membasahi kening dan punggung Lena. Wanita itu berdiam diri seperti patung. Matanya kosong. Kejadian penyekapan yang terjadi begitu cepat tadi membuat Lena terkejut bukan main. Kalau saja tidak ada pengawal, Lena tidak akan tahu bagaimana nasibnya. “Ambilkan Nyonya air putih! Cepat!” suruh salah satu pengawal. Dengan sigap pelayan tersebut berlari ke arah dapur. Tidak sampai lima menit, ia kembali membawa satu botol air besar dan diberikan pada Lena. “Diminum dulu Nyonya, biar tenang.”Lena mengambil botol air tersebut dan meminumnya dengan rakus. Tenggorokan tiba-tiba saja terasa kering dan sakit. Dadanya masih berdebar kencang. Baik pengawal dan pelayan yang mendampingi Lena
"Aku baik-baik saja. Buktinya aku bisa mengangkat teleponmu sekarang. Kau tidak perlu mengadu pada Oliver karena walaupun kau keponakannya, aku ini istrinya. Tentu dia lebih percaya padaku," sergah Lena.Hubungan Paman dan keponakan antara Oliver dan Vincent tidak sedekat itu. Ada sebuah sekat tak kasat mata membatasi mereka berdua. Terlebih mengingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. "Oh ya? Kau tahu seprotektif apa Oliver, sekalipun orang itu membual, jika menyangkut keselamatanmu Oliver pasti akan percaya."Lena menggigit bibir bawahnya cemas. Mau tidak mau, dia setuju dengan ucapan Vincent karena sudah banyak buktinya.Oliver adalah tipe lelaki yang akan melindungi wanitanya secara ugal-ugalan jika ada sesuatu yang buruk terjadi. Termasuk rela meninggalkan pekerjaan dan yang lain."Jangan bermain denganku, Vincent. Urus saja urusanmu sendiri!"Suara Lena bergetar karena geram. Berurusan lagi dengan Vincent adalah hal te
Pikiran Oliver menjadi tidak fokus sejak perubahan sikap Lena. Biasanya istrinya itu selalu ceria dan banyak bicara, tapi semalam Lena lebih memilih diam. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu hal yang salah sedang terjadi. Saat sedang bekerja di kantor saja, pikiran Oliver selalu tertuju pada Lena. Hatinya selalu cemas sebab takut ada hal buruk yang akan menimpa istrinya. Tadi pagi ketika ingin berangkat ke kantor pun ia sedikit enggan, tapi ia tetap harus pergi karena masih memiliki tanggung jawab atas pekerjaannya. "Ck! Mungkin hanya pikiranku saja," gumam Oliver seraya menghela napas lirih. "Apa ada yang salah, Tuan?" tanya Sarah. Sejak tadi ia memperhatikan Oliver yang tampak gelisah dan tidak fokus dengan pekerjaan."Tidak ada," dalih Oliver. Sarah tak begitu saja percaya dengan perkataan Oliver. Ia menerka-nerka hal yang sedang dipikirkan oleh atasannya itu. Tiba-tiba tersemat sebuah senyum samar di bibirnya. 'Mungkinka
Setelah berhasil mengelabuhi para pengawal, kini Lena melajukan mobilnya menuju lokasi yang sudah dikirim Vincent. Wanita itu melajukan mobilnya cukup cepat, untung saja jalanan malam ini tidak terlalu ramai. Dengan begini dia bisa lebih cepat untuk sampai dan para pengawal tidak akan bisa mengikuti jejaknya.Lena harus fokus antara jalanan dan juga maps lokasi yang harus dia tuju. Dia sedikit menggerutu karena lokasi yang dikirim Vincent lumayan jauh, itu juga wilayah yang kurang dia tahu. Kelemahan seorang wanita adalah membaca maps, dan kali ini Lena harus mengalami hal itu.Dia yang terbiasa disupiri dan tinggal duduk manis, kini harus bersusah payah memahani jalur-jalur berliku yang ada di layar maps. “Ah, persimpangan! Aku harus ke mana ini,” gerutu Lena. Yang pada akhirnya dia memilih belok kanan, karena dia memiliki feeling kalau itu jalan yang benar.Tanpa ragu, Lena menyusuri jalan itu dengan tetap fokus dengan maps. Akan tetapi saat dia berjalan cukup jauh, Lena merasa kal