Oliver menepati janjinya untuk tidur di sayap kiri bangunan mansion ini lebih tepatnya di ruang kerjanya. Pria itu membeli single bed dan menaruhnya di sebuah ruang kosong yang tersedia di ruang kerjanya itu."Apa dia belum juga sembuh?" tanya Lena pada Maid yang baru saja kembali dari memberikan obat juga sarapan untuk Oliver."Iya, nona Blade. Tuan Oliver masih belum bisa beranjak dari tempat tidurnya.""Apa dia makan makanannya dan minum obatnya dengan benar?""Beliau hanya makan 3 suap saja," ujar maid itu seraya menunjukan semangkuk bubur yang benar-benar hanya berkurang sedikit.Lena pun hanya bisa menghela napas berat. Kemudian tanpa kata, Lena pun mengambil langkah lebar menuju sayap kiri dari mantion ini. Dia berniat menemui Oliver dan memarahi pria itu karena terlalu berleha-leha dengan sekitnya."Apa ada orang yang terkena flu sampai terbaring selama ini? Dia terlalu menyebalkan," gerutunya. "Dia benar-benar tak bisa dibiarkan."Dengan kesal Lena mengetuk pintu ruang kerja O
"Apa kau merasa panik terhadap kondisiku, Lena?" tanya Oliver dalam perjalanan mereka menuju rumah sakit."Kau terlalu banyak bicara, Oliver. Diamlah," tegur Lena tajam."Rupanya kau benar-benar panik pada kondisiku. Ini menyenangkan. Haruskah aku terbaring sakit agar bisa mendapat semua perhatianmu?" Lena tak menjawab. Dia memilih untuk tetap menatap lurus ke depan tanpa bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. Sementara dirinya tetap membiarkan Oliver berbaring di pahanya."Jika aku mati datanglah ke pemakamanku dan tolong menangislah untukku, Lena. Agar setidaknya aku tak mati kesepian karena tak punya satu pun keluarga.""Kau tak akan mati hanya karena mimisan, Oliver. Pria sepertimu aku yakin akan berumur panjang.""Begitukah?" Oliver terkekeh lemah. "Tapi untuk apa berumur panjang jika aku hanya merasa kesepian. Rasanya hampa dan tak punya arah. Namun, setelah kau tinggal bersamaku, aku jadi punya tujuan untuk pulang lebih cepat. Ah, andai saja kita berada dalam pernikahan
Hari minggu pagi jadi hari kepulangan Oliver dari rumah sakit. Dengan perasaan lelah Lena menggandeng tangan Oliver dan membantu pria itu masuk ke dalam kamar utama, lalu dengan perlahan membantu Oliver duduk di sofa.Untuk saat ini Lena bahkan mulai bingung mengartikan kebenciannya pada Oliver. Bisa-bisanya situasi mendadak bias. Lena tak bisa mengindentifikasi apakah rasa sesak di dada adalah bentuk kebenciannya pada Oliver atau bukan karena anehnya selama berhari-hari dia begitu tenangnya mengurus Oliver selama di rumah sakit, tanpa rasa marah ataupun jengkel."Jangan pergi," pinta Oliver seraya menahan tangan Lena agar tak meninggalkannya."Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi.""Kemari, duduklah di sampingku." Oliver menepuk sisi kosong di sampingnya.Dengan berat hati Lena pun duduk di samping pria itu dengan posisi yang saling berhadapan."Ada apa?" tanya Lena sedikit ketus.Oliver tak menjawab. Sebaliknya, di detik berikutnya tanpa aba-aba dan dalam waktu sepersekian detik Oli
"Apa kau mau mencoba mencintaiku, Lena?"Lena diam. Dia memilih untuk berpura-pura tak mendengar apapun dan membaringkan tubuhnya jadi posisi terlentang untuk menghidari tatapan Oliver. Sebab, tatapan buas pria itu yang terus menatap intens dirinya dalam keadaan telanjang dibawah selimut seperti ini, benar-benar terasa tak nyaman."Kuharap kau bisa mencoba mengenal dan mencintaiku, Lena."Kedua mata Lena terpejam. Masih enggan menanggapi apapun yang coba Oliver katakan dengan suara rendah dan lembut itu. Sikap Oliver seperti ini membangunkan alarm bahaya di kepala Lena yang berteriak kencang untuk mewanti-wantinya agak tak terjerat cinta pria itu.Cukup menyebalkan dan cukup benci untuk mengakuinya, tapi dengan kesadaran penuh Lena tahu kalau pada tiap menit yang mereka habiskan untuk berhubungan intim, Lena menyukai dan menikmatinya. "Lena," panggil Oliver akhirnya karena tak sekalipun mendapatkan tanggapan dari istrinya itu."Kau sangat berisik Oliver, aku lelah. Aku ingin tidur," g
Lena merasa kalau kartu superman adalah ide terburuk yang pernah dia buat. Sebab, karena kartu itu menbuatnya benar-benar tak bisa berkutik sekalipun Oliver melakukan hal-hal yang dibencinya.Pada akhirnya, dengan pasrah dia membiarkan Oliver masuk ke dalam Jaquzi dan bergabung dengannya."Kenapa kau selalu menggunakan kartunya untuk hal-hal tak senonoh, apa tidak bisa kau menggunakannya untuk hal lain yang lebih berguna?" cibirnya.Alih-alih segera menjawab pertanyaan itu, Oliver justru tanpa aba-aba memeluk tubuh telanjang Lena dari belakang dan membuat Lena terkesiap keras."Oliver," desisnya tajam."Kenapa kau seterkejut itu, Lena? Bukankah dari awal aku sudah berkata kalau aku menggunakan kartu supermannya untuk berendam dan-" Oliver menjeda ucapannya untuk mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Lena dan berbisik. "Bercinta dengannu di sini."Lena dibuat merinding oleh hangat napas pria itu yang menerpa daun telinganya, juga suara berat pria itu. Seolah tersihir, Lena hanya membek
"Berdandanlah yang cantik, Aralena. Aku menggunakan kartu terakhirku untuk memintamu menemaniku jalan-jalan."Lena menatap Oliver sejenak, sebelum kemudian menghela napas berat. "Baiklah," ucapnya terpaksa.Dengan malas, dia pergi menuju lemari, mengambil dress lalu terdiam dan menoleh terlebih dahulu untuk sekadar mendapati Oliver yang masih duduk di tepian tempat tidur."Apa lagi yang kau tunggu? Keluarlah. Aku akan berganti pakaian.""Lakukan saja aktivitasmu dengan tenang, Lena. Aku hanya menunggumu.""Yang benar saja Oliver, apa kau secabul itu sampai-sampai ingin melihat wanita sedang berganti pakaian?" gerutu Lena.Namun, Oliver tetap tak bergeming dari tempatnya duduk dan dengan santainya mengangkat bahu."Itu bukan hal besar. Toh aku sudah melihat tiap inci dari dirimu," ujarnya ringan. Tanpa sekalipun menyadari kalau ucapannya itu benar-benar membuat sekujur tubuh Lena merinding."Kau pria paling cabul yang pernah kutemui," hardik Lena seraya bergidik ngeri. Pada akhirnya, s
"Apa kau juga menyewa restoran mewah ini?" tanya Lena sesaat setelah dirinya dan Oliver yang mendapatkan pelayanan khusus dari penjaga pintu juga pelayan di restoran bergaya eropa ini."Aku pikir kau sudah mengertahui jawabannya," sahut Oliver tenang. Dia dengan penuh perhatian memberikantempat duduk pada Lena dan setelah memastikannya duduk dengan nyaman, Oliver pun baru mengambil posisi duduk di kursinya.Tak ada orang lain selain mereka berdua di dalam restoran itu. Namun, karena sudah tahu betul apa yang terjadi, Lena tak ingin bertanya-tanya lagi tentang situasi seperti ini.Selang beberapa lama, seorang pelayan menanyakan hidangan pembuka dan hidangan utama yang akan dipesan dan berlalu pergi setelah menuliskannya."Apa kau menyukai tempat ini?" tanya Oliver memastikan."Apa teman wanitamu juga yang memesan tempat ini untukmu?" sahut Lena balik bertanya. Dengan bosan, dia memainkan gelas winenya, membuat cairan merah di dalam gelasnya itu terus membuat gelombang kecil."Tidak. A
Semalaman suntuk, Lena tak bisa tidur. Dia hanya berguling ke sana kemari di atas pembaringannya karena sama sekali tak menemukan posisi yang nyaman untuk tidur. Bukan tanpa sebab, tapi kegelisahan Lena ini disebabkan karena dirinya yang masih saja terngiang-ngiang ucapan Oliver beberapa jam yang lalu saat mereka berdua sedang berada di dalam Yacht."Dia selama ini melakukan banyak pekerjaan kasar, apa itu alasannya dia terkadang dalam waktu lama tak pernah terlihat di rumah orang tua Vincent?" gumam Lena berbicara sendiri. Pikirannya melayang jauh ke hari di mana Vincent bercerita padanya tentang bagaimana Oliver yang tetap membebani keluarganya, terutama sang ibu, sampai kedua orang tuanya itu meninggal karena kecelakaan yang menimpa keduanya. "Lantas mengapa hal yang diceritakan oleh Oliver sangat berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Vincent? Apa sebenarnya tadi itu Oliver mengatakan cerita bohong?"Pada akhirnya, setelah terlalu banyak berpikir, Lena jadi semakin frustrasi. Di