"Kau tak bisa aku hubungi. Jika kau membaca pesanku, segera hubungi nomor teleponku. Aku sangat khawatir..." Lena membaca isi pesan dari vincent itu dengan air muka yang datar dan tatapan kosong. Lantas kemudian tanpa kata dia langsung mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam tas, alih-alih segera melakukan panggilan telepon untuk menghubungi pria itu. Kini baru Lena sadari. Yang selama ini dia rasakan ketika bersama oliver adalah dia seperti baterai kosong yang terus terisi penuh tiap oliver memeluknya, tiap melihat wajah pria itu, dan tiap kali mendapatkan perlakuan manis dari pria itu. Baterainya selalu penuh dan dia jadi punya cukup energi untuk sekadar marah atau berdebat dengan oliver. Namun ada satu yang aneh, ketika dia bersama Vincent, kenapa dia jadi merasa kosong? Dia tak punya energi apapun. Semua perasaan cinta dan antusias yang dia bayangkan akan meletup letup ketika bertrmu dengan Vincent ternyata hilang dan menguap begitu saja. "Apa kau yakin akan benar-benar m
"Seharusnya hari itu aku tak membiarkan Oliver yang membelimu. Perempuan murahan sepertimu memang harusnya aku jual pada tua bangka yang gila sex dan-" Tamparan keras dari Lena seketika mendarat di pipi Vincent, membuat pria itu terdiam untuk beberapa saat karena terkejut, sebelum kemudian menatap Lena dengan tatapan meremehkan. Sementara Lena menatap pria itu dengan tatapan tajam, penuh dengan kekecewaan dan amarah. "Apa kau belajar sikap kasar seperti itu dari Oliver?" Vincent kembali terkekeh mencomooh Lena. "Mengisi energi seperti baterai kosong? cih! Romantisme kalian membuatku muak." "Aku kecewa padamu, Vincent..." cicit Lena sedih. "Aku benar-benar salah mengenali iblis. K-Kau... sangat mengerikan.Padahal selama ini aku menganggapmu sebagai pria paling baik yang pernah kutemui, padahal sebersyukur itu aku memilikimu, padahal aku sangat mencintaimu sampai-sampai aku terus membanggakanmu didepan Oliver... tapi kau sungguh mengecewakanku." "Pergilah, sialan!" bentak Vincent tib
"Oliver," panggil Lena dengan penuh haru karena bisa kembali melihat Oliver yang yang sangat dirindukannya, sedangkan Oliver hanya mematung ditempatnya.Oliver tampak sangat tegang dengan rahang yang terlihat mengetat antara rasa terkejut dan marah. Tatapannya perlahan menatap Lena dengan tajam, lalu sejurus kemudian dia pun mengambil langkah lebar untuk menghampiri perempuan itu."Pergilah," ucap Oliver singkat dan datar. Namun terasa sangat tajam, sampai-sampai Lena merasa kalau ucapan Oliver langsung menusuk hatinya."Oliver-" Lena belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika tiba-tiba saja Oliver melangkah melewatinya dan masuk ke dalam rumah."Tutup pintunya," perintahnya pada Maid yang sedari tadi mengobrol dengan Lena di depan pintu. Kentara sekali kalau Oliver secara terang-terangan mengusirnya.Lena cukup mengerti kemarahan pria itu, sehingga di detik berikutnya, sebelum pintu mansion benar-benar ditutup, dia pun perlahan berlutut di lantai dan memandangi punggung Oliver yang
"Seharusnya kau hidup bahagia dengan Vincent, tunjukan padaku kalau kau sangat mencintainya dan hidupmu begitu indah saat bersamanya, sehingga aku punya alasan kuat untuk bisa dengan cepat melupakanmu. Tapi, kenapa kau malah datang padaku dan terlihat menyedihkan seperti ini!" Bentak Oliver sembari mengguncang kedua bahu Lena lalu melepaskan genggaman tangannya dan mengambil langkah menjauh dari perempuan itu.Berulang kali dia mengusap kasar wajahnya dan menyugar rambutnya dengan frustrasi."Karena ketika bersama dengan Vincent, aku tak merasakan apapun. Kebahagiaan yang kubayangkan selama ini justru tak terjadi, aku merasa hampa.""Pembohong!" Oliver berteriak menghardik.Sementara Lena menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan kemudian menumbuk dadanya berulang kali."Tak peduli seberapa banyak aku menghabiskan waktuku bersama dengan Vincent, di sini..." Lena terus menumbuk dadanya dan mengurutnya kasar. "Di sini tetap saja terasa kosong. Seperti ada yang hilang dari diriku dan itu mem
"Oliver, apa kau baik-baik saja?" tanya Esme ketika untuk yang kesekian kalinya dia harus susah payah mengajak pria itu keluar agar dia tak lagi melewatkan makan siangnya.Oliver mengangkat wajahnya sebentar dan menatap Esme dengan tatapan bingung, sebelum kemudian kembali fokus pada makanannya."Kenapa kau harus berpikir kalau aku tidak baik-baik saja? Seperti yang kau lihat saat ini, tak ada sedikitpun masalah yang terjadi padaku." Oliver menjawab dengan sedikit tak peduli, membuat Esme hanya bisa menghela napas berat."Aku dengar kalau Lena sudah kembali ke negara ini, dia pasti menemuimu kan?" Pada momen itu, Esme menatap wajah Oliver lamat-lamat untuk sekadar mengamati perubahan eksprei pria itu. Awalnya, Oliver tampak tertegun mendengar ucapan Lena lalu sedetik kemudian ekspresi wajahnya pun berubah tenang."Oh itu? Iya, Lena datang menemuiku. Namun, jika kau berpikir aku akan hancur karena kembali bertemu Lena... mungkin iya, aku sedikit merasa terluka, tapi aku baik-baik saja
"When I was just a little girl. I asked my mother, what will I be. Will I be pretty? Will I be rich? Here's what she said to me. Qué será, será. Whatever will be, will be. The future's not ours to see. Qué será, será. What will be, will be..." suara Lena mengalun merdu ketika menyanyikan lagu itu sambil menimang bayi merah di pelukannya. "Bayi itu tampak nyaman, setelah beberapa hari ini dia sangat sering menangis," ujar ibu kepala panti yang menyapa Lena lalu duduk di hadapan perempuan itu dan menatapnya dengan seksama. Lena yang merasa dirinya tengah ditatap dengan intens pun akhirnya melirik lalu tersenyum kikuk ketika bertemu tatap dengan perempuan paruh baya itu. "Jangan menatapku seperti itu, nyonya... anda membuatku tersipu malu." Ibu kepala panti terkekeh kecil. "Maafkan aku, aku hanya merasa senang melihat bayi itu begitu nyaman dalam pelukanmu. Dan juga... aku tersihir oleh merdunya suaramu." "Anda terlalu memuji." "Sungguh. Suaramu sangat merdu, nona Blade. Buktinya ada
"Benarkah Lena bersedih untuk anak yang bahkan tak pernah dia harapkan?" gumam Oliver berbicara sendiri sambil diam-diam menatap ke arah Lena yang terlihat tenang menimang dan menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi di salah satu kamar panti asuhan itu.Cukup lama Oliver memandangi Lena dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa sedih, rindu, tapi juga marah. Hatinya begitu mendambakan Lena, begitu berharap bisa memeluk perempuan yang sangat dicintainya itu seerat yang dia bisa, tapi egonya meneriakinya untuk tak melakukan itu. Egonya meminta Oliver untuk terus membenci Lena dengan terus menayangkan momen-momen jahat yang pernah Lena lakukan terhadapnya."Kenapa Anda tak masuk saja dan bicara dengannya?" suara kepala panti tiba-tiba menyapa.Oliver menoleh dan mendapati perempuan paruh baya itu sudah berdiri di sampingnya dan ikut memperhatikan Lena."Aku tak punya kepentingan apapun untuk melakukan hal itu," jawab Oliver datar."Dari tatapan matamu aku bisa melihat kalau d
Maid dengan gusar berdiri di teras mansion. Dia memandangi Lena dengan sangat khawatir karena perempuan itu duduk bersimpuh dibawah guyuran hujan yang saat itu sangat deras, ditambah petir yang sedari tadi saling bersahutan. Penolakan Lena untuk berteduh dan pulang, benar-benar membuat maid itu bingung.Namun, rasa lega kemudian menghampirinya ketika dia melihat mobil majikannya tampak memasuki pekarangan. Tanpa banyak membuang waktu maid itu pun berlari menghampiri mobil Oliver."Ada apa?" tanya Oliver karena dia melihat Lena yang duduk bersimpuh dibawah guyuran hujan yang kian deras."Nona Blade menunggu anda sejak tadi. Saya sudah memintanya untuk berteduh, tapi beliau tetap bersikeras berada diposisi seperti itu tanpa mempertimbangkan kondisi kesehatannya. Nona Blade bisa sakit jika terus dibiarkan seperti itu, tuan. Bicaralah dengannya dan bawa dia masuk, saya mohon... nona Blade bahkan belum benar-benar pulih setelah melahirkan."Oliver sempat tertegun untuk beberapa saat, sebe