Setelah beberapa hari terbebas dari kemunculan Direktur Oscar, Harger kembali menjalankan aktivitas seperti biasa. Menawarkan bantuan kepada Charlene yang sibuk di dapur. Wanita itu sedang menimbang bahan kue. Takaran tepung dan gula harus pas. Sementara Harger memutuskan untuk memecahkan telur ke dalam wadah.Satu demi satu. Sudah diselesaikan, dan dia segera menatap sebentuk tubuh Charlene, yang sekarang menghadap ke arah kompor. Charlene melanjutkan kegiatan dengan melelehkan mentega dan cokelat batang.“Apa gula-nya sudah selesai, Charlene?” tanya Harger, tidak ragu memasang kaki mixer. Biar dia yang mengadon. Menyatukan telur, gula, dan pengembang setelah Charlena mengiyakan.Bunyi gemerisik dapur terdengar menyenangkan. Harger suka saat – saat dia mendapati perubahan dari adonan yang putih berjejak. Kemudian mencampurkan tepung terigu, cokelat bubuk, dan bahan penting lainnya. Hanya perlu kembali menyalakan mixer dengan kecepatan rendah.Selebihnya Charlene yang akan menambahkan
Setelah melewati lonjakan perasaan cemas yang mengikat. Harger mendengar suara gemerisik sayup – sayup; sepertinya Howard sedang melakukan sesuatu. Decitan kursi cukup keras mendekati telinganya. Harger agak menjauhkan ponsel sekian jengkal jarak untuk mengamati dengan kening bergenyit dalam. Bertanya – tanya apakah pria itu masih di sana, tetapi embusan napasnya kemudian memberitahu.[Kau punya laptop?]Lewat pertanyaan yang mengejutkan dari suara Howard. Sulit sekali bagi Harger mengintervensikan pemikiran, meskipun dia dengan keluh mengatakan hal yang secara ajaib tidak ingin terlewati, sedikitpun, bagian dari sesuatu yang bisa Howard berikan.“Tunggu ... tunggu sebentar di sini.”Harger kembali ke dapur sekadar menemui Charlene. Wanita itu menatap heran ketika menyadari betapa napas Harger menggebu dan tengah berusaha menenangkan diri.“Ada apa denganmu, Harger?” tanya Charlene, setengah hati – hati meletakkan perangkat pengadon kue ke dalam kotak. Setel
Hanya setelah hasrat terpenuhi untuk menangkap saksama rekaman siaran langsung, dan memastikan Howard akan benar – benar memegang janjinya sebagaimana teguh seorang pria merahasiakan indentitas keluarga, ternyata Harger tertidur untuk waktu yang lama. Dia bahkan tak pernah mengira bahwa saat terbangun; langit sudah gelap mnggurita. Mengharuskannya segera bersiap dengan singkat. Harger tak terendap ke dalam beberapa hal ketika mengayunkan kaki menuju kamar mandi. Terpenting adalah menyelesaikan kegiatan di bawah siraman air, kemudian dengan rencana – rencana yang statis dia membayangkan bagaimana jika Charlene sangat membutuhkan bantuan. Dan dia telah meninggalkan wanita itu tanpa sengaja.Harger menutup pintu kamar dengan pelan. Diliputi pengetahuan tentang keadaan di langit luar, dia merasa telah melewati banyak peristiwa usai tertidur hampir setengah hari, dari sore ke malam; cukup mengejutkan, tetapi mungkir menolak kenyataan demikian. Harger sudah menduga kalau – kalau makan malam
Perlahan, dengan hati – hati Harger menggerakkan matanya. Menelusuri setiap lekuk wajah tampan. Bibir yang terkatup—sang hakim begitu bungkam. Tidak ada lagi yang terucap setelah nama Matthew melambung dan menumbuk pada momen canggung.Harger sendiri tidak tahu bagaimana dia akan bersuara. Secepatnya, Harger memutuskan untuk menyelesaikan potongan brownies dan susu hamil yang tersisa. Tegukannya terdengar kasar, dia tak peduli. Segera membawa perlengkapan makan ke atas westafel. Juga tak peduli kalau – kalau sang hakim masih tidak mengatakan apa pun; hanya duduk dengan tenang, ntah – ntah sedang berpikir dalam.“Kapan kalian akan menikah?”Petanyaan sang hakim runtut begitu saja. Harger merasakan gerakan tangannya berhenti. Tentu dalam waktu dekat Direktur Oscar telah menyelesaikan semua hal; keperluan dan pelbagai konsekuensi di hari pernikahan. Pria itu tidak akan melewatkan secuil bagian – bagian kecil. Dan kalaupun Harger menjawab pertanyaan barusan secara gamblang,
Sangat Charlene sesali saat dia tak bisa mengatakan apa pun untuk memberitahukan informasi krusial kepada pria yang bahunya baru saja ditelan daun pintu. Sulur – sulur ingatannya berkabut membayangkan Harger yang penuh dengan keyakinan tetapi, keyakinan itu terlalu menyudutkan. Hanya ada satu kelompok menjadi beruntung oleh dua hati yang patah. Charlene berusaha mengira – ngira kekecewaan di mata gelap itu; kekecewaan yang tidak disembunyikan; Deu sangat mahir bagaimana bersikap, sehingga tidak dengan marah mengetahui Harger mengambil keputusan sepihak. Perasaan Charelen masih sama; masih ingin Harger bersama pria yang bisa menghadapi sikap keras kepala-nya. Namun, sebuah ironi paling nyata adalah dia tidak berhak menentukan. Direktur Oscar telah menempatkan Harger ke dalam pilihan sulit. Mungkin sekali lagi, Charlene akan mencoba untuk memastikan keputusan Harger yang sebenarnya.Dia melangkah hati – hati supaya bisa menjaga diri tetap sabar ketika mengetuk pintu kamar tertutup. Har
Seharusnya, jika dari Edinburgh, Ibukota Skotlandia, ke Roma, Italia, sang hakim hanya memerlukan waktu sekitar tiga atau empat jam lebih untuk sampai. Tetapi bahkan setelah pagi menyingsing. Harger belum mendapati apa pun. Panggilan suara, pesan – pesan singkat, atau lainnya dari Howard.Dia masih menatap setengah kosong pada ponsel di atas nakas. Begitu ragu dan ingin, meski sudah berkali – kali mempertimbangkan keputusan yang akan diambil.Akhirnya, jemari Harger merenggut benda pipih itu. Mencari Howard, barangkali pria itu marah sehingga tidak ingin, setidaknya, membicarakan hal yang membuat pria itu muak.[Ada apa, Harger? Kau mencari Don? Dia belum pulang.]Pernyataan Howard langsung memberi Harger ultimatum menyakitkan. Dia bahkan belum mengatakan apa pun, dan pria itu telah tahu bagaimana pola yang bergerak di antara mereka. Sangat menyesakkan saat Harger harus berjuang mencari kata yang tepat sekadar menemukan kepastian.“Kalaupun penerbangan-nya ‘delay
Hari ini tiba ....Mobil jemputan sudah menunggu. Direktur Oscar berada di garis paling depan mengamati setiap langkah kaki Harger supaya bisa lebih menyakinkan, sementara pria itu, setelahnya, mulai membuka pintu mobil. Menatap Harger dengan senyum puas tak tertahan.Tidak banyak kata – kata terucap dari bibir Harger. Dia tidak ingin menjabarkan bagaimana rasanya harus meninggalkan panti asuhan, tanpa pernah ingin melakukannya. Harger hanya menatap Charlene, Demintri, dan anak – anak lainnya untuk sesaat. Tak mau berlabuh pada kenyataan yang begitu keji. Charlene sudah tidak bisa menahan rembesan air mengalir basah di wajah. Demintri berusaha membujuk. Kenyataannnya bukan hal mudah untuk mengabaikan segala sesuatu yang begitu berupaya menumbuk Harger ke dalam - dalam jurang. Dia tidak berani menyaksikan terlalu lama. Akhirnya satu keputusan memalingkan wajah diikuti jendela mobil yang berjalan ke atas. Sorot mata Harger begitu kosong tidak peduli dengan siapa dia duduk berdampingan.
Lembar demi lembar buku telah meninggalkan halaman paling awal. Gerakan tangan Deu berhenti tepat menyadari suara langkah; menderap – derap, semakin dekat, hingga menampilkan sebentuk tubuh Howard—menjulang, lalu pria itu mengambil posisi duduk di sofa, saling berhadapan—yang tidak ingin Deu tanggapi. Iris gelapnya hanya terpaku serius di antara rentetan kalimat di dalam buku.“Dari tadi kau hanya membaca, Don. Sialan, berapa lama kau akan mendiamiku?”Nada bicara Howard kentara geram dan frustrasi. Deu memang tidak pernah mengatakan apa pun lagi sejak Howard bicara dengan nada menuduh, yang mengharuskannya menjabarkan sesuatu; nyaris mustahil di hari itu. Akan tetapi membiarkan Howard tetap di sini adalah keputusan Deu secara sadar, tidak pernah mengusir; hanya saja, terkadang, Deu memilih tidak berada berada di satu ruangan yang sama.Ketika Howard mengekorinya; lima menit pertama sudah cukup untuk menyiapkan diri meniggalka