Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun.
Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
“Berhenti!” Harger baru saja bersiap pergi usai menyelesaikan satu pekerjaan pasti. Ketika memalingkan separuh wajah. Tiba – tiba dorongan dari sikap defensif membuatnya harus terdesak di tengah kerumunan gedung maskapai, menghadapi sekelompok orang dengan setelan jaket kulit mengincar langkahnya yang menggebu setelah kesengajaan dari aksi menubrukkan diri kepada seorang pria beruban. Dia tak pernah mengira jika pria sudah berumur masih memiliki kepekaan yang utuh, sehingga semudah itu menyadari sesuatu telah hilang dari saku jas saat Harger mencurinya dengan cepat. Sebuah benda kecil, berbentuk seperti sebuah disk yang kini berada di tangan Harger. “Berhenti, Nona!” “Dalam hitungan kesepuluh kau akan dikepung.” Harger mencoba mengabaikan satu perintah ganjil, terasa seperti sauh yang mencegahnya melangkah pergi. Derap – derap kaki saling mengetuk tak pernah terjeda. Dia menjadi cemas. Memutuskan untuk mencari cara apa pun sampai melihat seorang pria matang—berdiri seorang diri
Pintu rumah sewa dihantam begitu keras. Langkah gontai segera membawa Harger bersandar dan merosot pelan – pelan menyentuh marmer dingin. Napasnya masih menggebu. Menengadah untuk membayangkan kembali cara lari yang tergesa meninggalkan sang hakim. Rasanya dia ingin mengutuk diri sendiri, karena telah melibatkan seorang hakim ke dalam urusan tidak main – main. Alih – alih mengembalikan dompet yang dia rampas. Harger justru membawa benda tersebut ke tempat tinggal sementara. Melupakan bahwa yang sebenarnya dia inginkan hanya hasil curian yang saat ini masih berada di tangan orang lain. Keputusan penuh tekad yang pernah dia ambil ironinya hanya memiliki waktu 24 jam untuk melakukan pertukaran barang. Waktu demi waktu berlalu. Bukan kebetulan yang baik kalau – kalau besok siang dia harus melakukan pertemuan di salah satu gereja tua di Roma. Tidak ada harapan bagi Harger untuk mempersilakan semua berjalan lancar. Jika tidak mendapatkan uang, dia yakin satu minggu ke depan kondisinya ak
“Di mana dompetku?” Harger belum sempat mengatakan apa pun. Dia sedang berdebar untuk mengingat keberadaan Rob di sudut belakang pintu. Pistol di tangan pria itu masih mengontrol situasi, Harger takut jika dia salah bicara. Rob akan meledakkan kepalanya tanpa berpikir panjang. “Signorina ....” Nada bicara sang hakim begitu tidak sabar. Harger mengerti dia seharusnya tidak menunda. Tetapi lidahnya keluh menjelaskan hal ini secara gamblang, meskipun benar ... keberadaan seorang hakim akan memberi pengaruh kepadanya dan Rob. Bukankah mengambil suatu keputusan bagi seorang hakim adalah tindakan yang benar – benar harus penuh pertimbangan. Mereka terbiasa melakukan eksekusi dengan matang. Menghadapi macam – macam kasus yang masuk ke meja hijau melalui proses pengamatan ketat. Memerangi ketidakadilan sebagaimana sumpah yang diucap. Harger rasa, seandainya dia memberitahu sang hakim tentang keberadaan Rob. Pria itu akan segera membantunya. Namun semakin berpikir, Harger seperti diterpa
Lelah berkutat dengan keraguan sendiri setelah berprasangka bahwa sang hakim mungkin tengah berbohong akhirnya membuat Harger menyerah. Dia menelan ludah kasar sambil memperhatikan sang hakim lekat – lekat. “Baiklah, katakan apa yang kau maksud dan apa isi di dalamnya?”“Cukup mengejutkan ternyata kau tidak tahu apa pun mengenai kontribusi burukmu terhadap Inggirs.” Untuk sesaat sang hakim menyeringai tipis, kemudian mulai melanjutkan. “Sekarang katakan kau berasal dari mana?” Pertanyaan yang sama pernah dilontarkan sang hakim. Harger pikir dia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Atau akan segera dideportasi kembali ke negara asal dalam waktu dekat. “Aku—lahir dari ibuku yang berasal dari Rumania dan ayahku adalah pria Irlandia.” “Rumania?” Kening sang hakim berkerut heran. “Artinya kau bisa berbahasa Roman?” “Tidak. Tentu saja tidak.” Harger mengerti untuk alasan apa sang hakim mempertanyakan hal tersebut. Bahasa Roman memiliki sedikit kemiripan atau serumpun dengan bahasa
“Kau sangat luar biasa, Sayang. Bahkan Harger tidak pernah memperlakukanku semanis ini.” “Kau menyerahkan padaku kenikmatan yang gila. Aku mencintaimu.”Badai ketegangan mengamuk di benak Harger. Itu adalah saat – saat dia harus mengetahui hubungan terlarang antara tunangan dan sahabatnya sendiri. Harger benci untuk menerima pengkhianatan terbesar dalam hidup yang kacau. Bagaimanapun Rob telah menghancurkan segala peristiwa yang Harger anggap sebagai suatu momen manis. Merompak ketenangan maupun kepercayaan Harger, seolah tidak ada harga yang lebih murah dari kesedihan Harger di hari ulang tahun sahabatnya.“Selamat bertambah usia, Alice. Rob adalah hadiah ulang tahun terbaikku untukmu.” Harger mungkin bersedih. Namun dia tidak pernah menyangka akan bersedia melempar seonggok sampah pada tempatnya. Alice dan Rob memberikan pertunjukan serasi. Mereka baru saja bercinta dalam balutan selimut putih tebal. Begitu gelagapan menghadapi Harger yang sama sekali tidak mengalihkan tatapan taja