Setelah pemakaman. Setelah semua berakhir dengan duka cita. Setelah hampir satu hari Harger tinggal di sini, rumah di pedesaan Mr. Thamlin. Rasanya dia menghadapi perubahan yang sangat terjal. Tidak ada kebahagiaan seperti kali pertama sang hakim membawanya melakukan persembunyian atas kasus yang mereka hadapi bersama orang – orang Dark Shadow, ataupun saat sang hakim harus menitipkan Harger supaya bisa memberi pelajaran kepada Direktur Oscar. Ya, sudah tidak ada lagi kegembiraan.
Semua benar – benar berubah. Sakit sekali membayangkan betapa keberadaan Daisy sangat berpengaruh. Kepergiaan wanita tua itu telah merenggut senyum dua orang yang secara kontinu mengalami peruabahan dahsyat. Harger harus menghadapi Mr. Thamlin yang begitu murung saat mereka sama – sama bertemu di dapur menyelesaikan makan malam. Sementara sang hakim, sejak pulang dari pemakaman pria itu sudah mengurung diri. Tidak pernah meninggalkan kamar atau sekadar keluar mencari minum. Harger takut keputusan apa pPagi ini, situasi di pedesaan masih sama. Keheningan di sekitar, dan beberapa hal yang dalam kesadaran Harger bahwa dia tak akan pernah menghadapi momen – momen yang telah hilang. Tidak ada Daisy yang akan mengajari dengan sabar cara merajut. Daisy yang senang memanggang cup-cake, meski sering kali sang hakim melarang. Tidak ada lagi Daisy yang sibuk memasak di dapur. Perubahan terasa sangat signifikan. Benar – benar berbeda, dan bahkan Harger tidak tahu ke mana Mr. Thamlin pergi. Sarapan pagi sudah disiapkan lebih dulu, bukan Harger yang melakukan, dia rasa Mr. Thamlin-lah. Tetapi saat mencoba mencari keberadaan pria tua itu. Harger tidak mencium aroma kepergian si pensiunan veteran. Bahkan di peternakan sekali pun.Akhirnya Harger memutuskan kembali ke dalam rumah. Dengan langkah tentatif menuju ruang tamu, dia sedikit membungkukkan tubuh mengambil sesuatu di bawah meja kaca. Masih ingat betul bahwa bahan – bahan rajut milik mendiang Daisy, selalu wanita itu letakkan di sana. Sudah
“Sebenarnya aku sangat tidak tega melihat cucuku sedih seperti kemarin, tapi inilah satu – satunya cara untuk mempertemukan mereka kembali.”Di suatu tempat persembunyian. Suara terkikik dari pasangan tua benar – benar memenuhi sekitar rumah pondok. Keduanya saling mencerita pelbagai hal yang belakangan terjadi. Terutama Mr. Thamlin yang nyaris tak bisa menahan kekehan ringan di ujung tenggorokan.“Aku ingin tertawa saat Deu bicara seperti anak kecil. Terisak sangat dalam saat membangunkanmu, tapi kau benar, dia sangat kasihan.”Mr. Thamlin memukul pangkuan sendiri. Membayangkan saat – saat di mana Deu mendekap pinggiran peti mati. Lagi – lagi dia didesak tawa tertahan hingga Daisy harus memukul kakinya.“Jangan terlalu keras. Jika ada yang melihatku di sini bagaimana?” tanya Daisy sambil melirik sekitar. Mereka memang telah sepakat merencanakan kematian yang direkayasa ini. Daisy mencium aroma kebohongan Deu; saat cucunya itu sedang melakukan panggilan suara bersama
“Deu, buka pintu sebentar. Kami memang salah, tapi bisakah kau tidak seperti ini? Kau membuatku takut.”Napas Deu menggebu setelah nyaris habis tak tersisa semua benda yang terlibat di dalam kamar. Cermin lemari hancur menjadi keping – keping. Kaki ranjang dibuat patah bertulang – tulang. Lampu tidur terompak—menjadi puing terpisah, hingga beberapa foto Rubby, yang seharusnya tidak pernah masuk ke dalam daftar pelampiasan, mendapat imbasnya. Seisi kamar sungguh persis seperti kapal yang terombang ambing di tengah badai laut. Ombak – ombak menerjang. Dan setelah selesai, hanya ada angin bergemuruh keras.Mata gelap Deu tertuju serius pada bingkai foto Rubby yang jatuh karena sudut lemari menyentuh dalam guncangan dahsyat. Dia melangkah tentatif tanpa pernah memedulikan ketukan pintu dari luar kamar. Mengambil peran dalam hubungannya dan Harger adalah kesalahan besar. Daisy maupun Mr. Thamlin seharusnya tidak memiliki niat konyol; menjadikan kematian dan ritual sakral sebagai
Sudah tiga hari sejak sang hakim meninggalkan rumah di pedesaan. Pria itu telah memberi Daisy pengaruh buruk. Berulang kali Harger harus menghadapi Daisy yang menolak makan, dan dengan usaha keras dia berjuang mencoba mengatakan yang terbaik, membujuk, supaya ada satu atau dua sendok asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh Daisy.Paling tidak, sekarang Harger bisa sedikit lebih tenang saat Daisy mengunyak sarapan paginya dengan pelan. Dia tersenyum, mengambil posisi lebih nyaman lagi di pinggir ranjang sambil memperhatikan Daisy lekat.Kesedihan terukir secara jelas di sana. Tatapan mata Daisy yang selalu kosong terkadang membuat Harger ikut merasakan kesedihan. Dia tahu Daisy sering kali menghubungi sang hakim, tetapi ponsel pria itu tidak pernah tersambung dengan baik. Tidak ada kabar bagaimana pria itu sekarang. Takut, mungkin hal tersebut sedikit meliputi benak Harger. Dia takut sang hakim melakukan sesuatu yang buruk. Pria yang terkadang terjebak dalam lingkaran putus
“Bagaimana perjalananmu?” Harger langsung bertanya saat Howard baru saja berjalan ke arahnya. Pria itu mengendikkan bahu tak acuh, lalu dengan antusias menjatuhkan tubuh di atas sofa. Bahu Howard mengenyak di sandaran, dan pria itu menatap Harger dengan sedikit tambahan kerlingan persis seperti kebiasaan yang dilakukan.“Membosankan.”Howard begitu santai saat mengajukan tangan mengambil minuman dingin di atas meja. Kebutuhan yang baru saja Harger siapkan setelah tahu pria itu akan tiba.“Apa Pak Sekretaris mengatakan sesuatu tentang misi kita kemarin?”Setidaknya Harger masih penasaran apakah semua masalah sudah benar – benar selesai? Bertanya – tanya apakah para ekstrimis itu sudah mendapat ganjarannya setelah dengan pengepungan yang mantap membuat langkah mereka diblokir lebih cepat.“Tidak banyak. Beliau memuji pekerjaanmu.”Nada bangga pun terungkap dari cara bicara Howard. Harger mendengkus pelan saat dia tahu Howard sebenarnya ingin menggoda, alih – al
“Signore, saya menemukan sesuatu di bawah lemari pakaian mendiang Signorina Laea. Anda mungkin ingin melihatnya?”Deu segera memalingkan separuh wajah ketika Sholdie melangkahkan kaki lebih dekat menyerahkan sesuatu yang pria itu temukan barusan. Sebuah kotak yang terasa ganjil di benaknya. Sebelah alis Deu terangkat—dengan kernyitan dalam di kening. Dia hanya berencana mengubah kamar peninggalan Laea untuk merenovasikannya sebagai suatu hal yang lebih berarti alih – alih sekadar membiarkan ruang kosong tersebut semata – mata tak berguna.Lengan Deu terulur lambat menerima kotak berukuran sedang di hadapannya. Cukup menarik melihat benda itu dipenuhi debu – debu usang. Deu sedikit bertanya – tanya kapan terakhir Laea menyentuh kotak hitam diliputi gliter – gliter emas di seluruh permukaan, tetapi dia jauh lebih penasaran mengenai isi di dalamnya. Apakah sesuatu yang menarik?Setelah memintai Sholdie melanjutkan pekerjaan. Deu akhirnya melangkahkan kaki menuju pintu kelua
Dentuman musik bertabrakan dengan suara di kepala Harger. Ego seharusnya melarang dia berada di sini, tetapi keputusan sejak awal yang telah diambil merupakan kenyataan paling mutlak kalau – kalau di Venice sekalipun, dia tak boleh merasa keberatan. Bagaimanapun, perjalanan sudah telanjur dilakukan walau tadinya Harger sedikit tak percaya sang hakim akan ada di sini. Di sebuah klub malam dan betapa kerumunan orang cukup menyulitkan pekerjaan untuk mencari keberadaan satu orang.Di samping Howard, Harger terus melangkahkan kaki mengikuti ke mana pria itu akan menuntun tujuan mereka. Setelah melewati banyak orang – orang dalam sekumpulan irama lagu. Lurus – lurus perhatian Harger terpaku terhadap meja bar dan sebentuk tubuh seorang pria yang siku lengannya bertumpu di atas permukaan hamparan keramik padat dengan kepalan tangan menyangga ujung pelipis. Di hadapan pria itu beberapa gelas kosong terlihat berjejer nyaris memenuhi meja bar. Secara naluri Harger melirik ke arah How
Setelah meletakkan tubuh sang hakim di atas kasur. Harger mengamati bahu Howard usai pria itu berpamitan; bersisihan di samping Sholdie untuk meninggalkan kamar besar ini. Pintu ditutup kemudian keheningan di sekitar menarik perhatian Harger yang menatap sang hakim lamat. Wajah dan semuanya dalam diri pria itu begitu berantakan. Bau alkohol yang menyengat pun rasanya tak pernah hilang sejak Harger harus menahan aroma pekat tersebut di dalam mobil. Dia menarik napas pelan, akhirnya mengambil satu tindakan membuka sepatu santai yang sang hakim kenakan diliputi kaos kaki hitam pria itu. Semua diletakkan di bawah ranjang dan Harger berjalan perlahan—untuk duduk di pinggir kasur menyusuri wajah sang hakim dengan ujung jari yang menyentuh rahang kasar itu dengan lembut. Dia bertanya – tanya siapa yang paling berpotensi menjatuhkan sang hakim ke dalam jurang.Daisy-kah?Atau dirinya?Mabuk hingga benar – benar tak sadarkan diri. Ini bukan sesuatu yang bisa Harger wajarkan.