Gaun merah yang pernah Harger kenakan di malam itu; malam pekerjaan lapangan bersama tim yang harus dia lalui bagaimanapun caranya. Saat ini adalah satu – satunya gaun pilihan yang dia tata sedemikian rapi sebelum dimasukkan ke dalam koper. Kemudian Harger melipat pakaian santai hingga piyama tidurnya, mengatur kain – kain tersebut menjadi satu tingkat berurutan. Lalu berikutnya, ruang kosong yang tersisa secara khusus merupakan kebutuhan untuk menyusun kemeja putih maupun celana panjang milik sang hakim. Dua kaos polos dengan warna senada mengikuti. Begitu rapi. Dan yang terakhir, dalaman ....
Harger membentuk dalamannya menjadi gulungan kecil, secara sengaja menyelipkan ke sudut paling pojok sekadar menghemat ruang. Dia berbalik badan, berniat mencari dalaman Deu, tetapi yang dia temukan hanya beberapa helai boxer polos, yang sepertinya akan begitu ketat mengikat lingkar pinggul sang hakim.Membayangkan hal itu wajah Harger memanas. Dia mengerjap cepat. Tak ingBritania Raya, Wales....“Kau tahu kita hanya membawa satu koper. Mengapa malah memesan dua kamar?”Harger sudah menunggu saat – saat yang tepat, dia bertanya ketika pegawai hotel meninggalkannya dan sang hakim untuk berdiri saling membelakangi. Sebuah keputusan yang ntah mengapa, membuat Harger merasa aneh sekaligus takjub membayangkan dia maupun Deu masing – masing akan menempati kamar berseberangan.“Aku pikir kau akan lebih senang tidur di kamar hotel sendirian.”Jawaban cerdas memang membutuhkan waktu beberapa saat sebelum teungkap secara lugas. Harger langsung mengerti dan kebetulan dia sedang menghadap pintu kamar hotelnya. Tidak jauh berbeda dari apa yang dilakukan sang hakim. Pria itu mungkin akan segera melangkah masuk, jika Harger tidak memalingkan separuh wajah, kembali bertanya seraya membaca gerakan Deu lewat ekor mata.“Soal pakaianmu bagaimana?”Dengan pasti Harger berhasil mengurungkan niat sang hakim yang nyaris memindai kartu untuk membuka pintu kamar hotel. Pria
Sarapan pagi baru beberapa jam berakhir, sekarang Harger kembali duduk berhadap – hadapan bersama sang hakim, menikmati makan siang di restoran yang sama, nyaris di meja yang sama—hanya satu urutan ke belakang. Posisi lebih baik untuk mendapat sudut pandang keindahan. Mereka bisa menikmati pemandangan air laut yang membiru di bawah biasan sinar matahari dan hamparan pasir terdesak oleh ombak.Harger mengunyah satu suapan terakhir di rongga mulutnya. Sedikit memikirkan tentang satu hal penting. Antara ragu dan mau, tetapi dia tak bisa terus – terusan menganggap ringan bagian dari kebutuhannya sendiri.“Kau membayar semua ini untukku. Apa uangmu tidak akan habis, Deu?”Dengan keberanian yang telah terkumpul, Harger menatap lekat – lekat sorot mata gelap di hadapannya. Untuk waktu cukup lama dia membuat sang hakim terdiam. Deu seperti tergelitik sekaligus ingin serius menanggapi.Sudut bibir sang hakim tertarik sebentar. B
Harger hati – hati menarik lepas jepit terakhir di rambutnya. Mengatur helai – helai berpelintir di sekitar handuk untuk terlepas dan dibiarkan tergerai dengan pola keriting yang terpisah menjadi tiap – tiap gumpalan. Kemudian jari – jari tangan Harger mulai menyisir, menyatukan rambut panjang yang menjuntai; cantik bergelombang, memukau di depan kaca.Hanya perlu tahap terakhir—sebelah lengan Harger terulur meraih botol berisi cairan pengeras rambut. Bunyi gemerisik mencuak ke permukaan begitu Harger menekan katup dengan lubang kecil di bagian tengah. Cairan itu membentuk titik – titik yang bertebaran kemudian menghinggap di rambutnya. Membuat tekstur halus itu sedikit lebih keras dengan aroma khas.Sudut bibir Harger membentuk lengkung tinggi ... sekali lagi mengamati penampilan dengan make-up terpoles sempurna. Warna merah di bibirnya senada gaun merah—cukup terbuka di bagian dada.Sesaat Harger meneliti sesuatu yang membuatnya merasa kurang. Sesuatu yang dirasa tidak perlu disembu
“Kau tak pernah berpakaian seksi seperti ini di depanku, Harger.” Mata jelalatan Rob, meski dengan kain tipis menutup sekalipun akan menembus pada kain menyerupai jaring itu. Seolah dunia hanya berpusat pada satu inti, Rob sungguh, luar biasa terpukau menelusuri lekuk – lekuk tubuh Harger. Begitu penasaran pada bokong yang pernah terasa sangat lembut terbelai oleh tangannya dengan gerakan yang seakan – akan, memang, tidak sengaja dilakukan. Rob menyukai garis dada yang terhimpit rapat mencuak samar – samar di hadapannya. Sangat mengakui kali ini Harger memberi kesan penyesalan yang terjal. “Aku datang ke sini hanya untuk menanyakan padamu satu hal. Kau, kan, yang sudah mencuri batu berlian itu dan menjualnya?” Langsung menembak ke dalam pembicaraan serius. Harger menyakini waktunya terlalu penting sekadar meladeni sikap kurang ajar Rob. Dia merasa beruntung bahwa Deu membiarkan tubuhnya, paling tidak, tak langsung terjamah oleh mata bajingan itu. Kendati tatapan liar Rob membuat Ha
Suara mendesak dari keran menimbulkan efek percikan pada bidang di sekitarnya. Ya, air yang nyaris menyerbu sebagian kaca di kamar mandi, menyatakan Deu baru saja membasuh wajah setelah menghadapi kejadian tak terduga. Jemarinya mencengkeram pinggir westafel, menunggu tetes demi tetes air mengalir basah hingga merambat ke ujung hidung dan rahang, lalu jatuh merembes ke bawah.Pikiran Deu tertuju bagaimana dia dengan segera bertindak melindugi Harger dari serangan yang sebenarnya begitu diyakini; dapat teratasi secara mudah; sangat jelas Harger bisa melindungi diri di tengah – tengah luapan emosi.Memang gadis 19 tahun itu tergolong sulit diatur. Memiliki kendali tersendiri, tetapi kadang – kadang mengalami perubahan signifikan untuk menjadi patuh dalam kondsi tertentu.Sikap Harger bagaikan tedensi paling murni. Bagi pria dewasa sepertinya, Deu harus menyelami kontrol penuh, mengatur diri tetap waras ntah di keadaan mana pun. Waras dari hal – hal berpotensi melenyapkan pegangan dalam
Tangan Deu secara instan memindahkan rambut panjang Harger ke samping. Mata gelapnya menatap intens separuh bahu yang terekspos. Selebihnya, gaun merah adalah benteng pertahanan; menutup aset berlekuk di tubuh Harger, yang perlahan telah merayu ujung jemari kasar Deu untuk bekerja. Dia bergerak pelan, pelan sekali menyeret pengait kecil hingga bunyi dari gaun itu terdengar bagaikan sauh tak bertuan. Punggung Harger terlihat sedikit - sedikit mencuak menghadapi kebutuhan Deu yang terus membukanya sampai sebatas pinggul. Gaun merah yang menawarkan keberanian seolah baru saja dibelah dengan mahir dan ketelitian. Deu tak kuasa menahan tindakan untuk tidak menjatuhkan bibirnya menyapu kulit Harger yang terasa halus diliputi sentuhan – sentuhan ringan. Kemudian telapak tangan dEU mencengkeram pinggul Harger sedikit disertai penekanan. Hanya sebentar. Napas Harger terengah ketika Deu menggenggam kedua lengan gadis itu yang sedang menempel di atas ranjang, menindih Harge
Kelopak mata Harger mengerjap menyesuaikan keadaan kamar yang memaksa untuk bangun. Dia bergerak sebentar. Sekali dua kali menyerukkan wajah merasakan hangat tubuh sang hakim. Lalu kemudian terkejut oleh tindakannya sendiri.Harger telonjak merasakan bagaimana wajahnya telah memanas saat mengingat kembali kejadian semalam. Sentuhan ringan, ciuman yang membakar kerongkongan, serta dorongan pasti, memabukkan, membuat pikiran Harger nyaris mendekati bayangan erotis. Dia segera beranjak, mengambil sedikit jarak untuk memperhatikan tubuh dalam balutan selimut tebal, tetapi sebenarnya dia sedang bertelanjang. Malam bersama sang hakim benar – benar sesuatu yang baru bagi Harger. Sangat menyenangkan, sekaligus dia sedikit malu mengingat reaksi pria itu. Apa yang akan sang hakim pikirkan tentang dirinya? Mungkinkah Deu akan menganggap gadis muda sepertinya terlalu naif menaruh kepercayaan? Atau sang hakim akan berterus terang kalau – kalau dia adalah perawan muda yang tolol, telah menyerahkan
“Kau sedang apa di sana, Harger?”Suara berat di belakang punggungnya menembus nyaris memberi Harger dorongan menakutkan. Dia terperanjat, kemudian bergegas mengumpulkan selimut kamar hotel hingga membentuk gumpalan untuk menutup tubuh telanjangnya.Harger memutar kepala. Terdiam beberapa saat menyorot sang hakim sedang berdiri di depan pintu kamar mandi. Masih tanpa satu pun atasan membalut di tubuh liat itu. Otot perut, garis – garis yang menekuk ke dalam, serta bekas luka tusuk mencuak samar – samar membuat mata Harger menyipit. Dia membayangkan bagaimana, dan sebenarnya dengan jubah panjang besar sebagai seorang hakim, pria itu telah memanipulasi penampilan secara sempurna.Laea mungkin satu – satunya wanita yang sering mengamati Deu tanpa pakaian seperti itu. Jika Rubby berusia empat tahun, artinya hubungan mereka memang tidak dapat dikatakan sebentar. Harger segera memalingkan wajah ke depan. Kemeja sang hakim yang sempat dia pungut; dan diletakkan tidak jauh di at