“Mo-mohon maaf, Nyonya. Tadi saya keluar sebentar setelah mengambil sample darah dari pembuluh vena pasien. Tapi saat kembali ke ruang pemeriksaan, Nyonya Adeline sudah tidak ada.” Sang Perawat menjelaskan dengan gugup.“Apa Anda yakin? Di toilet atau ruang pemeriksaan lain juga tidak ada?” sahut Anais.Namun, perawat tadi hanya menggeleng hingga memicu kecemasan.“Kenapa kalian khawatir seperti itu? Adeline sudah dewasa, bisa jadi dia pergi lebih dulu ke Picasso Hotel. Wanita itu gila kerja!” tukas River sinis.“Reins! Istrimu menghilang, bagaimana bisa kau setenang ini?!” Anais menyambar tak senang.“Mommy, Adeline bukan anak kecil. Dia tidak mungkin tersesat!” balas sang putra acuh tak acuh. “Hari ini sibuk, saya pamit.”Tanpa berlama-lama, River pun mangkir dari rumah sakit. Anais menarik napas sesaknya melihat punggung sang putra menjauh.“Dia persis seperti dirimu. Keras kepala!” Anais mencibir kesal sambil menyindir Jade.“Sudahlah, Sayang. Anak-anak sedang sensitive, kau tidak
“Apa kau yakin?” River bertanya seiring keningnya yang mengerut.“Saya yakin, Tuan,” sahut Siegran tanpa ragu. “Manager Picasso Hotel yang memberitahu saya bahwa Nyonya Adeline absen tanpa alasan yang jelas. Dan itu membuat para staff bingung.”River seketika terdiam.‘Mustahil Adeline tidak bekerja. Jika tidak ke Picasso Hotel, lalu ke mana dia seminggu ini?’ batinnya yang tanpa sadar mencoret-coret ujung dokumen yang harusnya dia tanda tangani.Siegran yang melihat tingkah sang tuan langsung membelalak.“Maaf, Tuan. Tapi dokumennya!” tukasnya menegur.River sontak bangkit dari lamunan. Dia mengangkat tangannya seraya menarik napas sesak.“Maaf, minta mereka menyiapkan dokumen yang baru. Aku akan menandatanganinya setelah acara pembukaan La Huerta,” tuturnya.“Baik, saya mengerti, Tuan,” sahut Siegran menerima dokumen itu.Mereka pun berangkat menuju La Huerta, tapi sepanjang perjalanan, pikiran River tak luput dari Adeline.‘Aish, sebenarnya di mana Adeline? Mengapa dia mematikan te
Usai memanggil dokter keluarga untuk memeriksa River, Siegran bergegas pergi ke apartemen di kawasan elit San Pedro. Dia menekan bel, tapi beberapa menit menunggu, pintunya tak kunjung dibuka. Di sisi lain, Amber hanya mengamati Siegran dari monitor kecil yang menempel di dinding apartemennya. ‘Aish, apa yang harus aku katakan padanya?’ batin wanita itu sambil berkacak pinggang. “Nona, saya mohon buka pintunya,” tutur Siegran yang tampak gelisah dari monitor. Amber menarik napas panjang, seraya berkata, “mengapa dia memasang wajah begitu?” Amber menekan tombol, lalu berujar, “dengar, Siegran. Kalau kau datang untuk menanyakan tentang—” “Saya merindukan Anda!” sahut Siegran memotong. Sang wanita seketika terdiam. Tangannya menyugar rambut dengan frustasi. ‘Sial! Dia tahu kelemahanku!’ cibirnya dalam batin. Akhirnya Amber membuka pintu dengan wajah tertekuk. Dia merentangkan tangan, memberi isyarat agar Siegran memeluknya. Namun, asisten River yang kaku itu malah terdiam canggun
‘Bagaimana ini? Tuan River punya trauma di lautan, bisa bahaya jika beliau pergi sendiri,’ batin Siegran resah.Ya, untuk menyeberang ke La Ceiba menggunakan kapal saja butuh waktu hampir enam jam. River akan kelelahan jika memaksakan diri melintas dengan spead boat kecil. Belum lagi cuaca sedang buruk, tidak mustahil jika River terkena badai di tengah lautan.Siegran mengusap belakang lehernya yang terasa kaku, lalu kembali ke tempat nahkoda.“Saya mohon, kita harus segera menyusul Tuan River!” tukasnya buncah.Namun, nahkoda itu malah memampangkan wajah muram dan lantas menjawab, “maaf, Tuan. Kami tidak berani beroperasi sekarang. Tuan melihat sendiri kalau cuaca se—”“Nyawa seseorang dalam bahaya! Apa kalian akan tutup mata?!” Siegran menyambar sebelum Nahkoda itu menuntaskan katanya.“Tapi ….”“Saya akan membayar lima kali lipat!” Siegran berkata tegas.Dan itu membuat sang nahkoda berpaling pada rekannya. Dia tahu rekannya itu sedang butuh uang, dan dirinya coba memberikan tawara
River dan Siegran berpaling ke belakang. Mereka membelalak saat Adeline menodongkan pistol Five-seven dengan tatapan tajam. Itu adalah senjata api semi otomatis yang dulu dihadiahkan River untuk Adeline. “River?!” Ekspresi Adeline jatuh saat melihat suaminya.Dari jarak sepuluh meter, penampilan River yang biasanya menawan kini tampak berantakan. Terlebih kemeja dan rambutnya yang basah, pria itu terlihat menyedihkan. Namun, kabut resah di wajahnya sekejap pudar ketika melihat istrinya.Dia melangkah ke arah sang istri seraya berkata, “Adeline—”“Berhenti!” Adeline langsung menyambar hingga River terpaksa menghentikan kakinya. “Jangan mendekat, bicaralah dari sana!” “Tapi ….” River meredam ucapnya saat Adeline mundur. Istrinya itu menghindarinya seolah dia adalah wabah.“Kenapa kau datang ke sini?!” tukas Adeline dengan gigi terkatup.Miaw!Tatapan River beralih ke anak kucing putih yang digendong Adeline. Benar, di tengah hujan tadi Adeline keluar karena mendengar anak kucing menge
“Adeline!” Beruntung River berhasil menahan Adeline sebelum wanita itu menyerusuk ke tanah. Dia yang kebetulan datang ke vila, segera menarik Adeline di atas. “Apa yang kau lakukan?!” bentaknya. Adeline tercengang melihat ekspresi suaminya buncah. “A-aku hanya—” “Ini berbahaya, bagaimana jika kau jatuh dan bayi kita ….” River menghentikan ucapnya saat melihat alis Adeline menyatu. Wanita itu menghempas cekalan River seraya mendecak, “minggir! Aku harus menyelamatkan kucing itu!” Dia berpaling ke anak kucing yang kesakitan karena terjepit batang pohon tadi. Tapi belum sempat dirinya melangkah, River kembali mencengkeram seraya mendengus, “apa kau gila, Adeline?! Aku bilang itu bahaya!” “Kau tidak berhak melarangku!” sambar Adeline bersikeras. “Tetap di sini, biar aku yang mengambilnya!” River berkata tegas. Pria itu langsung melepas sepatu dan perlahan turun mengambil anak kucing yang malang tadi. Namun, tanpa sadar kakinya menginjak benda tajam hingga membuat keningnya menge
“Tuan River meminta orang datang membawa helikopter, Nyonya,” tutur Siegran menjelaskan. “Helikopter?” sahut Adeline mengernyit. Dia lantas berpaling pada River dengan ekspresi penuh tanya.“Ah … itu agar kita bisa pulang dengan aman. Cuaca sedang tidak menentu, akan bahaya jika kita melewati laut. Dan juga, aku tidak ingin bayi kita terguncang,” tukas River dengan wajah seriusnya.Adeline menahan senyum, lalu melengos dari River. “Usia kandunganku baru mencapai bulan ketiga, janin kita masih aman meski aku lari marathon.”“Siapa yang mengijinkanmu berlari? Kau tidak boleh berlari, kau harus berjalan hati-hati dan jangan pakai sepatu hak tinggi. Kalau perlu, aku akan menggendongmu!” sahut River tegas.“Hei, aku sedang hamil, bukannya sakit!” Adeline pun protes.Alih-alih langsung menjawab, River malah menjulurkan tangannya dan menarik dagu Adeline. Pria itu mendekat, tapi Adeline yang gugup langsung menjaga jarak. “A-apa yang kau lakukan? Siegran melihat kita,” bisik wanita itu.“Si
“Berikan padaku,” tutur River meraih telepon.Ekspresi pria itu berangsur gelap saat mendengar seseorang bicara dari seberang. Dan itu memicu kecemasan Adeline.“Baik, terima kasih, Inspektur,” ujar River menutup panggilan.Dia tak sanggup menatap wajah Adeline, tapi istrinya itu malah bertanya, “apa yang terjadi?”Tapi River malah bungkam.“Apa ada masalah?!” Sang istri mendesak.“Adeline, Ayah mertua … Ayah mertua meninggal dunia,” tutur River yang sontak membuat manik Adeline selebar cakram.“A-apa? Ayah … i-itu tidak mungkin!” Wanita itu menyahut tegang.Ya, penyakit kanker lambung Heinry yang sudah mencapai stadium lanjut sangat ganas. Terlebih dia tidak mendapat tindakan medis selama di penjara, sebab dirinya juga menolak untuk dirawat.“Polisi bilang, Ayah mertua mengembuskan napas terakhirnya pagi ini,” tutur River lirih.Adeline hampir jatuh, tapi River berhasil merengkuhnya. Pria itu meraih pet cargo berisi anak kucing dari Adeline dan menyerahkannya pada pelayan.“A-ayah …,