Laila kembali ke kamarnya setelah hampir setengah hari ia berada di lantai satu rumah besar itu. Menghabiskan waktu berkeliling dengan terseok menyusuri dapur, taman belakang, kolam renang dan berlama-lama duduk di sisi kolam ikan. Kata Mbak Yani, koleksi ikan itu adalah milik Pak Agung. Koleksi ikan koi dengan warna mayoritas hitam, putih dan merah. Dan pasti bukan sembarang koi murahan.Pada kesempatan itu, Laila juga banyak mencari tahu tentang ibu mertuanya. Tentang hal-hal yang disukai mertuanya itu. Seperti kata Malik, Laila harus belajar menegakkan dagunya. Percaya diri yang harus pelan-pelan dibangunnya agar tidak selalu direndahkan oleh mertuanya sendiri.Laila mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Mengeceknya, tidak ada satu pun pesan dari Malik.Laila menggigit bibirnya.Sebagai bentuk kepercayaan dirinya yang berusaha pelan-pelan ia bangun, Laila memutuskan mengirim pesan terlebih dahulu pada suaminya itu. Iya, Malik sudah menegaskan bahwa dia adalah sebenar-benarnya
Di tempat lain. Di salah satu ruangan private di sebuah restaurant korea yang terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Bu Lina bersama kawan-kawan sosialitanya tengah berkumpul. Ada 15 orang yang ikut perkumpulan itu sedang duduk memutari meja panjang. Dan semuanya memang memilki strata sosial di atas rata-rata. Ibu-ibu itu baru saja menyelesaikan makan siangnya dan pelayan baru saja selesai meletakkan kopi-kopi di depan ibu-ibu itu. Percakapan dalam setiap pertemuan bulanan itu terdengar sangat membosankan dan…norak. Hanya seputar membahas capaian suami mereka, anak mereka, hubungan asmara anak mereka dan juga barang mewah apa yang sedang menjadi trend di kalangan sosial atas seperti mereka. Dan kali ini ibu-ibu itu sedang membicarakan tentang tas mewah merk terkenal yang baru saja merilis series terbarunya. Bu Ambar juga termasuk di dalamnya. Dia lah yang menginisiasi pertemuan itu, membentuk kelas-kelas nya sendiri dan memproklamirkan kelompoknya sebagai kelompok eksklusif. “Jadi ka
Matanya terbuka begitu mendengar Laila yang hendak menghindarinya. Sebenarnya maksud Laila bukan menghindar, dia tahu wajah lelah mama mertuanya. Dia hanya tidak ingin mengganggu mama mertuanya yang mungkin ingin sendirian atau beristirahat.Tapi, sergahan dari mama mertuanya tidak bisa diabaikannya. Laila duduk sesuai perintah sang mertua. Nafasnya tercekat. Laila gugup luar biasa, karena ini kali pertamanya ia duduk berhadapan dengan sang mertua hanya berdua. Hanya ada mereka berdua kali ini. Tidak ada Malik atau Papa mertuanya yang senantiasa menjadi tamengnya.“Sebenarnya apa motif kamu menikahi anakku?” Tanyanya. Nada suaranya datar, tapi dia sudah mengubah mode garang sejak membuka matanya tadi. Sejak perempuan ini memasuki rumahnya, ia bahkan tidak pernah bertegur sapa. Sejauh yang dia ingat, ia hanya banyak menghinanya. Dia merasa perlu mengorek latar belakang pernikahan anaknya dengan gadis desa ini.“Motif bagaimana maksud mama?”“Sudah berani kamu panggil aku ‘mama’?” Mata
Malik mendudukkan Laila di atas ranjangnya. Lalu beputar mengelilingi ranjang itu untuk mengambil di atas nakas di belakang Laila. Tidak lupa menarik kursi ke hadapan Laila. Laki-laki itu sedang akan mengganti perban istrinya. Sementara mata Laila terus mengamati gerakan laki-laki itu, dibarengi dengan gerutuan yang hanya berani ia ucapkan dalam hati. Wanita itu sedang menggerutui dirinya sendiri. Berkali-kali mengatai dirinya sendiri sebagai wanita gampangan yang mudah tergoda dengan laki-laki. Pasalnya, saat ini jantung Laila tidak berhenti berdegup sejak kemunculan Malik di ambang pintu tadi. Ditambah genggaman tangan yang mantap oleh laki-laki itu. Dan sekarang laki-laki itu sedang memperlihatkan perhatiannya soal luka di lengannya.“Kok pulang cepet?” Tanya Laila memecah keheningan. Sejak tadi mereka hanya terdiam canggung. Masih belum terbiasa harus berbicara apa dan membicarakan hal apa.“Bukankah kamu yang minta aku pulang cepat?” Goda Malik. Ia menahan senyumnya melihat reaks
Dering ponsel Malik berbunyi nyaring menyentakkannya dari konsentrasi pekerjaannya. Nama seseorang dari instansi kepolisian tertera di layar itu. Malik memang sudah menunggu-nunggu kabar dari instansi tersebut terkait kecelakaan yang menimpa istrinya. Selama beberapa hari mendekam di rumah bekerja dari sana sekaligus menemani istrinya, cukup membuat dirinya frustasi karena justru membuat dirinya banyak menduga-duga dan was-was tentang siapa dibalik kecelakaan yang menimpa istrinya itu. Semakin melihat Laila, rasa bersalah Malik semakin besar dan lebih. Malik segera menerima panggilan itu karena sudah tidak sabar dengan berita yang akan diterimanya. “Selamat siang pak Malik.” “Siang, Pak. Kabar baik apa yang akan saya terima?” Todong Malik tanpa basa-basi. “Terkait kecelakaan istri anda, pelaku sudah berhasil kami amankan dan kami minta Bapak dan Ibu untuk datang ke kantor untuk dimintai keterangan sebagai saksi.” “Baik. Sore ini saya dan istri akan datang ke sana. Terimakasih ata
Malik sudah berjanji akhir pekan ini mereka akan pulang ke kampungnya, ke tanah Cianjur tempat orang tua Laila tinggal. Selepas sarapan tadi, Malik belum ada masuk ke kamarnya lagi. Entah apa yang dilakukannya, Laila cukup lama menunggu untuk menanyakan baju-baju apa yang akan dibawa laki-laki itu saat pulang nanti.Sementara Laila sedang menyiapkan keperluan mereka selama disana, ia hanya membawa travel bag kecil berukuran kabin pesawat yang berisi dua pasang baju Malik dan Laila. Tapi semenjak tadi, Malik bahkan belum ada menegurnya. Belum menyapanya. Belum menanyakannya tentang persiapan mereka. Wajah laki-laki itu terlihat gelisah dan takut-takut sejak memasuki kamarnya. Ada gurat kemarahan pula yang tergambar di wajahnya. Entah apa yang baru saja ia lakukan dan dengar, yang jelas pagi itu suaminya itu sangat berbeda. Padahal saat sarapan tadi, laki-laki itu masih baik-baik saja.Laila beranjak dari tempatnya, meninggalkan tumpukan baju yang sedang akan dipilihnya. Lalu menghampir
Malik tidak pernah membayangkan hubungannya akan menjadi serumit ini. Ia seperti dihadapkan pada pilihan antara orang tuanya atau istrinya. Laki-laki mana yang sanggup dihadapkan pada pilihan seperti itu.Mamanya selalu mengatakan bahwa perempuan itu yang melahirkannya. Memang benar wanita itu yang melahirkannya, tapi seorang wanita lain yang ia ambil dari orang tuanya dengan cara yang sangat menakjubkan, yaitu dengan sebuah perjanjian dengan Tuhan. Wanita itu ia ikat dengan ucapan janji kepada Tuhan yang menciptakan semesta. Harusnya, Malik lebih tegas lagi untuk itu. Harusnya Malik segera sadar bahwa Laila juga butuh pengakuannya. Harusnya Laila lebih berhak atas Malik sekarang ini.Sayangnya, Malik belum mampu. Laki-laki yang katanya arogan itu ternyata lembek jika di depan Mamanya. Laila tentu tak bisa menyalahkannya. Suaminya hanya berusaha berbakti pada orang tuanya. Tanpa mengerti batasan-batasan apa yang seharusnya jika sudah menyangkut istrinya.Malam itu, lagi-lagi Malik tam
Laila terpaksa melepas suaminya dengan kekecewaan luar biasa. Lalu terlintas bayangan-bayangan Malik akan duduk berdampingan dengan perempuan bernama Gladis itu. Lalu mereka tertawa-tawa tanpa mengingat bahwa laki-laki itu sudah beristri. Bayangan itu berlebihan. Harusnya Laila percaya bahwa suaminya bisa menjaga marwahnya sendiri saat berhadapan dengan perempuan lain. Tapi rasa cemburunya menutup semua pikiran positif tentang suaminya. Laila tentu tak hanya berdiam diri. Kakinya sudah lebih dari mampu jika harus diajak berjalan jauh. Hanya lengannya yang terkadang masih terasa ngilu. Dan masih ada beberapa hari lagi jadwal kontrol ke dokter sekaligus melepas jahitan di tangannya. Laila menyambar ponselnya di atas ranjang. Mengecek sesuatu di sana yang terlihat bergerak. Lalu ia pun ikut bergerak. Mengambil tas dan memastikan bahwa kartu ATM nya aman di dalamnya. Setelah berpamitan pada Bi Mina, ia segera keluar menghampiri taksi online yang sebelumnya sudah dipesannya. Wanita tua i