Amel sebenarnya tidak terlalu peduli dengan status, tapi Dimas sepertinya sangat peduli. Amel pun mengerucutkan bibirnya dan merasakan rasa manis di hatinya.Segera setelah mengambil ikan hitam yang sudah dibersihkan oleh penjual, Amel dan Dimas keluar dari pasar bersama-sama.Pasar itu memang berada dekat dengan area tempat tinggal mereka, jadi Amel memang tidak berbohong pada penjual di pasar."Anggap saja ini seperti mengenal lingkungan sekitar. Nanti aku bisa pergi ke sini untuk membeli bahan makanan sendiri. Lagi pula, letaknya nggak terlalu jauh."Amel melihat sekeliling dan mengingat bangunan-bangunan penting di sekitarnya.Saat pulang, Amel melihat Lidya berjongkok di depan pintu dari kejauhan.Amel tidak tahu dengan siapa Lidya berkirim pesan. Wanita itu seperti sedang mengetik dengan sangat bersemangat, seakan dia ingin menghancurkan layar ponselnya.Pada saat ini, Lidya seakan merasakan sesuatu. Dia mendongak dan melihat Amel bersama dengan Dimas berdiri di depannya sambil m
Dimas dan Amel saling memandang dalam diam. Kemudian, Dimas segera berdiri menghampiri Amel untuk mengambil piring dari tangan Amel dan berkata, "Nggak ada, hanya mengobrol santai saja."Amel bergumam kecil, lalu berbalik untuk kembali memasak.Tanpa disadari, Amel sudah sangat memercayai Dimas sampai-sampai dia tidak perlu bertanya pada Lidya.Lidya berjalan mendekat dan mendesah pelan.Lidya selalu merasa bahwa Dimas tidak sesederhana yang ditunjukkan. Sementara itu, Amel sangat polos. Dia tidak akan tertipu, 'kan?Setelah semua makanan siap, Lidya terus berada di sekitar Amel dan menolak untuk meninggalkannya.Sebaliknya, Dimas tidak memprotes sedikit pun. Dia duduk di depan Amel dengan patuh.Namun, makin Dimas tidak mengatakan apa-apa, Amel makin merasa bersalah.Jika bukan karena Lidya mengatakan bahwa dia merindukan masakan Amel dan bersikeras untuk makan bersama mereka, Dimas mungkin tidak akan merasa seperti ini.Setelah beberapa saat, ketiganya selesai makan. Dimas berjalan k
Lidya memegang lengan Amel sambil berkata, "Kalau begitu kenapa kamu nggak ikut denganku? Rumahku cukup besar, jadi kita berdua bisa mengobrol sepanjang malam. Bagaimana?"Benar juga!Amel tanpa sadar menatap ke arah Dimas. Pria itu menunjukkan ekspresi lemah dan muram, seperti anak anjing kecil yang menunggu pemiliknya menghiburnya.Amel tiba-tiba membeku.Tidak, dia tidak bisa meninggalkan Dimas sendirian.Jika dia masih lajang seperti sebelumnya, Amel pasti akan menyetujui dengan senang hati. Lagi pula, dia juga sendirian di rumah.Namun, sekarang ...."Bagaimana menurutmu, Mel?" Merasakan ancaman yang ada, Lidya memilih untuk bersikap manja. Dulu, selama dia bertingkah manja, Amel pasti akan menyetujui semua permintaannya.Amel tak kuasa melirik ke arah Dimas yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.Pria itu sudah berganti pakaian tidur, tubuh tingginya berdiri di anak tangga sambil menatap ke bawah. Dia seakan menunjukkan penantian yang berusaha dia tekan.Namun, Dimas sepertinya t
Lidya menaruh kembali ponselnya, lalu menoleh untuk menatap pasangan itu dengan kesal. Kebanggaan di wajah Dimas membuatnya merasa sangat tidak senang.Lidya sudah melihat banyak gadis licik, tapi ini pertama kalinya dia melihat seorang pria selicik ini.Kemudian, Lidya dengan enggan mengalihkan tatapannya."Dimas, Lidya sebenarnya adalah orang yang sangat ramah. Mungkin kalian belum saling mengenal dengan baik, jadi dia ...." Amel jelas menyadari sikap penuh permusuhan Lidya. Dia khawatir Dimas akan memikirkannya. Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya, Dimas menyelanya.Pria itu berkata dengan penuh pengertian, "Aku tahu. Bagaimanapun juga, pernikahan kita ini pernikahan kilat. Sebagai teman baikmu, sudah seharusnya dia mengkhawatirkanmu."Amel merasa hatinya hangat. Pria ini sungguh pengertian!Saat ini, nada dering yang tajam terdengar dari ponsel. Dimas melihat ponselnya sekilas dan menyadari bahwa panggilan itu berasal dari asistennya."Aku mandi dulu," kata Amel saat
"Oke." Yunita sudah mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Dia pun segera menutup telepon.Dia sangat penasaran dengan calon kakak iparnya ini. Wanita seperti apa yang bisa memenangkan hati kakaknya yang sekeras batu itu? Untuk memuaskan rasa penasarannya, Yunita sudah bersiap untuk mencari tahu.Sementara itu, Amel yang tidak tahu tentang latar belakang Dimas, sedang berbaring di tempat tidur dan menonton drama di ponselnya.Saat Dimas yang mengenakan pakaian tidur masuk ke dalam kamar, Amel buru-buru menyingkir ke bagian tempat tidurnya."Apa kamu sedang menonton?" tanya Dimas sambil menatap Amel.Amel mengangguk sambil menjawab, "Aku bosan, jadi aku menonton drama. Tapi sekarang aku akan tidur."Setelah selesai mengatakan itu, Amel mematikan ponselnya dan menutup matanya dengan agak malu. Dia tidak merasa malu ketika berada sendirian dengan Dimas, tapi ketika mereka hanya mengenakan piama dan berbaring di tempat tidur yang sama, pipi Amel tidak bisa tidak merona.Dimas sepertinya ta
"Jaga perkataanmu," kata Dimas sambil menatap tajam pada Hardi.Hardi memaki dengan penuh amarah, "Siapa kamu? Ini nggak ada hubungannya denganmu. Sebaiknya kamu menjauh dariku, kalau nggak aku akan membereskanmu juga!""Aku suaminya Amel. Kamu datang ke rumah ibu mertuaku untuk membuat masalah, tentu saja ini semua ada urusannya denganku."Dimas mengucapkan kata demi kata dengan tegas.Tak diragukan lagi, kata-kata Dimas ini tepat mengenai luka di hati Hardi."Ternyata kamu si bajingan itu!"Hardi menggertakkan giginya dan maju untuk meraih kerah Dimas.Sejak awal, Hardi tidak setinggi Dimas. Dia juga tidak punya bentuk tubuh yang kekar. Pada saat ini, ada perasaan lucu yang menyelimuti hati Dimas.Dimas mengerutkan kening. Kali ini adalah pertama kali dalam hidupnya dia melihat pria yang tidak tahu diri.Dimas meraih lengan Hardi dan mengalahkan pria itu dengan mudah."Ah!"Hardi berteriak kesakitan. Tanpa sadar, dia melepaskan cengkeramannya dari kerah Dimas dan berteriak, "Lepaskan
Lili dan Gibran merasa sedikit bingung saat mendengar ini. Mereka tanpa sadar menatap Dimas."Aku memegang posisi manajer dan nggak perlu berdiskusi dengan kepala departemen sepertimu," kata Dimas dengan nada datar sambil tersenyum kecil.Jantung Hardi berdetak kencang saat mendengar ini. Dia mencoba berdalih, "Kepala departemen apanya? Aku adalah manajer umum!"Sebagai seorang profesor di universitas, Gibran sudah bertemu dengan banyak orang dan dengan sekilas dia tahu bahwa Hardi sedang berbohong.Ada perbedaan besar antara posisi kepala departemen dan manajer umum.Gibran mengerutkan kening, merasa ragu di dalam hatinya. Dia bahkan meragukan kualifikasi akademis Hardi.Sebagai seorang profesor, hal yang paling dibenci Gibran adalah orang yang memalsukan kualifikasi akademisnya. Hal ini namanya penistaan terhadap ilmu pengetahuan!Gibran memang tidak memiliki koneksi di Grup Angkasa, tapi dia memiliki banyak sumber daya di dunia pendidikan.Tanpa sadar, dia bertanya, "Jurnal apa yang
Sebenarnya, Lili juga merasa janggal, dia pun bertanya, "Dimas, kenapa orang tadi bilang nggak pernah melihatmu di Grup Angkasa?"Dimas memang menantu idamannya, tapi kalau dia adalah seorang penipu, Lili tidak akan segan-segan untuk menyuruh putrinya bercerai dengan Dimas.Dimas tidak langsung menjawabnya, melainkan mengeluarkan ponsel dan mencari email penerimaan karyawan yang dikirim oleh Grup Angkasa."Ayah, Ibu, ini adalah email penerimaan karyawan yang dikirimkan oleh Grup Angkasa padaku, di dalamnya juga ada cap Grup Angkasa.""Hardi nggak pernah bertemu denganku di perusahaan karena aku adalah manajer lokasi konstruksi. Apalagi, aku baru menikah dengan Amel. Aku ingin menemaninya selama beberapa hari, jadi aku mengundur hari untuk masuk kerja dan belum melapor ke Grup Angkasa. Wajar kalau dia nggak tahu soal ini.""Tapi bagaimana kamu bisa tahu kalau dia adalah kepala departemen Grup Angkasa?" tanya Amel dengan heran."Dia adalah kepala Departemen Penjualan. Aku memang berniat