“Calon suamimu kabur!”
Kaki Sylvia lemas, hingga akhirnya jatuh terduduk. Matanya beralih pada sang mami yang sedang menenangkan calon ibu mertuanya, Catherine. Suara tangisan wanita paruh baya itu pun ikut bersahutan. Wanita itu tampak sangat terpuruk.
“L-lantas… pernikahan kami bagaimana?!”
Sylvia dan Edward memang akan menikah karena dijodohkan oleh ibu mereka yang sudah kenal sejak lama. Selain itu, ada kerja sama dan kesepakatan antara dua keluarga itu yang mempengaruhi bisnis masing-masing.
Namun, Sylvia sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Ia sudah mengetahui semua biodata Edward dan berpikir bahwa dirinya bisa bersanding dengan pria tampan, hebat, kaya, dan secerdas Edward dalam membangun bisnis kedua keluarga.
Akan tetapi, kenapa rencana itu semua harus hancur hari ini!?
“Edward-ku….” Sang calon ibu mertua berkata sambil terisak. “Tidak mungkin dia mempermalukan keluarga kami seperti ini….”
Sekarang, keadaan menjadi kacau. Catherine, ibu Edward, menjelaskan sambil terisak bahwa adiknya yang bernama Frans melihat Edward keluar dari Hotel Grand bersama seorang wanita. Ia ingin mengejar, tapi terlanjur kehilangan jejak.
Sampai akhirnya, baru ketahuan bahwa Edward belum juga tiba di gereja, padahal tinggal 30 menit sebelum pemberkatan.
“Edward… bagaimana bisa….”
Sylvia sekarang tidak lagi sedih, tapi lebih merasa marah. Bagaimana mungkin Edward bisa meninggalkannya demi wanita lain.
Semua rencananya untuk menjadi pasangan paling berpengaruh untuk membesarkan perusahaan keluarganya bisa hancur jika begini. Ia bingung harus bagaimana sekarang, terlebih sudah banyak rekan bisnis yang datang.
Tok! Tok!
Di tengah kemarahan dan kebimbangan Sylvia, pintu kembali diketuk. Mata Sylvia terbelalak saat melihat seorang pria tinggi yang sedari tadi mereka bicarakan, berjalan mendekat ke arahnya.
Sylvia langsung berdiri. “Edward?! Mereka bilang kamu–”
“Edward?” Pria itu mendengus. “Jangan bercanda, aku tidak sudi disamakan dengan pria kaku itu.”
“Untunglah kamu datang tepat waktu!” Sebelum Sylvia bertanya lagi, Catherine angkat bicara. “Sylvia, perkenalkan ini putra kedua Tante, namanya Edgar.”
Sylvia mengerutkan dahi. ‘Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Edward?’
“Dia ini saudara kembarnya Edward,” Catherine melanjutkan.
Kembali, Sylvia merasa heran.
‘Kembaran Edward? Kenapa Tante Catherine gak pernah cerita?’ pikir Sylvia.
Seingat Sylvia, selagi membaca biodata Edward, tidak ada sama sekali keterangan kalau pria itu memiliki saudara, apalagi kembaran.
Semua itu seolah disembunyikan rapi-rapi oleh keluarga ini.
‘Apa yang terjadi dengan keluarga ini?'
Sementara itu, Edgar menatap sinis ke arah Sylvia, bahkan melihatnya dari atas sampai bawah.
“Aku tetap gak setuju, Bu.” Pria itu kembali berkata dengan suara yang terdengar lebih berat dari suara Edward, sambil melipat tangannya di dada. “Kenapa pernikahan ini gak ditunda aja, sampai Edward ditemukan?”
“Kita gak bisa menunggu,” tukas calon ibu mertua Sylvia. “Lagi pula, kamu menikah bukan atas dirimu, tapi atas nama Edward–”
“T-tunggu!” Sylvia tampak bingung dengan percakapan ibu dan anak itu. “Apa maksudnya dia yang menikah denganku?”
Catherine dan Larissa tampak berpandangan, sebelum akhirnya Catherine berucap, “Pernikahan ini akan tetap dilaksanakan. Edgar-lah yang akan menggantikan posisinya Edward sebagai pengantin prianya.”
Mata Sylvia membulat. Dengan menahan sedikit amarahnya Sylvia berucap, “Tante. Ini perjodohan antara diriku dan Edward, bukan dengan anak Tante yang lain!”
Sylvia sedikit tidak percaya dengan ide gila barusan. Keluarga ini … kenapa seperti mempermainkannya begini!?
“Hei, kamu!” Edgar mendekati Sylvia dan berdiri dengan angkuh di depannya. “Aku juga gak mau menikah dengan perempuan sombong sepertimu.” Edward berucap sambil menunjuk Sylvia.
“Edgar!” bentak Catherine setelah mendengar ucapan anaknya.
Edgar tampak mendengus, menghindari tatapan marah ibunya. Gaya bicara Catherine saat membicarakan Edward, dan saat berbicara dengan Edgar, membuat Sylvia terdiam sejenak.
Sampai akhirnya, ia kembali disadarkan ketika Catherine meraih tangannya dan berbicara sambil terisak.
“Sylvia. Tante ngerti, tapi situasinya mendesak. Kamu pasti menyadari juga kalau pernikahan ini dibatalkan, maka hal ini bisa mencoreng nama baik kedua keluarga kita. Bahkan yang lebih buruknya lagi, perusahaan Tante dan bisnis Mami kamu akan goyah….”
Sylvia tidak mengatakan apa pun, berat untuk menyetujui ucapan Catherine.
“Kemampuan Edgar di bidang bisnis memang gak sebagus Edward. Namun, Edgar juga lulusan luar negeri seperti Edward. Yang terpenting sekarang, pernikahan kedua keluarga ini tetap berlangsung, dan tamu-tamu di sana tidak kecewa.”
Sylvia lagi-lagi bisa mendengar dengusan Edgar. Pria itu tampak acuh tak acuh saat melihat ekspresinya Sylvia yang seakan tidak percaya ketika ibunya menjelaskan mengenai latar belakang pendidikannya.
Sylvia mulai berpikir. Keluarganya menginginkan pernikahan ini demi kelancaran perusahaan. Dari awal, ia memang merasa Edward adalah calon yang tepat.
Namun, benar ucapan Catherine. Jika pernikahan mendadak dibatalkan, bukan hanya nama keluarga Edward yang tercoreng, tapi juga keluarganya. Mereka mungkin akan berpikir, seburuk apa calon pengantinnya sampai Edward melarikan diri.
‘Baiklah. Berhasil atau enggak, kita hanya perlu melalui ini,’ tekad Sylvia dalam hati.
Sylvia menatap Edgar, tapi pria itu masih tampak tak peduli. “Baik, mari kita lanjutkan pernikahan ini.”
Dengan raut wajah yang kesal, Edgar sudah berdiri di depan altar, di aula tempat pernikahan akan dilangsungkan. Tidak lama kemudian, Sylvia pun muncul dengan didampingi oleh ayahnya. Setelah berada di depan altar, ayahnya Sylvia menyerahkan Sylvia kepada Edgar. Lalu, Edgar pun naik ke altar pernikahan bersama Sylvia.“Sebelum sumpah sucinya diucapkan, silahkan kalian saling berhadapan satu sama lain. Dan saudara Edgar, silahkan pegang tangan calon pengantin perempuan untuk mengucapkan sumpah suci pernikahannya,” ucap pendeta.Edgar mulai memegang tangannya Sylvia seperti yang diperintahkan oleh pendeta. Sylvia bisa merasakan bagaimana rasa benci Edgar yang terpaksa ditarik ke altar, begitu juga dirinya. “Di hadapan Tuhan serta para tamu undangan yang hadir di sini, saya Edga–!”Edgar meringis sambil memejamkan matanya ketika Sylvia meremas tangan Edgar, memperingatkannya tentang nama yang ia sebutkan. Ia bisa melihat pria itu menatapnya tajam, sebelum berdeham dan mengulang sumpah.
Setelah persetujuan itu, Edgar menyuruh Sylvia untuk merapikan pakaiannya di lemari sebelah kanan. Pria itu sama sekali tidak mau membantu, bahkan hanya untuk mengangkat koper Sylvia. Wanita itu terus bergumam kesal sambil memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Di tengah kesibukannya memindahkan pakaian, Sylvia tidak sadar kalau Edgar sudah membuka kemejanya di depan kamar mandi. Lantas, ketika menoleh dan Sylvia melihat hal itu, tentu saja ia langsung berteriak. “Aaaaaaa!” “Kamu kenapa?” tanya Edgar bingung. Dengan menutup matanya menggunakan kedua tangannya, Sylvia memekik, “Seharusnya aku yang bertanya sama kamu! Kamu ngapain buka baju di sini? Mau pamer dada di depan aku, hah?!” Edgar terdiam, lalu tampak menyunggingkan bibirnya. “Kalau iya, kenapa?” “Sialan!” Sylvia mulai melempari barang-barang di dekatnya ke arah Edgar sambil menutup mata. Sudah pasti semua itu meleset dari sasaran. Sedetik kemudian, bisa didengar kekehan dari pria itu. Tentu saja Sylvia semakin kesal.
Bugh! Tanpa Sylvia duga, Edgar melepaskan pelukannya begitu saja, dan membuatnya jatuh terduduk di lantai. Sylvia lantas memekik keras, lalu langsung melemparkan tatapan tajam ke arah pria itu. Sia-sia saja debaran aneh yang tadi ia rasakan. Sambil mengusap pinggangnya Sylvia berucap, “Heh! Kamu itu punya perasaan sedikit gak sih? Aku ini manusia, bukan karung beras! Seenaknya aja menjatuhkan aku begitu aja.” “Kamu lupa ya dengan kesepakatan kita? Tidak boleh terjadi sentuhan fisik,” ucap Edgar sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah sedang membersihkan kotoran. Sylvia semakin geram melihat sikap pria itu. Dengan cepat, Sylvia bangkit dan merapikan pakaiannya sambil masih menggerutu, “Dasar pria arogan!” “Setidaknya kamu bantuin aku berdiri,” sambung Sylvia dengan suara yang lebih pelan. Ia tidak mau membuat Edgar besar kepala kalau dirinya mengharapkan bantuannya. Apalagi setelah melihat pria itu keluar begitu saja dari kamar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sylvia
“Kamu sedang apa di tangga?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.” Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga. ‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya. “Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga. Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.” Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat. Ceklek! Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?” Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat
“Sial! Edgar mengumpat setelah menyingkir dari atas tubuhnya Sylvia. Ia tahu betul, bahwa ibunya tidak akan main-main dalam bertindak. Ini seperti berjalan di atas es, salah sedikit, ia akan jatuh ke kubangan es dan mati membeku. Edgar menggeram sambil mengepalkan tangannya. Ia masih menatap Sylvia dengan tajam. “Baik," jawabnya. "Aku akan mengikuti keinginanmu.” Jantung Sylvia yang tadinya berdetak cepat, mulai tenang. Ia menggenggam ujung selimutnya, dan perlahan menariknya sampai menutupi leher. Ia sebisa mungkin menghindari tatapan Edgar. “K-kupegang ucapanmu,” ucap Sylvia. Sambil memiringkan tubuhnya Edgar bergumam, “Kalau bukan karena ingin melindungi bisnisku dari ancaman Ibu, aku gak sudi mengikuti keinginan dia.” Sylvia yang masih bisa mendengar ucapannya Edgar, kembali membuka matanya dan menoleh ke belakang. “Kamu bilang apa barusan?” “Tidak penting,” ucap Edgar, dan langsung mematikan lampu kamar di atas nakas. ***Keesokan paginya. Sebagai tipe yang lumay
“Berhentilah menatap ku, aku tau kalau aku ini sangat tampan.” Sylvia langsung mengalihkan pandangannya saat Edgar menyindirnya. Ucapannya Edgar memang benar, dengan bentuk tubuh yang tinggi, atletis serta kulit yang putih dan bersih, Edgar terlihat sangat tampan bak selebritis papan atas. Namun, ketampanannya itu selalu tertutupi dengan sikapnya yang sangat menyebalkan. Sambil beranjak dari sofa Sylvia berucap, “Gak usah terlalu narsis, kucing liar di luar, jauh lebih tampan daripada kamu, tau!” Sylvia yang enggan bertengkar pagi-pagi dengan Edgar, langsung mengambil handuk serta pakaian. Bahkan ketika Edgar juga berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil pakaiannya. Sylvia kembali memperingatkan Edgar untuk memakai pakaian yang rapi. “Pakai jas dan kemeja yang rapih. Jangan lupa juga pilih dasi yang bagus. Ingat! Kamu akan berperan sebagai Edward hari ini di kantor, bukan sebagai Edgar.” “Iya, Nyonya!” Edgar terdengar kembali menyindirnya. Tidak seperti ucapannya yang s
“Selamat pagi Pak Edward, Bu Sylvia.” Sapaan tersebut keluar dari mulut sekretaris Edward ketika Edgar dan Sylvia memasuki ruangan CEO. Melihat gelagat Edgar yang kembali ingin bersikap genit terhadap sekretaris tersebut, Sylvia langsung membuka pintu ruangan CEO, dan segera menyeret Edgar masuk ke dalam. Sylvia berdeham, lalu memegang lengan Edgar kuat-kuat dengan tatapan mengancam. “Sayang, karena kemarin kamu udah libur seharian, pasti pekerjaanmu sangat menumpuk hari ini. Lebih baik kita langsung masuk aja.”Edgar sepertinya ingin proses, tapi Sylvia segera membulatkan mata dan berbisik, “Gak usah tebar pesona di depan perempuan itu!” Bukannya takut, Edgar malah menyunggingkan senyum. Tentu saja Sylvia semakin jengkel, apalagi ketika pria itu berbisik di telinga Sylvia, “Apa kamu sedang cemburu?” Sylvia menoleh dengan sinis. “Sampai kiamat pun, hal itu gak akan pernah terjadi!” Brak! Sylvia dengan cepat menutup kembali pintu ruangan CEO setelah mereka masuk. Rasa tidak suka
“Gak mau! Aku sibuk!” Mendengar penolakan dari Edgar, tentu saja hal itu membuat Sylvia sangat kesal. Bagaimana tidak, ia sedang sibuk dengan setumpuk berkas yang harus ia periksa sebelum ditandatangani oleh Edgar. Namun, Edgar sendiri justru sibuk bermain game dan enggan mencari tahu informasi mengenai CH Group. Tanpa rasa takut sedikit pun, Sylvia langsung merampas ponsel Edgar. “Jangan pernah menguji kesabaranku! Lakukan yang aku perintahkan sekarang juga! Atau aku melaporkan tingkah burukmu ini ke Ibu!” Edgar hanya bisa menatap tajam dan mengepalkan tangan ketika Sylvia kembali mengancam untuk kesekian kalinya. Sepertinya Sylvia mulai memahami kelemahannya Edgar. Terbukti, Edgar langsung beranjak dari kursinya saat ia mengancam dengan membawa nama ibunya. “Dasar otoriter!” Sylvia yang samar-samar mendengar ucapan Edgar, langsung menengok ke arah Edgar. “Jangan mengumpat di belakangku. Aku masih bisa mendengarnya, tau!” “Bagus, itu artinya telingamu gak tuli.” Edgar meny