Share

Kerja Sambil Kuliah

Uzy khawatir kuliahnya terbengkalai jika bekerja. Ia tak mau mengecewakan Ibu di kampung. Terbayang wajah ibunya yang penuh harapan pada dirinya.

Milo terbahak. Dia mulai menebak-nebak, bahwa Uzy belum pernah makan di warung lesehan.

“Bisa. Kan warung pecelnya buka sore menjelang magrib. Tutup sekitar pukul  sepuluh malam,” jelas Milo.

Uzy tersenyum. Sekarang hatinya lega. Ia dapat kerja sambil kuliah.  Ilmu dapat, uang pun diperoleh. Bayangan Candy tersenyum di pelupuk mata. Eh ...

Cepat Uzy mengusir sosok cantik itu dengan mengibaskan tangan.

“Kenapa, Zy?” heran Milo.

Dahinya mengernyit. Milo bingung melihat Uzy mengibaskan tangan di depan wajah, padahal tidak ada lalat atau nyamuk yang lewat.

“Nggak apa-apa, Mil. Aku mau kalau nggak mengganggu kuliah. Apa aku bisa langsung kerja?” harap Uzy.

“Aku bilang dulu ke Masku. Nanti aku kabari lagi kelanjutannya,” janji Milo.

“Mulai hari ini juga aku siap kok,” tambah Uzy.

“Sip kalau begitu. Tunggu saja kabar dariku,” sahut Milo.

“Aku tunggu ya, Mil,” tegas Uzy.

“Iya, iya. Eh, bagi nomor WA, dong,” pinta Milo.

“Ponselku jadul, hanya bisa sms dan telepon,” jawab Uzy.

Rasa sungkan merayapi hatinya, karena memang ia hanya punya ponsel buat sms dan telepon saja. Itu juga pemberian Paman Ali.

Milo menepuk dahi. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepala. Ekspresinya prihatin.

“Nggak apa-apa, deh. Nanti aku telepon. Moga-moga setelah kerja kamu bisa beli hape android,” doa Milo.

“Aamiin. Makasih, Mil,” balas Uzy. Ia terharu dengan kebaikan Milo.

“Ya sudah, aku mau pulang dulu biar bisa segera lapor ke Masku,” pungkas Milo.

“Oke. Aku juga mau pulang,” sahut Uzy.

Mereka berjalan bersama keluar area gedung kampus. Pada satu titik, mereka berpisah. Milo menuju lahan parkir sepeda motor, sedangkan Uzy berjalan langsung ke gerbang kampus.

“Duluan, Zy,” seru Milo.

Ia melewati Uzy dengan sepeda motornya sambil melambai. Uzy membalas lambaian Milo. Ia meneruskan langkah yang baru setengah jalan menuju pintu gerbang.

Sampai di luar gerbang, Uzy melihat Candy yang juga baru keluar. Bedanya, Uzy berjalan kaki, sedangkan Candy berada di boncengan sepeda motor ninja seorang mahasiswa yang Uzy tebak merupakan kakak tingkat.

Uzy mendesah. Ia memandang motor ninja itu hingga hilang dari pandangan. Ia berkhayal, dirinya yang memboncengkan Candy.

“Suatu saat nanti,” gumamnya pada diri sendiri.

Uzy kembali menarik langkah, berjalan kaki pulang ke rumah pamannya.

***

Dua puluh menit kemudian, Uzy tiba di rumah pamannya.

“Assalamu’alaikum,” kata Uzy di depan rumah.

“Wa’alaikumussalam. Zy, kamu kok keringetan begitu?” tanya Bibi saat membukakan pintu.

Raut wajahnya menggambarkan gabungan rasa terkejut dan keheranan.

“Kan, saya pulang dari kampus jalan kaki, Bi,” jawab Uzy kalem.

Selama seminggu kuliah, bibinya belum pernah melihatnya pulang ke rumah. Biasanya, Zeo yang membukakan pintu. Sementara bibinya lebih sering sibuk di dapur.

“Bibi kira kamu naik angkot atau naik ojek,” sahut Bibinya heran.

“Nggak, Bi. Sayang duitnya,” ucap Uzy pelan.

Ia tak mau mengaku bahwa uangnya minim, bahkan kurang. Ia hampir tak pernah memegang uang buat jajan di luar.

“Hm. Coba nanti Bibi bicarakan dengan pamanmu, ya. Siapa tahu kami punya solusi buatmu,” janji Bibi.

Uzy tersenyum.

“Terima kasih, Bi,” kata Uzy tulus.

“Oya, kamu bawa kunci sendiri saja mulai sekarang, ya. Biar Bibi atau Zeo nggak repot membukakan pintu setiap kali kamu pulang,” tambah Bibi.

“Baik, Bi. Maaf saya merepotkan,” kata Uzy. Ada rasa sungkan yang muncul akibat telah merepotkan sang bibi.

“Iya, nggak apa-apa. Ini kuncinya. Kamu simpan, ya,” lanjut Bibi.

Uzy menerima anak kunci yang diulurkan Bibi. Ia langsung memasukkan anak kunci itu ke dalam tas ranselnya.

“Kalau mau makan ambil saja di meja, Zy,” kata Bibi sebelum berlalu ke dapur.

“Ya, Bi. Terima kasih,” jawab Uzy.

Perut Uzy memang lapar luar biasa. Akan tetapi, ia juga sangat lelah. Uzy mengambil air minum dari dispenser di dapur. Kemudian ia pergi beristirahat ke kamarnya.

Di atas kasur, Uzy mengingat lagi pemandangan sebelum pulang kuliah. Candy di boncengan pemuda kakak tingkat. Sedap betul jika dialah yang mengendarai motor itu. Bangga dan percaya dirinya pasti akan bertambah beberapa tingkat.

Uzy mengusap wajah. Andai punya uang banyak, Uzy tak keberatan untuk memberikannya kepada Candy, asal wanita itu mau menjadi pacarnya, atau sekadar teman pun tak mengapa.

Ajakan Milo untuk bekerja kepada kakaknya berkelebat seketika. Jika ia diterima bekerja, ia dapat mengumpulkan uang demi mendekati Candy. Dalam hati Uzy berdoa, semoga Milo serius dengan tawarannya.

Keasyikan melamun membuat Uzy tertidur. Ia terbangun saat ponselnya berdering. Uzy tersentak dan gelagapan. Semenjak memiliki ponsel, satu-satunya orang yang pernah menghubunginya adalah Lilis. Adiknya itu biasa menyampaikan pesan dari Ibu.

Tangannya meraba-raba permukaan sprei. Bunyi itu sepertinya berasal dari bawah bantal. Setengah mengantuk Uzy mencari-cari sumber bunyi. Akhirnya dapat juga yang dicarinya. Ia sempatkan untuk melirik sekilas pada layar ponsel. Nama Milo berkedip-kedip di sana.

“Oh!” pekiknya tertahan.

Seketika kantuknya hilang, matanya membulat sempurna dengan kesadaran penuh.

“Halo,” sapa Uzy kepada lawan bicaranya.

“Zy. Masku mau mempekerjakanmu. Katanya, sebelum mulai kerja kamu harus ditatar dulu. Kapan kamu bisa ketemu Masku?”

“A—aku ... Sekarang juga bisa. Tapi aku nggak tahu rumahmu,” balas Uzy tergagap.

Di seberang sana, Milo terkekeh.

“Ya sudah, kalau begitu besok saja sewaktu kita ketemu di kampus. Pulangnya kuajak ketemu Masku. Bagaimana?” saran Milo.

“Oke, Mil. Besok kita kan masuk pagi, tuh. Siangnya bisa ketemuan dengan Masmu,” angguk Uzy.

Uzy tak sadar, anggukannya tersebut tak dapat dilihat oleh Milo.

“Siplah! Kalau lancar, sore harinya kamu sudah bisa mulai kerja,” tambah Milo.

“Asik!” cetus Uzy senang.

Milo menutup telepon. Uzy termenung di kasur. Jika ia bekerja, ia dapat mengumpulkan uang. Ia dapat membeli pertemanan dengan Candy. Tapi bagaimana dengan buku-buku diktat kuliah yang juga harus dibelinya?

Uzy terpekur. Apakah ia harus meminta lagi pada Paman Ali? Uzy merasa tak enak hati. Sudah dibiayai uang semester saja Uzy sangat bersyukur. Ia tak mau menambah beban Paman Ali menjadi semakin berat.

Bunyi perutnya yang menjerit minta diisi menyadarkan Uzy dari lamunan. Ia lirik anak panah yang tak pernah lelah berputar di dinding, ternyata sudah hampir masuk waktu salat Asar. Uzy tersentak. Ia baru ingat jika belum salat Zuhur. Cepat-cepat ia menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.

***

Malam itu selepas salat Isya dan makan, Uzy memilih berdiam di dalam kamar.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

“Uzy, Uzy! Bukakan pintu,” panggil Bibi dari arah luar kamar.

Uzy yang tengah melamun bergegas bangkit. Ia bukakan pintu kamar yang sedari tadi digedor oleh Bibi.

“Iya, Bi?” tanya Uzy sopan.

“Ada yang mau pamanmu bicarakan di ruang makan,” ujar Bibi.

“Baik, Bi. Saya ke sana sekarang,” jawab Uzy pelan.

Uzy keluar kamar dan melangkah memasuki ruang makan. Di sana, Paman Ali duduk seorang diri ditemani secangkir kopi.

“Iya, Paman?” sapa Uzy setelah dekat.

“Duduklah,” titah Paman.

Uzy duduk di seberang Paman Ali.

“Kata Bibi, setiap hari kamu pergi dan pulang kuliah jalan kaki?” tanya Paman Ali.

“Betul, Paman,” jawab Uzy seraya menunduk.

“Paman punya sepeda ontel di gudang. Sudah lama nggak dipakai tapi masih bisa jalan. Kalau kamu nggak malu mengendarainya ke kampus, sepeda itu boleh kamu pakai,” urai Paman Ali.

Mata Uzy berbinar senang.

“Wah! Terima kasih banyak, Paman,” cetusnya gembira.

Sudah terbayang di dalam benak, ia tak perlu lagi berpayah-payah jalan kaki ratusan meter untuk ke kampus. Banyak waktu yang bisa dihematnya. Biarlah jika ia diledek teman-temannya sekampus. Di saat teman-temannya mengendarai motor buat ke kampus, dia hanya mengendarai sepeda ontel.

“Bagus. Besok bisa kamu keluarkan sepeda itu dari gudang, lalu isi angin bannya di tambal ban,” angguk Paman puas.

“Oh ya, Paman. Mungkin besok saya pulang agak malam. Ada teman yang menawari saya untuk kerja sampingan. Kalau jadi, mungkin saya bisa langsung kerja,” tutur Uzy.

“Hah? Kamu mau kerja sampingan?” Mata Paman Ali terbelalak.

Melihat itu, Uzy tiba-tiba menjadi khawatir. Apakah paman akan melarangnya untuk bekerja? ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status