"Aku rasa ada sesuatu yang aneh dari Aron. Sepertinya dia menyembunyikan rahasia yang sangat besar," ujar Leo.Emily menggeleng. "Tidak." Ia menggelitik suaminya untuk menutupi kekhawatiran. Tidak disadari Leo bisa menebaknya. Lengan kekar menahannya hingga tak bergerak. "A–apa?" tanyanya gelagapan. Leo mengenal nafas. "Aku tidak bercanda." Sembari menatap sang istri. "Hahaha.... Aku tahu. Kita sudah membahasnya berkali-kali tapi mungkin kau sedang banyak pikiran—""Sudahlah aku minta maaf," selanya tanpa mendengarkan penjelasan Emily lebih lanjut. Keduanya terdiam sepanjang koridor. Perubahan arah semakin hari terlihat jelas. Tidak mungkin tingkah Aron karena stres berlebihan. Padahal mereka sudah membicarakan mengenai pekerjaan itu dengan cara baik-baik dan Aron setuju, sehingga alasan penyebab perubahan Aron yang drastis bukanlah mengenai hal tersebut. Pasti ada suatu problem yang masih belum diselesaikan Aron. Ia tidak bisa berhenti mengawasi anaknya itu.Emily menarik tangan Le
"Eh, sudah berakhir," kata seseorang.Perlahan kerumunan itu mulai buyar. Aron berdesakan dengan para warga. Ia tidak mendorong balik apalagi ia tubuhnya terhimpit sampai di pinggiran tembok. Tidak disangka di depannya ada seorang gadis menggunakan masker warna hitam. Aron tak peduli, yang jelas ia tidak ingin ada yang terluka.Dugh! Punggung Aron menjadi sasaran mereka, tubuhnya tidak memberi ruang bahkan jaraknya dekat dengan sang gadis. Tangan Aron menumpu supaya tidak terjatuh.Di sisi lain ia mencari kesempatan untuk melihat secara langsung wajah gadis bernama Monica Louis. Sayangnya ia tidak mendapati sosok yang dicarinya. Setelah kerumunan itu mulai merenggang, barulah ia bisa terbebas dari lautan manusia tersebut. Namun saat dirinya beranjak meninggalkan tempat itu sesuatu menahannya. Aron menoleh ke arah ujung lengannya. Gadis itu nampak memeganginya."Maaf aku sedang terburu-buru, Nona. Bisakah kau melepaskan tanganku?" Pertanyaannya tak mendapatkan respon malah Aron merasa
Aron tidak percaya dengan kejadian apa yang sudah dilewatinya. Berteman dengan anak musuhnya. Ide bagus jika ia menyandera Monica untuk pertahanan Orlando. Namun, hal itu tidak akan ia lakukan sebab Orlando tidak terlalu memperlakukan baik sebagaimana anak perempuannya. Kalau butuh tes mungkin ia akan bekerja sama dengan gadis itu, tetapi hal itu akan sulit karena ia tahu Monica selalu dalam pengawasan Orlando.Sepanjang jalan, ia menghela pernapasannya. Ia penasaran bagaimana reaksi ayahnya kalau tahu Aron sudah berkenalan dengan anak musuhnya. Mungkin Leo akan mengomelinya habis-habisan."Aku bosan menatap gedung-gedung tinggi ini. Bagaimana kalau kita berkeliling di area perkampungan?" "Baik, Tuan. Sesuai yang anda mau." Sembari mengarahkan setir mobil ke arah kanan yang menuju wilayah perkampungan kebun teh. Aron mengawasi setiap sudut wilayah itu. Ia juga memperhatikan detail tulisan yang tercoret di papan. Tertulis 'Wings Tea' di pembuka desa. Aron mencari informasi mengenai k
Aron penasaran siapakah bos mereka. Ia mengikuti langkah pria itu. Kini Aron semakin jauh dari pengawasan para bodyguard. Ia mengangguk mengerti dari pernyataan petani teh itu. Namun, siapa sangka ia malah menjadi target para petarung.Mereka mengelilingi Aron. Semua mata tertuju kepadanya petani itu menyunggingkan senyum. Ia tidak bergerak apalagi menunjukkan kemampuannya untuk melawan dengan satu serangan. Aron bersikap biasa saja dan mengikuti sebagaimana alur. "A–ada apa ini?"Orang-orang itu tak menjawab hanya petani yang membalas pertanyaan itu. "Kau pikir kami tidak tahu siapa dirimu?"Aron melangkah mundur, ia berpura-pura tidak punya tenaga untuk melawan. "Sa–saya hanya reporter honorer, pak," jawab Aron gelagapan yang menambah aktingnya semakin terlihat nyata."B*doh! Bos Orlando sudah menutup media berita untuk tidak meliput wilayah ini. Beliau membayar mahal kepada kalian. Dan kau pasti bukan reporter sungguhan. Sebutkan identitasmu sekarang juga, pecundang," dengusnya pen
Orlando bergerak menuju ke rumah kaca. Firasatnya mengatakan kalau Aron akan menyerang wilayah prioritasnya. Dengan mengendap-endap Orlando mengintai pergerakan Aron. Namun, sebelum mencapai tempat itu para pasukannya sudah habis terbantai. Ia menghentikan langkah kakinya sejenak.Dorr! Dorr!!Sepasang matanya menyaksikan betapa kejamnya Aron menghabisi seluruh pasukannya yang berjaga di wilayah itu. Dari awal ia sudah meremehkan keluarga Smith. Tetapi usahanya tidak bisa gagal begitu saja. Ia harus menunggu putrinya menduduki tahta sebagai presiden di negara Atlantik. Tangannya mengepal. Aron sudah berhasil mengobrak-abrik wilayah prioritas lalu Orlando berjalan ke arah berlawanan. Ia membiarkan Aron semakin merusak wilayah tersebut. Perlahan suara tembakan mulai berhenti."Apa yang sedang dilakukan b*jingan itu?" Aron melirik dari kejauhan. Tak lama ponselnya berdering. Di saat yang tidak tepat Leo meneleponnya. "Masih ada penting. Sampai jumpa lagi, ayah," ucapnya mengawali sekali
"Ayo pulang ke mansionku," perintah Aron. Pandangannya lurus ke depan. Ia membuka kaca jendela mobil tangannya melambai seraya menatap ke arah spion. "Cepat ikuti aku!"Mereka pun membuntuti mobil milik Aron. Kedua bodyguardnya hanya terdiam mengikuti arahan Aron. Tak ada percakapan sepanjang jalan. Untung saja bisnis properti yang sedang digandrunginya banyak diminati para turis, itu sebabnya Aron bisa membayar tinggi para pekerjanya.Untuk menguasai Atlantik ia harus menjadi penggerak utama perekonomian yang ada di negara tersebut. Sayangnya keteledoran terjadi. Ia tidak mengetahui keberadaan bisnis haram Orlando. Pandangannya menatap ke arah jalanan kota. Otaknya mulai bekerja untuk mencari sebuah solusi.Kepercayaan yang ada di masyarakat mulai terbentuk. Di lihat dari perkembangan mereka yang setuju Monica menjadi presiden Atlantik semakin meningkat, hal itu menjadi problem serius kalau dibiarkan. Aron tidak memiliki firasat bahwasanya menikah setusuk Orlando. Entahlah ia menjadi
Leo tak mengerti jalan pikiran Aron. Ia bisa merasakan kalau Aron menyembunyikan sesuatu darinya. Ia menyoroti Aron yang merasa tak bersalah. Jika terus terusan seperti ini maka tidak ada penyelesaiannya."Apa kau yakin dengan rencanamu itu? Kalau kau terus menunda bukankah semakin banyak kesempatan Orlando bertindak?" tanyanya tanpa ekspresi."Tentu saja kita bisa melihat semua tindakannya lebih jelas. Terlebih kemungkinan terbesarnya Monica akan terpilih menjadi presiden. Bukankah dia sudah melakukan tindakan yang lebih cepat daripada kita?" tanyanya balik. Bibirnya tersenyum smirk. "Bagaimana pun juga kita harus membiarkannya sampai kejahatannya diketahui oleh publik."Emily belum tidak percaya apa yang disampaikan oleh putranya. Ia mendengar kalau calon pemimpin begitu ramah dan baik hati melainkan anak dari musuh utama yang bersarang di negara Atlantik. "A–apa yang kau maksud, Sayang? Kau sedang tidak bercanda bukan?""Kita sedang berbincang serius untuk apa bercanda, Ibu," selan
"Apa kau akan melepas musuh tadi?" Sora memalingkan wajahnya. "Aku menyesal tidak bisa melenyapkan pria itu. Dia tidak bisa dianggap remeh. Bahkan mengalahkan kemampuanku—"Orlando memberi tanda di bibir Sora. "Apa hanya karena musuh tadi yang membuat bisa pesimis seperti ini?" Kepala Sora mengangguk pelan. "Ya begitulah." Ia bangkit dari kasur. "Sudahlah, kurasa aku perlu banyak berlatih mulai saat ini." Sora menampakkan senyumannya yang indah."Jangan terlalu memaksakan diri. Tunggu saja sampai kemenangan pemilihan presiden nanti." Orlando memeluknya dari belakang sembari menggerayangi Sora. "Mereka tidak ada apa-apanya ketimbang diriku.""Aku suka dengan sikap percaya dirimu, Sayang," erangnya menikmati setiap sentuhan.Tiba-tiba ponselnya berdering. Orlando tak memperdulikannya, ia dibutakan asmara. Begitu juga dengan Sora yang terus menggodanya. Tak lama pintu kamarnya terbuka. Para bodyguard yang menyaksikan adegan tersebut langsung menundukkan kepala. Hal itu membuat kesabaran