Bab 17: Tatapan Orang-Orang Itu
Melepasmu dari hidupku
Dan mungkin lukai hati, lebih dari ini ....
Kita ....
“Galau banget lagunya, Za!” Farah protes usai merebut earphone yang aku gunakan untuk mendengarkan lagu.
Satu jam yang lalu, gadis itu muncul kembali di kantor. Untungnya, masa-masa kritis kami telah selesai, dan sebentar lagi kami akan meresmikan peluncuran aplikasi terbaru. Karena itulah, aku bisa keluar untuk menghirup napas dengan bebas setelah terkurung selama satu bulan di perusahaan.
“Kamu kenapa, sih?” usiknya lagi.
Farah mencoba mengambil gawai yang aku selipkan di saku jeans. Buru-buru aku menghindari Farah, karena tidak hanya hal itu tidak sopan, aku khawatir tangannya salah pegang dan bisa mendarat di tempat terlarang.
“Ih?” Farah merengut melihatku mengambil langkah mundur. Dia langsung m
Bab 18: Perintah Bapak “Anak tidak tahu diuntung!” Bapak mencelaku malam itu dengan suara yang membelah bak guntur.Dia yang selama ini tidak pernah melayangkan tangannya, malam itu melakukannya hingga dua kali. Tamparan di pipi kanan, lalu di pipi kiri. Hendak diulanginya lagi ketiga kali namun Ismi lebih dulu menahannya dengan tubuhnya sendiri.“Cukup, Bapak ... jangan pukul Mas Reza,” pintanya.Ismi berdiri menggantikan ibu untuk membelaku. Dia tidak gentar meski amarah bapak meledak-ledak, melainkan tetap bertahan di sana. Padahal, bisa saja dia ikut terluka.“Minggir, Ismi. Minggir, aku tidak butuh bantuanmu!” ucapku dengan nada penuh penekanan. Tidak tersentuh sedikit pun hati ini meski Ismi berusaha menyelamatkanku dari amukan bapak.Kubisikkan kata-kata itu di telinga Ismi, berharap dia memahami niat hati ini. Aku belum ingin bapak dan ibu mengetahui permasalahan di
Bab 19: Pelukan yang TertundaDua hari dua malam aku menghilang dari orang tua dan Ismi. Gawai aku matikan dan hanya muncul di kantor sampai jam kerja selesai. Lalu, kembali mendekap sendirian dalam keheningan.Dua hari penuh, aku tenggelam sembari memikirkan apa yang terjadi dengan keluarga ini. Semenjak memutuskan melamar Ismi, bayang-bayang yang muncul di pikiranku hanyalah tentang bahagianya pernikahan kami nanti. Istri yang salihah, cantik dan rupawan, serta mertua yang bersahabat. Lalu, ada bayi-bayi cantik dan tampan dilahirkan olehnya yang akan kami didik sebaik mungkin.Ternyata, impian itu runtuh dalam waktu kurang dari satu bulan. Kini, hanya tersiksa angan semata.Aku memalingkan muka dan menghadap ke arah dinding sebuah kamar. Sejak kemarin, aku mengurung diri di salah satu kamar hotel sendirian, hanya menyalakan TV agar tidak terlalu sunyi.Namun, ada sesuatu yang cukup mengganggu diriku. Dalam dua hari
Bab 20: Surat dari Ibu dan BapakTidak kuminta banyak hal darimuSelain kesediaan untuk menerimaku seutuhnya dalam hidupmuJika sudah begitu, aku berjanji jarak dan waktu tidak akan pernah menjadi pemisah di antara aku dan kamu.-Untaian Hati Ismi Diana--Keesokan paginya, aku terbangun di sisi ranjang ibu. Perempuan yang kuhiraukan semalaman sampai tertidur itu ternyata sudah membuka kedua matanya.Dia mengusap pucuk kepalaku dengan sangat lembut. Tatapan matanya jatuh saat kami saling beradu pandang, kemudian ibu berpaling dengan segera.“Bu?” panggilku.Khawatir padanya, aku beranjak dari duduk. Aku memilih untuk menatapnya dengan lebih dalam dan lamat, tidak lupa mengecek sisa air infus serta kondisi tubuhnya yang semalam menghangat.“Kenapa pulang?”Suara ibu berat dan dalam saat
Bab 21: Senyuman Ismi “Kamu belum lupa dengan kesepakatan kita ‘kan?” Aku bertanya pada Ismi sebelum berangkat kerja pagi ini. Tepat setelah menemukan kenyataan jika bapak dan ibu sudah kembali ke Ledok Sambi, sekarang aku ingin sekali menegaskan kembali pada Ismi perihal hubungan kami.Perempuan itu hanya mengiyakan perkataanku. Tangannya terulur, menyerahkan bekal yang sudah dibuatnya sejak pagi.Aku menghela napas melihat Ismi begini. Sebenarnya, aku juga tidak tega melakukannya.“Baik, Mas ... kalau begitu izinkan aku mencari pekerjaan, supaya nanti aku tidak kalang-kabut sendirian,” lirihnya.Intonasi bicara Ismi mendadak turun drastis. Bibirnya berat berkata hingga terlihat bergetar. Lebih dari itu, suaranya sengau dan dalam, seolah sedang menahan diri agar tidak menangis.“Jangan buru-buru, aku tidak memaksa!” potongku sebelum air mata sempat jatuh di pipi Ismi.
Bab 22: Perkara Tidak Peka“Apa lagi ini?” seruku usai pulang lari pagi mengelilingi perumahan.Ini hari minggu yang tenang setelah peluncuran aplikasi berhasil dilakukan perusahaan. Akhirnya, aku bisa berlibur tanpa harus melihat layar laptop atau gawai.Setelah sekian lama juga, aku bisa kembali berputar-putar di sekeliling kompleks. Menyapa tetangga yang lama tidak pernah kulihat lagi hadirnya. Lalu, mampir di sebuah warung nasi uduk terlezat dan membeli lauk terbaik mereka, ayam berbumbu yang gurih.Dulu, aku selalu membeli sebungkus. Sekarang, karena ada Ismi aku harus membeli dua. Ditambah kerupuk dan beberapa gorengan sebagai selingan.Meski sempat digoda oleh nenek penjual karena porsinya berubah, aku bergegas kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Kubayangkan aku duduk di ruang keluarga, menyalakan TV dan menonton kartun serta berita pagi sembari menikmati nasi uduk ini.Tapi, semua baya
Bab 23: Ismi Jadi TerkenalPerempuan itu mulai membangun bisnis seorang diri dari sebuah ruangan kecil itu. Pagi sampai siang, dia akan mengaduk berbagai jenis bahan untuk membuat sabun. Lalu sorenya dia akan mengecek pesanan sabun dari aplikasi marketplace.Kurir datang dan pergi dari rumahku. Pelanggan-pelanggan ada yang langsung mampir ke rumah dan membeli dalam jumlah besar, walaupun harga sabun natural buatan Ismi jauh lebih mahal dibanding sabun di pasaran.Memang, aku mengakui hasilnya. Setelah Ismi membuka bisnis ini dan sabun-sabun di rumah diganti dengan hasil karyanya, aku merasakan perubahan drastis di tubuh. Kulitku jadi lembut dan kenyal, jauh dari reaksi alergi, seolah Ismi memang meracik sabun untuk diriku.Entahlah, karena aku sendiri tidak pernah bertanya padanya. Egoku terlampau tinggi untuk menunjukkan ketertarikan pada apa yang dilakukan olehnya.“Mas, aku pergi dulu, ya? Hari ini
Bab 24: Petaka Kedua untuk IsmiSejak hari itu, kehidupan di kantor berubah drastis. Banyak karyawan perempuan yang terus mendatangi mejaku hanya untuk bertanya apa mereka bisa membuat pesanan melaluiku.Tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan atasan-atasanku yang lain mulai meminta bagian. Mereka dengan terang-terangan bertanya apa aku bisa membantu istri mereka yang menggemari Ismi. Atau mungkin membuatkan janji temu dengan perempuan itu.Awalnya, aku mencoba untuk menolak sebisa mungkin. Lambat laun, permintaan itu berubah menjadi desakan dan sedikit ancaman. Terutama dari dua perempuan yang sejak awal meminta bantuan dariku.“Bisa, ya?” tegasnya lagi usai rapat evaluasi dari aplikasi terbaru.Aku memicingkan mata mendengar permintaan yang sama. Jenuh, dan cukup muak, tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Terlebih, aku masih butuh pekerjaan di kantor ini.“Ok. Nanti aku cob
Bab 25: Diamnya Ismi dan Berubahnya HatikuSetelah magrib tiba, aku keluar dari rumah dengan dua polisi yang datang memeriksa TKP. Pria-pria berwibawa yang bersedia datang setelah menerima laporan dariku itu terus mengecek dan memastikan keadaan dari Ismi.Mereka seperti enggan berangkat, bahkan berusaha untuk terus menguak lebih jauh tentang kondisi Ismi yang kini terbaring di dalam kamar kami. “Maaf, Pak ... apa Anda yakin jika istri Anda tidak memerlukan bantuan medis?”Aku menggelengkan kepala dengan tegas. Bukan karena tidak ingin Ismi dirawat setelah begitu terluka, namun aku hanya tidak ingin Ismi kembali diperlakukan seperti seorang korban, meski dia sedang menyandang status itu.Biar untuk malam ini, aku sendiri yang akan menemaninya. Biar kali ini, aku sendiri yang akan merawatnya. Akulah yang bertanggungjawab terhadap Ismi.“Terima kasih atas perhatian Anda, Pak. Saya hanya ingin masalah i