Ya Allahhh kebenaran seperti apa lagi ini! Benarkah mereka bukan orang tuaku. Aku ini anak siapa? Berbagai pikiran berkecambuk dalam otakku. Ibu masih terdiam, ada rasa yang di sembunyikan dari rupa dan gelagatnya. Kumasih menunggu sepatah demi sepatah kata yang akan terucap dari mulut Ibuku ini. Ah! Ternyata hanya ibu angkat, bukan ibu kandung. Sedih sekali hatiku. Kusiapkan hati agar kuat menerima kenyataan yang sudah di depan mata. "Dulu, saat ibumu di bawa kerumah kami usia kandunganmu memasuki tujuh bulan. Ibumu adalah adik Ayahmu, dia hamil di luar nikah dengan seorang yang sampai akhir khayat Ibumu tak ada yang tahu." Kudengarkan dengan segsama. Itu berarti Ibuku telah meninggal. "Orang tua Ayah malu karena Ibumu tak mau menyebutkan siapa ayah dari anaknya. Hingga dia akhirnya menitipkan ibumu pada kami, saat itu keluarga kami hidup berkecukupan. Kerjaan yang mapan dan tak kekurangan suatu apapun. Aku juga tengah hamil yang usianya hampir sama dengan kandungan Ibumu." Ibu me
"Tapi, Aku mau makan dulu bareng Indah, kalau mau ikut ayuk! Abis itu baru aku antar kamu pulang." Mas Akbar berusaha mementingkan aku dulu. Entahlah ini setingan atau memang benar adanya. Sebenarnya aku muak sekali melihat keadaan seperti ini. "Ngga mau, Mas. Lebih baik aku pulang naik ojeg! Biar deh dempel-dempel sama tukang ojeg." Dian terlihat banget merajuk. "Jangan gitu dong, ayukk... Ikut makan dulu bareng kakakmu juga!" Mas Akbar masih berusaha membujuk Dian. Aku makin bingung sebenarnya apa sih mau Mas Akbar. Tadi sudah seperti mendahulukanku sekarang justru tak rela ketika Dian akan pulang naik ojeg. Gedeg aku lihatnya, aku memilih untuk berjalan meninggalkan mereka. Kududuk di sebuah bangku memesan satu porsi mie rebus bersama teh manis. Mas Akbar tak terlihat mungkin dia lebih memilih mengantar Dian dari pada harus di goda tukang ojeg. Sepuluh menit pesanan datang bersama dengan kedatangan Mas Akbar. "Ayo, Dek! Di makan keburu dingin!" "Di mana Dian? Ngga jadi di ante
PoV Dian. "Dian, temenin yuk. Aku mau minta uang sama Kakakku. Nanti tak tlaktir deh," ajak Shinta waktu itu. Awal pertemuanku dengan Mas Akbar. Yah... Memang sebelumnya juga sudah bolak-balik lihat sejak aku masuk di SMA.Kuturuti saja, permintaan temanku yang paling akrab. Ya... Shinta adalah teman pertamaku di sekolah ini. Sejak masuk di SMA dialah orang yang tanpa malu memintaku berteman. Bersyukur kami memilih jurusan yang sama dan satu kelas. "Mas, bagi duit dong, aku mau jajan tlaktir temanku," bisik Shinta pada sosok yang saat itu berseragam putih. Sejurus dia menatapku tapi setelahnya dia membuka dompet dan memberikan satu lembar uang ke Shinta. Sejak saat itu aku selalu menemani Shinta bertemu kakaknya, kadang aku juga ikut meronta membujuk Mas Akbar agar sekedar di beri uang jajan. "Ayo, Mas. Bagi uang buat jajan," rengekku kala itu ketika Shinta tak masuk sekolah. Seolah aku tengah meminta pada kakakku sendiri."Boleh, tapi ada syaratnya!" Aku terkejut. Segera kulepask
"Dek, Ayolah pulang saja Kerumahku!" Mas Akbar masih terus membujukku. Aku yang memang sudah bulat tak lagi mengubrisnya. "Kamu mau ngontrak di mana? Ayolah... Jangan ngambek terus. Aku bingung kalau kaya gini. Di sisi lain ada ibuku dan di sisi ini ada kamu. Mengertilah, agar aku tak di buat bingung." Mas Akbar terus saja ngedumel. "Antar aku kerumah Elsa!" perintahku ketika semua sudah siap. "Ka-kamu mau ngontrak di sana?" tanya Mas Akbar kaget. Dia juga kenal dengan Elsa, pernah datang saat resepsi pernikahan. Dia sahabatku waktu SMA. Ibunya terkenal dengan seorang yang menjual jasa PSK. Mungkin Mas Akbar berfikir kalau aku akan terjerumus atau di jerumuskan oleh ibunya dalam dunia malam. Aku tak senaif itu. Hanya di sana aku bisa mengontrak rumah tanpa bayar dulu. "Iya, apa salahnya. Aku hanya mengontrak tak lebih dari itu! Kamu mau antar apa nggak?" tanyaku kemudian. Mas Akbar bergegas langsung berjalan mengambil kontak di saku dan memarkir motor."Dek!""Hemmm.... ""Pikirk
Faza menangis histeris, aku mencoba mencari apakah ada yang terluka atau sakit. Aku sendiri merasa nyeri pada dengkul sepertinya luka terkena aspal. Beruntung aku dapat mengimbangi tubuhku hingga Faza tak sampai menyentuh tanah. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil, Faza sudah sedikit tenang. Aku mencoba memegangi lututku. "Kamu ngga papa, Dek?" tanya laki-laki yang mungkin sekitar berumur kurang dari lima puluh tahun. "Ngga papa, Om. Mungkin dia cuma ketakutan." Aku berbicara sambil melonggok mobilnya. Ada goresan di sana. Jantungku jadi berdegup kencang. Bagaimana kalau dia minta ganti rugi. Duh! Dilihatnya Faza dari atas sampai bawah, aku diam saja memperhatikannya, sambil memegangi lututku yang sakit. "Kamu terluka sepertinya," ucap laki-laki itu. "Ngga papa kok, Om. Cuma nyeri saja tadi sedikit kena aspal," jawabku. "Coba di lihat. Tuh berdarah seperti itu!" Seketika aku melihat lututku yang tertutup celana kulot warna putih. Terlihat jelas darah mengecap pada celanak
Aku masih berfikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang harus kulerai dari ayah? Mungkinkah Mas Akbar? Tapi tak mungkin kalau Mas Akbar bukankah pasti Dian ngomong itu. Sepanjang perjalanan aku hanya Diam tak mau bertanya takut menganggu kosentrasinya. Cukup sekitar tujuh menit aku telah sampai didepan rumah. Mobil itu? Terdengar suara kegaduhan dari dalam sana. "Enak sekali kamu! Apa minta maafmu dapat mengembalikan nyawa Resti, Hah.... " Suara Ayah dapat kudengar sampai pintu. Bukk... Bogem mentah kembali Ayah layangkan. "Ayah, sudah... Sudah, Yah!" Ibu mulai menangis. Aku yang baru saja masuk di buat bingung. Si... Siapa orang itu? Om-om yang tadi telah menolongku. "Ada apa ini, Bu?" aku berusaha bertanya pada Ibu. "Ada apa ini, Yah?" aku berusaha mendekat pada ayah walau takut.Sorot mata ayah masih tajam menatap laki-laki itu yang sudah babak belur di buatnya. Aku yang masih bingung tak dapat menemukan jawaban. Ayah dan Ibu tak mau memjawab apa yang kutanyak
PoV Akbar"Dek, siapa temanmu yang sering sama kamu itu?" tanyaku pada Shinta saat di rumah."Yang mana, Kak?" "Itu loh yang sering ikut-ikutan kalau kamu minta uang.""Oh, Rian, Mas. Dia anak sebelah desa." Aku mengangguk anguk mengerti. Sebenarnya aku sedikit suka padanya. Dian anaknya cantik dan tak malu-malu. Terbukti ketika Shinta tak masuk sekolah karena sakit, dia tanpa ragu meminta uang layaknya Shinta. Sayang kalau aku pacaran sama dia itu artinya aku tak dapat serius dengannya. Padahal usiaku sudah mapan dan ingin segera menikah. "Kenapa, Mas? Mas naksir sama dia?" tanya Shinta membuat aku yang tengah melamun tersadar dan tersenyum. "Ngga tau nih, Dek." aku garuk kepala yang tak gatal. Ternyata Shinta justru mendukungku. Dia sangat setuju kalau aku pacaran sama Dian. Pikirnya pasti asik punya temen sekaligus pacar Kakaknya. Akhirnya kutembak Dian. Kami pun jadian, kulihat mereka makin dekat bagai kakak dan adik. Cuma ya itu, anak masih labil kadang lebih egois. Ngga ma
"Indah!" panggil Ayah ketika aku di dalam tengah bermain dengan Faza, setelah tadi aku berkata dan masuk kedalam. "Ya, Yah. " Aku keluar dengan mengendong Faza. "Kamu siap-siap, nanti sore kita akan ikut dengan Beni kekota!" ucap Ayah membuat mataku membulat. 'Oh, jadi dia namanya Beni, orang yang mengaku Ayah biologisku!' gumamku dalam hati. "Untuk apa, Yah, kita kekota?" tanyaku penasaran. "Ikut saja," jawab Ayah santai. "Terus siapa saja? Cuma aku dan... " tanyaku tak mampu menyebutnya Ayah dan memanggil namanya juga segan. "Akan Ayah temani!" Seketika Ayah menjawab. "Aku ikut ya, Yah? " tiba-tiba Dian menyela. Ayah menatap sekilas. "Aku juga ingin kekota, Yah, Pliss!" bujuk Dian. "Iya, nanti kita mampir kerumah Mbak Rian juga. Kebetulan searah." Ayah berkata santai. Aku masih enggan untuk bertanya lebih lanjut. Kulihat sekarang ayah sudah berdamai dengan Beni. Tak ada lagi kemarahan di matanya. Sesekali mengobrol tentang bisnis yang saya sendiri tak mengetahuinya. "Ind