Mereka langsung menaiki mobil menuju ke rumah utama. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi hanya diam, hanya ketegangan yang tersisa di wajah masing-masing.Kedatangan mereka disambut oleh istri papanya.“Tumben kalian datang, kirain sudah gak ingat sama keluarga sendiri,” ujar Bu Martha menyindirnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.Risna ingat betul, bahkan saat pernikahannya, istri papanya itu tak datang. Entah kenapa dia terlihat sewot sekali.“Kami ingin bertemu Papa.”“Papamu sedang tidak enak badan, beliau tidur di kamarnya.”Risna langsung melangkah masuk, tapi Bu Martha justru menghalangi. “Kamu tidak boleh bertemu dengannya. Jangan ganggu waktunya istirahat.”“Kenapa tidak boleh? Beliau papaku! Ada yang ingin kami bicarakan dengannya,” sahut Risna. Padahal ia tahu benar, dua hari lalu Papanya tidak apa-apa, bahkan berangkat ke kantor dalam kondisi sehat, lalu kenapa tiba-tiba dia sakit?Risna menatap manik mata ibu tirinya, hingga tatapan mereka beradu. Tak peduli dengan kesinisan
Part 68Uhuk-uhuk...! Lelaki yang terbaring di ranjang itu terbatuk-batuk. Ia mulai membukakan matanya perlahan, mengerjap sembari mengambil napas yang masih terasa berat. Kepalanya masih terasa berat dan juga pusing. Badannya sangat sakit, bahkan untuk bergerak sedikit saja badannya berasa remuk redam. Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Reyhan memicingkan matanya, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi sebelum ini. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, merasa berada di tempat yang begitu asing.Ini dimana? tanyanya dalam hati. Suaranya tak mampu keluar. Sembari menahan rasa sakit, lelaki itu berusaha bangkit duduk dan mengamati sekitar. Sebuah kamar sederhana tampak begitu asing baginya. Tiba-tiba seorang perempuan mudamasuk. Ia sangat terkejut saat melihat lelaki yang ditolongnya sudah sadarkan diri. Perempuan itu mengenakan kerudung yang terjulur hingga menutupi dada berwarna hitam dengan gamis warna abu tua. Penampilannya memang sangat sederhana tapi tampak menyejukkan m
Abah Husein langsung memeriksa kondisi pria malang itu. Kebetulan dia adalah tukang urut di desa itu. "Sepertinya ini korban kecelakaan dan hanyut ke sungai. Zahra, tolong panggilkan Bu Bidan kesini ya, kasihan laki-laki ini. Dia butuh pertolongan.""Baik, Bah," jawab gadis muda itu sambil mengangguk.Gegas Zahra berlari dan menuju ke polindes dimana bu bidan berada. Bu Bidan memeriksa keadaan Reyhan. Lalu memberikan obat serta perlengkapan seperti perban kain kasa, betadine dan lain sebagainya untuk mengobati luka di tangannya yang cukup parah. Mungkin karena tergores batu.Karena tak ada biaya alias keterbatasan ekonomi, Zahra dan abahnya hanya mampu merawat pria itu di rumah."Saya pingsan berapa hari, Pak?" tanya Reyhan. "Dua hari. Maaf, Nak, kami hanya bisa merawatmu seadanya. Alhamdulillah berkat keajaiban Allah, akhirnya kamu sadar. Coba gerakkan anggota tubuhmu pelan-pelan, Nak," tukas Abah Husein. Reyhan mengangguk dan mulai menggerakkan semua tubuhnya, meski terasa kaku
Part 69Risna hanya menghela napas dalam. "Tapi sepertinya aku mencurigai ibu tiriku itu. Apa semua ini ada sangkut pautnya dengan dia, Mas?"Dewangga menggenggam tangan istrinya dengan hangat dan lembut. "Kau benar, kita memang harus waspada. Apa aku boleh tahu siapa lagi orang kepercayaan kakakmu selain Pak Kamal?" Risna hanya terdiam karena selama ini hanya Pak Kamal orang kepercayaannya. "Aku tidak tahu, Mas. Karena selebihnya hanya bekerja sesuai perintah saja.""Ya sudah, aku akan cari orang baru untuk mengawasi gerak-gerik Bu Martha. Semoga bisa ketemu yang cocok dan mau dengan pekerjaan ini."Selepas mengatakan hal itu, Dewangga pun pergi menemui Beni, sang asistennya untuk merekrut seseorang yang ingin bekerja dengannya.***"Dek, aku berangkat sekarang ya! Kamu hati-hati di rumah dan jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi Mas ya," ujar Dewangga berpamitan pada Risna. Lelaki itu mencium kening istrinya dengan lembut."Iya, Mas juga hati-hati di jalan, tolong sering
"Dugaan aku pelakunya mungkin orang dalam. Siapa saja hari ini yang bekerja?" tanya Dewangga."Bik Sawi, Pak Herman dan Pak Doni, Mas," jawab Risna. Nama-nama yang disebutkan Risna, bekerja sebagai ART, security dan juga sopir. Biasanya ada dua orang lagi tapi mereka sedang libur."Tapi kalau itu benar, kenapa mereka lakukan itu, Mas? Mereka sudah lama bekerja di sini.""Mungkin mereka kepepet butuh uang, Dek," ujar Dewangga lagi."Mas akan pulang lagi sekarang, Dek. Mas gak tenang ninggalin kalian dalam ketakutan begitu," ujarnya khawatir. Meski ia pun bimbang karena sudah perjalanan jauh."Tapi, kamu pasti sudah sangat jauh, Mas.""Tidak apa-apa, aku akan pergi lagi setelah kondisi di rumah stabil dan aman.""Baiklah, Mas. Kita memang harus membuat rencana dengan matang."Panggilan telepon itupun berakhir. Risna bergegas ke kamar sang ibunda. Tampak Bik Sawi yang mengobrol dengan mamanya. Bik Sawi tengah membersihkan kamar sang ibunda seperti biasanya, dia pula yang menyiapkan sara
Part 70"Ada apa, Neng? Apa yang terjadi?" Abah berjalan tergesa-gesa menghampiri putrinya."Tadi Bang Lemu kesini, Bah," jawab Zahra sembari tertunduk lesu.Begitu pula dengan Abah Husein, seketika terdiam. Tampak jelas mereka tengah memikirkan masalahnya yang begitu nyata."Maaf, kalau saya lancang, sebenarnya ada hutang apa antara kalian dengan pria tadi? tanya Reyhan."Sebenarnya ibuku yang hutang pada juragan Andi, Mas. Tapi setelah mendapatkan uang itu, ibu justru pergi meninggalkan kami begitu saja tanpa apapun. Ibu juga gak pernah pamit, ya istilahnya ibu kabur justru meninggalkan hutang pada kami. Jadi, kami lah yang dituntut untuk melunasi hutang ibu," jawab Zahra lirih. Pandangan matanya tampak berkabut. Ia memang berusaha kuat untuk menjalani hidup meski dalam keterbatasan ekonomi."Sebenarnya kami sudah mencicilnya tiap bulan. Tapi kami merasa hutang itu semakin hari makin mencekik, juragan bilang kalau kami hanya mencicil bunganya saja, sedangkan pokok hutangnya belum
Sementara itu, Zahra pulang dengan sebuah kantung plastik besar di tangannya, ia membeli tepung, minyak goreng dan bahan lain untuk dibuat gorengan. Jualqn gorengan, memang hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menambah pundi-pundi recehan untuk penyambung hidup. Dengan cekatan, tangan Zahra langsung mengolah adonan tepung untuk gorengan. Dia akan langsung jualan berkeliling sore hari nanti. Tempe goreng tepung, bakwan goreng dan cireng yang dia adon kali ini di pawon sederhana miliknya. Ya, dia memasak hanya menggunakan tungku dengan kayu bakar. Panas peluh membasahi dahinya tak dihiraukan lagi. Asalkan dia bisa membantu abahnya, itu sudah hal yang paling membahagiakan.Setelah semua gorengan jadi, perempuan itu langsung menaruhnya di keranjang yang biasa ia gunakan untuk berdagang. Zahra segera bangkit, ia membersihkan dirinya dan berganti baju agar terlihat bersih dan rapi meski hanya mengenakan gamis itu-itu saja."Neng, Nak Reyhan kasih gorengannya di piring, jangan dijual sem
Part 71"Ada apa, Dek?" tanya Dewangga setelah panggilan itu berakhir."Mas, barusan Pak Kamal telepon lagi. Yang waktu itu kan terputus, dan gak bisa dihubungi. Sekarang dia pakai nomor lain lagi.""Lalu?""Aku minta share lokasi dia dimana. Kita akan susul dia, Mas. Aku yakin kalaupun mereka terpisah, Kak Reyhan pasti tak terlalu jauh dari lokasinya. Kak Reyhan pasti ada di desa-desa sekitar," jawab Risna yang terlampau panik."Iya, Dek, kamu benar. Tapi kau tenangkan diri dulu. Tenang ya, Dek," sahut Dewangga yang melihat sang istri begitu risau."Aku gak bisa tenang, Mas. Ini udah hari ke sepuluh Kak Reyhan gak ada kabar.""Iya, khawatir boleh, tapi kau juga harus tetap menjaga kesehatan.""Iya, Mas, terima kasih sudah mengingatkanku."Tak lama sebuah pesan masuk lagi. Pak Kamal mengirim lokasinya terkini. Seketika mata Risna berbinar. "Mas, lihat ini. Pak Kamal kirim pesan," ujar Risna. Ia menunjukkannya pada sang suami. "Save dan screenshoot, Dek. Nanti biar aku menyusulnya da