Ted mulai merasakan peluh di pelipisnya.Ia mengeluarkan senjata api dari balik punggungnya. Tangannya menggenggam erat senjata itu, begitu pula kedua lainnya.Tiga orang dalam bangunan kumuh itu kini terlihat mulai tegang. Elara cukup jelas melihat peluang dari situasi ini.Entah siapa yang menyerang mereka, Elara tidak harus menunggu di sini. Ia tidak yakin jika siapapun yang datang menyerang, tidak berniat buruk padanya.Di saat Ted dan kedua anak buahnya terlihat sibuk memperhatikan situasi, Elara beringsut ke sisi sofa satunya dan menurunkan kakinya yang semula ia tekuk.Meskipun ia masih dalam kondisi terikat, Elara menggerakkan tubuhnya dengan baik. Ia berdiri, lalu merayap dan menggeser kakinya yang terikat dengan hati-hati, agar ketiga lelaki dalam ruangan itu tidak berpaling padanya.Gadis ini sudah cukup hati-hati, namun si Lelaki Beranting melihat pantulan bayangan Elara dari kaca jendela.“Fuck you, B*tch!” Dia berbalik dan menarik kerah belakang kemeja Elara dengan kasar
Arion memindai sekeliling dan tatapannya jatuh pada tubuh Elara yang tergeletak di lantai.Gestur tenang dan wajah tanpa ekspresi itu seketika berubah. Dengan tergesa ia nyaris berlari menghampiri Elara dan menjatuhkan lutut di sisi tubuh gadis itu.Gadis itu masih dalam posisi yang sama dan keadaan yang sama --Max tidak berani menyentuhnya, meski menjadi orang pertama yang masuk dan melihat Elara di dalam bangunan kumuh ini.Surai cokelat madunya mengayun lembut, tatkala tangan Arion meraih tubuh Elara dengan sangat hati-hati, setelah membuka ikatan pada kaki dan tangan gadis itu.Ia memeriksa keadaan Elara lalu mendekap gadis itu sangat erat.“Elara…” bisiknya. Suara itu terdengar serak, tertahan gejolak emosi yang begitu kompleks sejak ia mengetahui Elara dibawa pergi.Iris kelabu milik pria itu lalu terkunci pada wajah Elara yang terlihat pucat dengan lebam di pipi dan juga sisi kepala.Sebelah tangan Arion bergerak cepat namun ha
Jika pun ada hal lain, itu karena keanehan yang selama ini ada dalam diri Arion tidak muncul saat bersama gadis ini.Hasrat yang mati itu, selalu timbul --bahkan menyala, saat bersamanya.Keinginan menyentuh dan menguasai tubuh gadis itu seolah menjadi obsesi dalam pikiran Arion. Anehnya lagi, Arion tidak sanggup memaksakan kehendak pada gadis itu dan hanya akan menunggu gadis itu yang memberikan dirinya secara sukarela.Kening Arion mengernyit.Desakan dalam dadanya mendorong dirinya untuk membiarkan hal itu. Tanpa perlu melawan atau pun menyingkirkan rasa-rasa asing serta keanehan ini.Pria tampan itu sedikit terhenyak, saat melihat tangan Elara yang bergerak.“Elara…”Kelopak mata Elara bergetar, lalu membuka perlahan.Ia hendak bergeser, lalu mengernyit saat merasakan nyeri di kepalanya.“Jangan dulu bergerak,” ujar Arion pelan.Elara tersentak mendengar suara dalam yang familiar itu lalu berusaha menoleh ke kiri.“...Rion…” Mendengar panggilan lirih Elara tersebut, Arion membeku.
Pria muda itu menyadari dibuntuti. Karena saat kini ia berada di Bayshore Freeway, mobil itu tetap berada di belakangnya.Alex kian memacu kendaraan roda empat itu di sepanjang jalan bebas hambatan yang berada di pesisir pantai hingga berbelok dan masuk ke Harney Way. Tepat di suatu belokan, mobil di belakang Alex tiba-tiba melesat cepat lalu menubruk dari belakang.Alex tersentak ke depan dan semakin panik menginjak pedal gas-nya.Namun tidak peduli seberapa dalam ia menginjak gas dan seberapa cepat mobil Alex melaju, mobil di belakang itu kembali menubruk --bahkan lebih keras, sebelum kemudian menyusul di samping dan memepetkan bodi mobilnya ke mobil Alex.Alex kehilangan kendali atas mobil dan membanting setir.Mobil Alex berdecit akibat rem dadakan yang refleks ia lakukan tanpa memperhitungkan akibatnya.Mobil Alex menabrak pembatas jalan dengan sangat kencang dan terguling.Mobil memang berhenti, namun dalam kondisi terbalik. Kaca pecah dan penyok di sana-sini.Alex yang masih set
Keluarga White tengah diliputi duka mendalam.Tina terus menangis dan meraung di sisi peti mati yang tertutup. Ian Palmer terus mencoba menenangkan istrinya --memeluk bahu sang istri dengan erat.Terlihat Nyonya Besar White yang juga duduk lemas dengan ditemani Dianne.Tidak banyak tamu yang hadir, hanya kerabat jauh itupun hanya sebentar memberikan penghormatan terakhir, lalu bergegas keluar ruangan.“Keluarga White sedang tertimpa kesialan beruntun. Entah apa yang mereka lakukan, sehingga Tuhan murka dan menghukum mereka seperti ini.”“Ya, kau benar. Karena itu, kita tidak perlu berlama-lama di sini. Aku tidak ingin tertular kesialan mereka.”Elara melirik kedua tamu yang berpapasan dengannya saat masuk ke rumah duka.Jeanne di sisi Elara mendengkus kesal. “Apakah orang-orang itu tidak memiliki sopan santun? Ya Tuhan! Ada apa dengan dunia ini!”Elara tidak menanggapi omelan Jeanne dan melan
Elara mengikuti arah yang ditunjuk Jeanne dan mendapati sosok tinggi dan proporsional yang sedang berdiri bersandar di badan mobil dengan kaki bersilang.Pria itu mengenakan kacamata hitam --sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanan dirinya, justru mempertegas figur gagah pria itu.“Ouch… Dia sungguh perhatian sampai menjemputmu ke sini,” ledek Jeanne menggoda Elara.“Perhatian apa.”“Ah ayolah, tidak perlu merendah seperti itu. Tidakkah kau bisa melihat dia khawatir terhadapmu?”“Khawatir?”“Kurasa ia khawatir kau menangis tersedu-sedu setelah keluar dari rumah keluarga yang banyak membuatmu sengsara ini!” Jeanne meledek lebih gencar lagi.“Kau terlalu banyak berkhayal.” Elara menggelengkan kepala.“Sudah sana!” Jeanne mendorong bahu Elara. “Aku tidak akan mengganggu kalian.”“Biar aku mengantarmu, J.”
Beberapa bulan berlalu dengan sangat tenang, hingga hari kelulusan tiba.Setelah semua prosesi sakral yang dilakukan di lapangan terbuka itu, akhirnya Elara lulus.Gadis itu terdiam sesaat dengan mata mengelilingi sekitarnya.Pemandangan di luar gedung kampus begitu indah. Elara tersenyum dalam diam nya, ketika menangkap berbagai tingkah serta seruan dari sekian ratus orang yang ada di sana.Semua teman-temannya --kecuali dirinya, tengah dipeluk bangga dan berbincang gembira oleh keluarga mereka.Entah itu kedua orangtua yang lengkap, atau hanya ibu saja, ayah saja, bahkan ada pasangan paman dan bibi yang memberikan selamat kepada keponakan mereka.Wajah-wajah bahagia dan gembira yang menguar kuat, menularkan senyum di diri Elara.Gadis bersurai cokelat madu itu pun ikut tersenyum --mungkin tidak selebar mereka semua, namun ia secara tulus ikut berbahagia bersama mereka.Kaki Elara bergerak menapaki anak tangga setelah melewati
Arion sungguh tidak mengira dirinya akan terjebak berada di dalam angkutan umum seperti ini.Pria itu melirik gadis di sebelahnya yang terlihat santai memandang ke arah luar jendela.Demi apa, dirinya telah mengenakan pakaian formal --meskipun ia memesan setelan jas paling murah dan paling sederhana.Itu hanya seperempat harga dari yang biasa Arion miliki. Tidak kurang dari empat puluh ribu dolar untuk setiap set jas yang ia miliki dalam koleksinya.Dan kini, ia ada dalam satu bus, dengan hunjaman tatapan dari berpasang mata pada dirinya.Arion memang sangat menarik perhatian. Tubuh tinggi tegap itu benar-benar pencuri kekaguman. Terbalut sempurna di tubuh proporsionalnya serta ditunjang wajah tegas nan tampan.Pria bermanik kelabu itu mengembus napas. Merasa risih dengan sekeliling yang tidak biasa ini.Elara pun menyadari keresahan Arion lalu menoleh pada pria tampan itu.“Mengapa kau terlihat begitu gugup? Apa ini pertama kali bagimu naik bus?”Arion mengangguk spontan dan itu menge