"Tahan tarikan! Tahan tarikan!" Pak Najam terus berteriak ke arah HT yang tergenggam di tangannya.Petugas yang mengiringi jenazah tampak kewalahan menggeser sisi tandu yang tersangkut karena tali terus di tarik oleh tim base camp dari atas pelawangan. Pak Najam berteriak, "Sialaan! Tahan tarikannyaa ...!"Ternyata, HT tak berfungsi karena masalah sinyal. Tandu semakin terangkat dan kini berjarak sekitar dua puluh meter di atas Alit dan Pak Najam.Pak Najam terus berusaha mengontak base camp. "Tahan tarikan ... tim base camp tahan tarikan, mohon kurangi tarikan, segera! Jenazah tersangkut ... sekali lagi jenazah tersangkut, jenazah hampir jatuh!" perintah Pak Najam hampir putus asa. Kerikil-kerikil tampak berguguran karena gesekan sudut tandu dan tebing. Beruntung, bebatuan hanya membentur sisi depan helm yang terpasang di atas kepala mereka. Mereka bisa saja terluka jika tidak dengan sigap menempelkan tubuh pada permukaan tebing.Situasi semakin berubah genting. Posisi jenazah kini
Bang Ochi duduk pada batang cemara yang telah tumbang dan mengering. Ia berpikir sambil memperhatikan tenangnya air danau Segara Anak. Semua tampak tenang, datar, dan tak ada pusaran air ataupun riakan besar seperti yang baru saja ia lihat. Semua pendaki di camping ground tampak santai memancing, seolah tak pernah ada apa-apa. "Apakah mungkin tidak pernah terjadi apa-apa di tengah danau itu? Atau mungkin juga bangsa jin telah menipu pandangan kami?" Bang Ochi bergumam lirih. "Aneh," lanjutnya kemudian."Saya udah tanya, mereka nggak ada yang lihat rombongan kita, Bang," Fadly datang dengan raut wajah lelah, napasnya agak tersengal."Sebentar," tutur Bang Ochi. Ia berusaha keras memikirkan segala keanehan yang menimpa tim itu sejak awal ketika Bang Ron terjatuh."Kenapa, Bang?""Fadly ... tolong ceritakan saya, apa sebenarnya yang pernah tim kalian lakukan sejak awal berada di Rinjani?" tanya Bang Ochi penasaran. "Saya tidak meragukan hal-hal di luar nalar bisa terjadi dan dapat meni
Suara gemeretak dalam mulut Jingga terus terdengar. Beberapa patahan tulang dijatuhkan lagi dari mulutnya. Matanya menatap misterius ke arah Bang Ochi yang masih kebingungan di posisi paling belakang.Tim terus melangkah menuju camping ground tanpa menyadari apa yang dilakukan bocah perempuan itu atas gendongan ayahnya, kecuali Bang Ochi."Ayo buka carrier, keluarkan logistik. Bagi tugas untuk bikin makan siang. Keluarkan apa yang ada!" perintah Pak Junet setiba di camping ground Segara Anak."Di carrier saya masih cukup banyak logistik, dan tim saya juga masih lumayan, tapi lauk sepertinya nggak cukup banyak," ucap Bang Ipul sambil membuka carriernya."Di ransel saya ada mie instan, telur, sama sosis. Kita bisa masak ini jadi tambahan. Walaupun nggak cukup banyak, paling tidak perut kita terisi dulu," sambung Pak Junet.Mendengar uncapan Pak Junet, beberapa orang pendaki menghampiri."Abang-abang, rombongan kami mau turun, titip ini ya, lumayan untuk tambah-tambah," ucap salah seoran
Mata Pak Junet tampak mengawasi. Ia hendak memberi tahu Bang Ochi siapa yang mengambil tulang sesaji dan siapa pemiliknya. Namun, tiba-tiba saja Bang Ipul menghampiri mereka."Kapan rencana nikah, Chi?" tanya Pak Junet tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Bang Ochi langsung paham maksud Pak Junet. Ia tidak ingin informasi ini menyebar sebelum ada kepastian."Anu ... ee ... akh ... hir tahun mungkin, Pak," jawab Bang Ochi asal agar Bang Ipul tak curiga."Ah, kelamaan, Bang Chi!" Suaranya bernada mengejek."Wah, bahas apaan? Ada bau-bau yang mau nikah ini," sela Bang Ipul."Eh, Bang Ipul. Ini, Bang ... Pak Junet usil banget pertanyaannya." Bang Ochi berusaha menyembunyikan pokok masalah sebenarnya."Besok kita berangkat turun jam berapa?" tanya Bang Ipul."Jam sembilan pagi, cukup lah. Kita cuma butuh waktu sekitar tiga jam, paling lama mungkin empat jam udah sampe di pintu hutan," jawab Pak Junet yakin.Bang Ipul hanya mengangguk, lalu kembali ke rombongan bersiap mendirikan tenda."Pak
Refleks Bang Ochi meraih pundak Fadly, lalu menariknya. "Lari!" pekiknya.Mendengar suara gaduh, Pak Junet menghampiri. "Ada apa ini? Jangan bikin gaduh, ini sudah malam!" ujarnya dengan nada keras.Situasi di Pos 3 berubah mencekam."A-anu, Pak. Bule, kakinya kebalik!" jawab Fadly dengan napas tersengal memburu oksigen."Kenapa, sih, selalu saja ada gangguan sama rombongan kalian, heran saya!" sergah Pak Junet.Bang Ochi menoleh ke arah para penyintas. "Pak, buka saja semua. Saya rasa sekarang waktunya,” usulnya agar Pak Junet menungkap semua.Pak Junet melihat ke arah Bang Ochi, lalu mengangguk ringan."Ibnu, kemari!” panggil Pak junet. “Coba jelaskan kami, kenapa bisa ada tulang monyet di sling bag punyamu?" lanjut Pak Junet bertanya dengan tegas.Sontak semua mata mengarah pada Ibnu. Diah, Zahra, dan Fadly membeliak tak percaya apa yang baru saja terlontar dari mulut Pak Junet.Ibnu terdiam, lalu melihat ke arah teman-temannya.Fadly mendekat, lalu tiba-tiba melayangkan hantaman k
Suara pemikat lawan jenis dari rusa timor terdengar memekik di kejauhan memecah heningnya pagi. Embun yang menggantung pada ujung ilalang mulai menguap serupa asap tipis menari-nari di bawah sinar yang hangat. Setelah gelap malam bergeser, kini pagi menyapa bersahaja, membersitkan segaris cahaya melalui celah dahan cemara gunung.Bersama segelas kopi di tangan kanan, Bang Ochi melangkahkan kaki menuju titik terbaik untuk menghangatkan tengkuk dari dingin yang membelai."Udah bangun, Bang?" sapa Ibnu. Ia duduk di atas batu sambil mengamati hamparan ilalang yang menguning. "Eh, Bro. Sehat?" Bang Ochi balik menyapa."Alhamdulillah, lebih baik ini ketimbang ciuman jelatang," kelakarnya sambil mengelus pelipis yang masih biru menonjol.“Jelaslah,” balas Bang Ochi sambil sedikit tertawa."Untuk sampai pintu hutan, butuh berapa lama, Bang?""Paling lama empat jam kalau jalan santai gak berhenti," jawab Bang Ochi sambil sesekali menyeruput segelas kopi di tangannya.“Lumayan jauh, ya, Bang.”
Jingga meronta ingin lepas dari gendongan Arum. Berrkali-kali ia mencakar wajah ibunya dan menarik jilbab hingga terlepas. Situasi berubah panik, wajah bocah perempuan itu berubah pucat dan dan sangat ketakutan melihat orang-orang di sekitarnya."Jingga mau pulang!" teriak Jingga histeris. Suaranya berubah sangat mengerikan.Jingga terus memberontak dari gendongan ibunya hingga Arum terjatuh. Bang Ipul segera menghampiri istrinya, tetapi Jingga terlepas dan berlari ke arah rerimbunan semak untuk sembunyi.Semak belukar yang rapat dan cuaca yang mendung membuat pandangan mereka agak kabur. Bang Ipul pun segera melepas carrier dari punggungnya, lalu berlari ke arah semak mengejar anaknya.Situasi bertambah rumit karena Jingga bersembunyi entah di mana. Tak ada suara sedikit pun darinya. Arum terduduk lemah tak berdaya. Jalur Pos 2 Senaru bertambah ramai karena banyaknya pendaki penasaran dengan apa yang terjadi.Satu jam kemudian tim SAR penjemput tiba di Jalur Pos 2 Senaru. Pak Junet
Jalur Selatan Rinjani. Petugas terus menarik tali dengan lebih cepat. Semakin tinggi tandu terangkat, semakin kencang pula tandu berayun tertiup angin. Rasa khawatir dan penasaran memaksa Alit melangkah cepat menuju bibir tebing. Unyil dan teman-temannya segera bangkit dan menyusul Alit karena wajahnya tampak tak tenang. Di tebing bawah sana, posisi jenazah, kini berada di titik jatuhnya Bang Ron, letter Z."Ya ampun, berani banget tim evakuasinya, sampe berayun gitu. Ih, merinding aku, Baaang," celetuk Dini saat melihat perjuangan tim evakuasi."Saya juga, Din," balas Unyil."Bang ... eh, Abang, siapa namanya?" panggil LurisAlit menoleh mendengar panggilan itu. "Ya?""Gimana Bang Ochi di bawah sana, baik-baik aja, 'kan?" tanya gadis berambut panjang itu."Bang Ochi baik-baik aja," jawab Alit apa adanya."Kok, Bang Ochi nggak naik? Tadi, Abang naik pake tali. Pasti sama Bang Ochi kan di bawah?" tanyanya lagi."Bang Ochi gak naik pake tali, dia sama Pak Junet balik lewat jalur Senaru