Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu.
"Ada yang bisa kami bantu?"
Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."
Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"
Ari menggeleng. "Harus, ya?"
"Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."
Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.
Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pada sebuah bangunan dengan luas 2000m², beberapa montir tampak berbaris sejajar dengan rapi. Salah seorang manager tengah memberi banyak instruksi mengenai pembukaan yang akan diadakan nanti. "Inget! Besok pemilik Fiterus Asikin bakalan dateng buat ngeresmiin pembukaan bengkel kita. Jadi, kalian harus bisa nunjukin bakat dan skill kalian. Dalam tujuh hari ke depan, dia bakal terus datang dan ngenilai, tentang siapa yang bisa stay or out from here. Jadi hari ini kita bakalan bersih-bersih dan ngecek segala persiapan yang dibutuhkan. Entah peralatan kalian di station, atau kekurangan bahan yang dirasa bakalan banyak diminati." Setelah briefing usai, tiga puluh montir itu langsung tercerai-berai. Mereka sibuk membersihkan area serta perkakas yang akan digunakan esok. Ari, salah satu montir amatir itu sedikit kesal jam istirahatnya diganggu hanya demi membersihkan area tanpa dibayar. Bukannya pe
"Bangun, Su! Bos dateng!" Ari memicingkan kedua mata, lantas mengerjap-ngerjapkannya pelan. "Hah?" Supri mengangguk, menjawab tanya tanpa kata yang diperlihatkan Ari dengan tatapannya. Lekas, ia bangkit dan menenggak setengah botol air mineral yang ada di sampingnya. "Maaf, Nona, kami masih belum buka," ujar salah seorang montir. Salah satu gadis yang mengenakan kardigan pun kembali melangkah, mendekat, lantas menyeruak kerumunan montir tanpa bicara. Bukan untuk menghindar, tapi tujuan utamanya adalah dua orang montir di barisan paling belakang. Setelah ia berhadapan dengan Supri dan Ari, si gadis pun berdeham. Tanpa buka suara, ia mengisyaratkan dagunya pada pria paruh baya agar mendekat. Supri yang ragu pun tak punya pilihan. Mereka telah sejajar, lantas Lara mulai bergumam, "Anda loyal pada kawan, tapi itu bisa men
Rendi baru saja sampai di rumah warisan orang tua saat jam telah menunjuk ke angka tujuh. Di teras, ia mendudukkan diri pada lincak. Dibukanya sepatu lantas mengecek BEI dari ponselnya. Seulas senyum pun mengembang bersamaan dengan pintu yang dibuka dari dalam. Rendi berbalik hendak menyalami kakaknya, tetapi ditepis. Selalu saja demikian. "Nggak usah nuekno aku, Ren. Kita seumuran." Ari mengepal tangan dan mengulurkannya tepat di depan dada. Rendi tampak menyungging senyum kambing, sebelum akhirnya membalas adu jotos dari sang kakak. "Enak bener ngomong seumuran!" "Gimana hari ini?" Rendi mencebik sembari menyugar rambut cepaknya. "Harusnya gue yang tanya, 'kan?" Ari terbahak sejenak, sebelum akhirnya mengelus pipi pelan. "Kena tampar, Brai." Rendi membeliak, lantas menyipitkan kedua mata. "Enak?" Dal
Di dalam kamar Ari yang tengah bosan mencoba mencari-cari kertas berisi nomor telepon Supri yang diberi saat pertama kali berteman ketika wawancara kerja. Bermodal hasil bermain game, ia mampu membeli ponsel bekas sepulang dari bengkel siang tadi. Ari masih tak habis pikir, tentang sikap perempuan yang berani menamparnya. Apalagi, status mereka adalah bos dan karyawan. Harusnya, sang pemimpin mengayomi, bukan malah seenaknya. Dipencetnya layar ponsel sesuai yang tertera, hingga pada digit kesepuluh tinta bolpoin terserak. Membuat tiga angka paling belakang jadi tersamar. "Ini pasti tintanya belom kering pas Supri ngasih balik," gerutunya. Ari menyipitkan mata, lantas mulai menerka-nerka angka yang ada. "Ini atas bawah melengkung. Kalo nggak tiga, pasti delapan," duganya. Matanya memicing, lalu mulai memencet angka pada layar. Begitu pula pada digi
Malam kian larut, tetapi hiruk-pikuk dalam sebuah kelab di tengah kota tak menyurut. Bahkan, dentuman musiknya kian menyulut kobaran gairah yang menyusut. Sama halnya dengan Lara. Ia sudah menghabiskan hampir kepala tiga seloki minuman dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi. Bukan tanpa sebab, ia terlalu marah hingga tak mampu berkutik. "Persetan!" Sudah puluhan kali ia mengumpat dengan lantang. Lara mengabaikan banyak tatapan sinis dari sekitar. Tentu saja ia menjadi pusat perhatian. Selain karena kesendiriannya, ia juga sedang salah kostum. Betapa tidak. Sesaat setelah menerima pesan dari karyawan yang ditamparnya siang tadi, ia langsung meraih kardigan selutut tanpa mengganti pakaian. Celana jin mini biru muda yang berpadu dengan kamisol putih penuh brukat, tak membuat tekatnya surut untuk sekedar melepas penat. Setidaknya, ia harus mendinginkan kepala sebelum menc
Lara menggenggam erat seloki kosong, lantas mengetuk-ngetukkan ujung bawahnya ke meja bar. Sedang tangan satunya, tengah memegangi sisi sebelah kepala. Ponsel yang berada tak jauh dari beberapa gelas seloki bergetar, tapi tak digubris oleh Lara. Sesekali ia melirik, lantas mendengkus kesal. Saat getaran panjang itu usai, Lara meraih ponselnya, membuka notifikasi dari jendela layar yang mengambang. Tujuh panggilan tak terjawab, serta empat pesan belum terbaca. Lara hampir menggeser, membuang semua notifikasi yang masuk saat ponselnya kembali bergetar panjang. Ia membeliak,L lalu rahangnya mengeras saat tahu siapa yang memanggil dari ujung panggilan lain. "Berengsek, lu!" "Gue kenapa?" jawab seberang sana. "Elu di mana?" "Ada urusan apa lu?" "Gue cuma mau ngomong, besok bawain gue sarapan yang enak. Tau sendirilah, bes
Jam baru menunjuk ke angka enam saat Lara mulai terbangun akibat ponsel yang terus berdering dari saku celana pendeknya. Tanpa membuka mata, ia merogoh dan meraihnya. Diusapnya layar ponsel sembarang dan diletakkan pada telinga. "Udah bangun, Cantik?" Mendengar sapaan dari seberang, sontak saja Lara membuka matanya lebar-lebar. Pada layar ponsel, nama 'Montir Bastard' tersemat. Lara menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Rupanya, kejadian kemarin bukanlah mimpi semata. Padahal, sepulang dari kelab tiga jam yang lalu, ia sudah merasa begitu senang karena berpikir kejadian sebelumnya hanyalah imajinasi saja. "Ini masih terlalu pagi buat bikin gue emosi." "Hei! Koe iki cah wedon! Mbok ya bangun itu pagi-pagi banget biar rejekinya nggak dicucuk ayam! Ayo, bangun! Jan lupa masakin sarapanku, ya." Lara menggaruk kepalanya yang tak gatal,