Ruangan bernuansa hitam putih yang tampak elegan nan mewah sama sekali tak membuatnya tenang. Terlebih, saat ia membaca pesan yang baru saja ia terima.
"Dia membeli banyak buku, baju, sepatu, dan makanan ringan, Bos. Lalu membawa semuanya ke sebuah panti asuhan."
"Gue kira, dia bakalan seneng-seneng pake itu kartu! Gue pikir, dia meres gue buat nyenengin diri sendiri," gumam Lara.
Ada rasa sesal yang mengusik saat tahu, pria yang dianggapnya bajingan malah mempunyai sisi kemanusiaan yang tak mampu dibayangkan. Ia mengusap kepalanya sebentar, sebelum akhirnya kembali meraih ponsel dan outer Velvet burgundy dari hanger standing.
Tanpa meretouch make up atau mengganti pakaian, ia segera menuju ke garasi setelah mengirim pesan singkat. "Share lok."
Secepat kilat Lara membelah jalanan ibu kota. Meski jam pulang kerja telah lewat, tapi kepadatan laju kendaraan tak mampu ia perkirakan.
Ada yang kek gini? Lara nih ada-ada aja, ya. Kok bisa-bisanya dia lupa mutusin sambungan telpon. Buat kalian juga, Jan lupa isi ulang koinnya buta baca mereka, yaaaa
"Kemasin semua barangmu, Brai, kita ngungsi!"Rendi yang baru saja tiba tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Ia terkejut. Bahkan, untuk sekadar bertanya pun ia tak sanggup."Aku ada uang. Nggak banyak. Mo renov rumah, biar nyaman. Jadi, kita kos dulu. Lumayan, dapet murah di tengah. Deket ama UKLAKA ples deket bengkel buat kerja."Renda mengedar pandangannya. Rumah peninggalan orang tuanya itu memang perlu diperbaiki pada beberapa bagian. Terlebih, pondasi yang tak lagi simetris akibat gempa beberapa tahun silam, membuat rumahnya sedikit miring ke kanan. Belum lagi masalah keran air yang bocor saban harinya.Mereka punya tempat tinggal, saja, sudah sebuah keberuntungan tersendiri bagi kakak beradik itu."Elu dapet cuan dari mana, Kak?"Pertanyaan Rendi membuat Ari menghentikan langkah. Dua kotak dus air mineral berisi pakaian masih berada dalam pangkuan
"Duh, kartu gue ke mana, sik?"Ari yang baru saja masuk ke kedai kopi ternama--Starbeckz--merasa tak asing dengan postur tubuh gadis di depan meja kasir. Sembari menunggu antrean, ia memerhatikannya dari bawah hingga kepala."Kak, bayar pake cash aja, deh. Berapa tadi?" tanya si gadis. Setelan serba hitam nan kasual, membuat si gadis tampak tak seperti gadis lain pada umumnya. Terlebih, ia tengah berada di area CFD.Ari masih mengernyit heran saat ia mulai mengenali suara di depannya. Lekas, ditepuknya bahu gadis berambut sepunggung dengan pelan."Tarissa?" tanya Ari saat wajah itu mampu ditatap. Lantas, ia menoleh ke sana kemari untuk mencari tiga kawannya. "Sendirian?""Iya," jawab Tarissa acuh. Ia sibuk menghitung uang tunai dalam dompet dengan aksen bunga blossom biru, keluaran merek ternama.Tanpa diminta, Ari mengeluarkan kartu kredit premium berwarna h
Ari baru saja sampai di sebuah toko material bangunan. Ia dan adiknya tengah mencoba mencari banyak hal yang dibutuhkan untuk merenovasi rumah. Dimulai dari pintu, jendela, keramik, bahkan hingga perlengkapan kamar mandi dibeli di tempat yang sama.Sementara Ari melakukan pembayaran atas barang-barang yang dibelanjakan dengan digit nominal fantastis, Rendi masih diperam tanya. Ia setengah berdiri di salah satu tiang penyangga bangunan sembari melipat tangan di dada."Elu bisa punya banyak uang dari mana, Kak?" tanya Rendi saat Ari melewatinya."Jadi simpenan tante girang! Puas kowe?!" seru Ari sembari mencebik."Kak, gue tanya beneran."Ari berhenti tepat sebelum pintu ke luar dari gedung dilewati. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. "Awakmu nggak perlu tau, Ren. Yang penting, ini uang halal. Aku nggak nyuri ato korupsi. Juga bukan hasil togelan."
"Jangan pernah lagi deketin A4! Kita beda kasta!"Ari mencebik, lalu tersenyum kambing. "Kasta? Gimana kalo tak tegesin lagi, Ra?"Lara yang masih berada di meja bar pun meraih dua gelas keluaran Riedle dan sebotol sparkling wine: Jian Pierre. "No nego!"Ari menggeleng pelan, lalu meraih rokok elektrik yang tergantung pada leher saat Lara membawa nampan ke meja. Dihisapnya vape lamat-lamat sembari memerhatikan lekuk tubuh gadis di hadapannya yang aduhai. "Mau nggak mau, kamu harus bikin aku selevel sama kalian."Dentingan bibir botol yang beradu dengan gelas seolah-olah menjadi musik latar tatapan Lara yang menusuk ke arah Ari. Senyum yang tadinya sempat terulas, lesap seketika. Diarahkannya anak rambut yang terjatuh kembali ke belakang telinga. Lantas, botol berwarna blush pink itu diletakkannya dengan penuh tenaga."Apa, sih, mau elu sebenernya?"Lara menya
Di kamar berukuran empat kali lima dengan kamar mandi dalam ruangan, Ari merebahkan badannya pada ranjang. Sembari menonton tayangan video yang diambil sendiri, ia cengar-cengir tak keruan.Betapa tidak. Ia datang ke rumah minimalis semi industrial itu hanya untuk memenuhi panggilan Lara. Namun, pria yang dikenal pecinta wanita malah mendapat satu senjata menarik di sana.Ari yang mendengar suara desahan pun langsung mengeluarkan ponselnya. Sembari merekam, ia mulai masuk dan mencari sang empunya rumah.Ruang tamu yang didominasi warna hitam dan abu dilewati Ari begitu saja. Pada koridor yang penuh aksen kayu dengan pencahayaan terang, ia mengarahkan ponselnya.Dari koridor itulah, ia melihat Lara mengenakan bikini berwarna hitam pekat. Tubuh gadis ranum itu sintal berisi hingga membuat Ari menelan ludah sendiri.Kain bikini yang basah, serta anak rambut yang meneteskan air kian
Ari mengernyit heran, lantas menarik lengan yang masih menegang ke arah Rendi. Ia menatap notifikasi pada layar ponsel."Siapa?" tanya Ari, mendongakkan dagu."Eh, nggak gue kira tadi baca notif wa masuk nyebut nama itu. Dia cewek elu?"Ari mencari celah dalam tatapan Rendi, tapi tak ditemui apa pun selain gurat wajah yang diperam tanya. "Dia bos bengkel."Mendengar jawaban Ari, Rendi tampak bernapas lega. Namun, sedetik kemudian ia membeliak. "Dia yang nabok elu pas awal kerja?"Lirikan membunuh pun langsung dilesatkan Ari. Ia yang berupaya keras melupakan kejadian itu dengan memanfaatkan sang pelaku, malah orang lain yang mengingatkannya lagi."Gue salah ngomong, dah." Rendi nyengir kuda."Pergi sono! Aku nggak minat ngerungokke awakmu! Njur loro ati!" usir Ari. Ia lantas bangkit dan menarik lengan sang adik."Tapi
"Lagi bongkar rumah, butuh jasa arsitek, Yang," tulis Ari pada salah satu aplikasi perpesanan yang dikirim pada sang kekasih.Tak butuh waktu lama, titik tiga tengah bergoyang di bawah nickname yang disemat Ari. Judesi Cantika. "Bomat!""Kenalin arsitek rumahmu, ya, Sayang," goda Ari.Sungguh, sejak ia datang bertamu, Ari tak henti-hentinya memikirkan kemolekan tubuh Lara. Terlebih, tatonya kian membuat gadis delapan belas tahun itu makin seksi tak keruan. Ponsel Ari bergetar, lantas dibukanya pesan."Oke, gue kenalin. Gantinya, elu hapus satu video."Ari yang memang tak ingin kalah hanya mencebik sembari kembali mengetik balasan. "Nggak semudah itu ngehapus video, Yang. Mending tak arsiteki sendiri. Tiduro, Cantik."Ari menyimpul senyum sebelum akhirnya memejamkan kedua mata. Diabaikannya getar ponsel yang menderu tanpa henti. Tanda seseorang tengah me
"Sendirian, Tar?" Ari mengedarkan pandang ke arah sekitar, tapi tak ditemukannya ketiga kawan seikatan."Hah? Elu ngapain di sini?" tanya Tarissa yang turut mengekori tiap pandangan salah satu karyawan di bengkel bersama Eiffor."Ini tempat umum, 'kan? Nggak ada larangan pula buat aku masuk.""Maksudku bener-bener ngapain, Ri?"Hampir saja Ari mencebik jika tak mampu menahannya barang sedetik. "Aku lagi renov rumah. Renov sendiri aku. Eh, berdua ding sama adek. Jadi beli banyak kebutuhan di sini. Lumayan ada diskon banyak. Bisa mangkas pengeluaran juga nantinya."Tarissa mengangguk, lantas maju beberapa langkah hingga berada tepat di depan meja pembayaran. Dikeluarkannya beberapa ambalan gantung dengan berbagai macam ukuran dari keranjang belanjaan."Gue di sini beli ini. Mo re-dekor kamar. Udah bosen."Ari yang tak bertanya hanya mengang