Ari sudah hampir sampai di pos penjagaan sebuah kompleks perumahaan setengah jam selepas pulang kerja. Seorang penjaga yang melihatnya turun dari kendaraan ojek online, berusaha mendekat.
"Ada perlu apa, ya?" tanyanya.
"Oh, aku temennya si Lara. Bapak itu pasti kenal. Tempo hari pernah ke sini juga soalnya."
Sang penjaga pun mengernyit heran, lantas bersiul demi memanggil partner kerjanya. Entah menggunakan bahasa apa keduanya berinteraksi, yang jelas hanya mereka berdua yang mengerti--atau mungkin semua para penjaga kompleks perumahan ini.
"Oke, masuk. Tapi, kalo boleh tau, kamu siapanya, Mas?"
Ari menyungging senyum, lantas menjawabnya pelan. "Saya montir ples ples, Pak."
Tanpa menunggu reaksi atau jawaban, Ari telah berlalu melewati sang penjaga keamanan. Ia masih ingat betul sebelah mana rumah Lara berada. Terlebih, hanya kediaman sang bos besarlah yang p
"Ya nggak gitu juga, Rii!"Ari kembali duduk sembari mendecih. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke rumah sang kekasih."Semuanya udah pada tau hubungan kita?"Lara menggeleng, lantas ia mengambil duduk di seberang Ari. "Gue nggak pernah mau ngakuin elu! Mana mungkin mereka tau!""Buktinya, Lalita tau, Ra!""Dia cuma mau mancing elu, Begok!"Dikatai sedemikian rupa oleh Lara, tak membuat Ari marah. Ia malah mencondongkan badan, mengikis jarak pada idaman banyak pria. "Kamu ... nyembunyiin sesuatu?"Lara pun tergemap sebentar, sebelum akhirnya mampu menguasai keadaan. Ia mengulas senyum pada Ari. "Eng-gak!""Lalita ngasih semua buktinya, Ra. Mana mungkin dia nggak tau.""Mungkin itu semua gegara elu yang ngedeketin Tarissa!""Aku nggak ngedeketin dia, Ra. Emang pas
"Elu ngomong aja muter-muter! Belajar lagi sono!" maki Lara. Kedua matanya telah mendelik tak keruan, sedangkan tangannya melipat di dada."Ra ..., aku suka sama Tarissa," aku Ari sembari nyengir kuda.Sontak saja, Lara mengeratkan rahang. Ini kali pertamanya marah karena hak yang tak jelas. Apalagi ini berkaitan dengan sosok yang telah lama mengganggu ketenangannya.Untuk beberapa saat, keduanya masih saling diam. Posisi mereka tak berubah meski sejengkal. Ari yang mendongak pada Lara, sedangkan gadis itu memelototi karyawannya.Lara masih susah mencerna apa yang telah dikatakan Ari. Ada debuman, hantaman, bahkan terasa seperti ledakan kecil dalam dadanya. Sadar suda terlalu lama tergemap, ia mulai berdeham. Mencoba menetralkan keadaan yang sempat canggung akibat ucapan pria tak tau diuntung."Elu beneran?"Ari enggan menjawab. Kedua matanya menatap lurus pa
Sepeninggal kepergian Ari, Lara masih menangis sesenggukan. Seluruh tubuhnya masih bergetar di sofa dudukan tiga. Ia sendiri bahkan tak menyangka, jika beginilah akhirnya.Ditatapnya selembar sticky notes legam yang bertuliskan tinta keperakan dalam genggamannya. Sudah dua jam ia berdiam diri, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi. Lara masih dipasung kebisuan, pun dalam langkah selanjutnya juga penuh keraguan.Padahal, atas inisiatif Ari sendiri, ia mengambilkan Lara laptop dari kamarnya. Pun demikian, dashboard pada kamputer jinjing itu sudah berganti dengan badan surel yang telah terbuka.Kendati demikian, Lara masih enggan untuk menghapus segalanya. Ia masih menatap tulisan yang ada namanya."Gu-e eng-gak habis pi-kir kalo e-mail dan san-dinya ada na-ma gue," ucapnya terguguk.Sesekali diliriknya layar laptop yang tertidur karena lama tak mendapat perintah. Namun, Lara p
Dalam ruangan yang didominasi warna putih gading itu tampak seorang gadis yang tengah tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Ia yang tak pernah merasa kekurangan, tiba-tiba menjerit tak keruan karena kehilangan pendengaran.Apalagi setelah kepergian pria yang membawanya ke rumah sakit, Lara makin tak terkendali. Meski atau catatan ditinggalkan oleh yang bersangkutan, ia tetap tak ingin ditinggalkan.Ada perasaan takut, cemas, dan kesepian saat ia sama sekali tak mampu mendengarkan. Untuk pertama kalinya, Lara merasa ia benar-benar sendiri meski hartanya dalam genggaman.Hari hampir menjelang pagi saat kedua mata Lara terbuka perlahan. Sayup-sayup ia mendengar dentang jarum jam. Sontak saja ia terduduk, bersila.Perlahan, ia melebarkan telapak tangannya di belakang telinga. Mencoba mendengarkan beberapa suara yang semalam ia rindukan.Lara tersenyum saat tahu, pendengarannya
"Ari! Buka pintu!"Ari melirik pada jarum jam yang menunjuk ke angka enam, saat gedoran pada pintu kamarnya makin keras."Cah gemblung!"Ari tak mau peduli, ia kembali menarik selimut tinggi-tinggi sembari memasang earphone pada masing-masing telinga. Tak dihiraukannya suara Rendi yang naik beberapa oktaf, pun dering ponsel yang terus menyalak."Ari! Gue mau tanya banyak hal! Buka pintunya!"Ari kembali membuka mata, menatap langit-langit kamar sembari mengumpulkan niat untuk sekadar menerima tamu. Ditatapnya Lara yang masih tertidur pulas di sampingnya."Terus, aku kudu piye iki, Ra?" tanya Ari sembari menekuri tiap lekuk wajah Lara.Bulu mata Lara yang lentik seolah-olah tengah memanggil Ari untuk mendekat. Pun bibir Lara yang penuh terisi meski masih terlihat pucat pasi, seakan-akan punya magnet tersendiri hingga mampu membuat Ari memu
Rendi mengernyit heran pada sang kakak yang terlihat salah tingkah. Wajah penuh pesonanya hilang bersama Winaya yang runtuh seketika."Elu bawa pacar elu tidur di mari?" tanya Rendi tepat sasaran. Suaranya sudah naik dua oktaf.Terkejut dengan sebuah teriakan, Lara yang berada di balik barikade bantal guling membuka mata cepat. Ia mencoba mendengar dan bergerak perlahan."Iya! Udahlah nggak usah dipermasalahin! Nggak usah repot-repot juga ngeliat siapa dia," ujar Ari sembari kembali beranjak dari sofa. Kedua tangannya melipat di dada seakan-akan membentuk pertahanan kedua.Rendi berdecak kesal, lantas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tau gitu nggak gue ganggu.""Nah, tuh, tau."Rendi pun nyengir kuda, lantas menatap sang kakak penuh tanda tanya. "Kalian lagi skidipapan pas gue gedor, ya?"Sontak saja wajah Ari memerah. Dengan canggung
"Awakmu gendeng, aa?"(Kamu gila, kah?)Pertanyaan Ari dengan suara lantang tak membuat Lara mengurungkan niat. Sebaliknya, ia malah tampak bersikeras dengan menunjukkan seringainya."Segila elu pada awalnya, 'kan?"Ari memijat pelipisnya berulang sembari mondar-mandir, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Jadi, ini bentuk balas dendammu?"Lara mulai bangkit, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia tak menghiraukan tatapan Ari yang mulai menggelap bersamaan saat kemeja yang dilucutinya perlahan. Sembari mendendangkan lagu, ia membasahi tubuh tanpa ragu.Sementara itu, Ari yang berada di ranjang makin tak keruan. Ia merutuki kebodohannya sendiri pagi buta tadi."Ha ... lo?" sapa Ari. Matanya berat untuk sekadar membaca nama yang menghubungi."Ri?"Mendengar suara yang dikenalnya tengah menahan isak, jelas Ari membuka
Disembur sedemikian rupa oleh Ari, tentu saja membuat Lara geram. Namun, tak ada emosi yang kini hadir dalam hatinya. Sebaliknya, ia malah tersenyum kuda."So-sorry, Ra. Ta-tapi maksudmu, kamu bener-bener nabrak Rendi?" tanya Ari antusias.Lara terdiam. Dinikmatinya ekspresi lawan bicaranya yang tersiksa, sedangkan Ari yang tak lagi sabar menunggu jawaban pun hendak beranjak pergi."Mau ke mana?""Masih tanya? Ya, jelas mau liat kondisi adekku, lah!"Langkah Ari hampir sampai di daun pintu saat Lara menyilangkan kaki sembari berkata, "Gue yang ditolong Rendi, Ri. Elu buta atau pura-pura nggak sadar? Gue yang pake baju orang pesakitan, kok!"Ari yang bergeming tepat saat tangannya memegang kenop pintu, lantas membalik badan sembari melipat tangan di dada. Ia kembali mendekat dan duduk berhadapan dengan Lara di ranjang. "Terus, ngapain koe ke sini?"&nbs