Share

Kecelakaan Fatal

Beberapa waktu kemudian, orang yang berada di bangku kemudi langsung dikeluarkan dari mobil setelah melewati proses evakuasi yang cukup sulit.

Dan orang itu bernama Arvy Ergon Wilson. Vanilla mengetahuinya setelah petugas medis melihat tanda pengenalnya. Tubuhnya di angkat ke ambulans dan Vanilla ikut menemani di sebelahnya sampai tiba di rumah sakit.

Takdir mempertemukan Vanilla dengan kejadian yang tak terduga ini, membuatnya menyadari bahwa malam itu membawa dua peristiwa pahit yang mendalam ke dalam hidupnya.

Dalam tangisannya, dia memahami betapa rapuhnya kehidupan, di mana sebuah malam bisa merubah segalanya.

*

*

Seorang wanita muda tampak mengangkat telepon dari sang ibu di saat dirinya masih berada di villa untuk berbulan madu.

Ya, wanita itu tak lain adalah adik dari Arvy yang berprofesi sebagai seorang dokter di Spanyol, dan kebetulan kini dia sedang menjalani momen bulan madunya di kota asalnya.

Glow dan Blaze, suaminya, sudah seminggu berada di vila dan masih belum berniat kembali ke Spanyol.

Rencananya mereka akan kembali sebulan kemudian karena Blaze akan mengajak Glow berkeliling ke beberapa negara sebelum mereka kembali ke Spanyol.

“Halo, Mom,” sahut Glow sembari meminum airnya karena ia baru saja melakukan olahraga di ruangan gym bersama Blaze.

“Kakakmu kecelakaan. Bisakah kau pulang ke sini sebentar? Lukanya sangat parah." Suara Izzy—ibu Arvy, yang terdengar bergetar karena panik dan takut.

“Apa? Bagaimana bisa?” Glow terkejut dan kakinya langsung lemas mendengar berita buruk itu.

“Cepatlah kemari. Mommy butuh dirimu." Izzy berusaha menahan tangisnya.

“Oke, Mom. Aku akan segera ke sana,” jawab Glow dan panggilan telepon mereka pun berakhir.

Glow segera memberitahu sang suami tentang keadaan Arvy yang kini terbaring kritis di rumah sakit akibat kecelakaan.

Mereka berdua pun bergegas pergi ke rumah sakit di mana Arvy kini sedang dirawat.

*

*

Vanilla melangkah mondar mandir dengan gelisah di depan pintu ruang operasi, rambutnya yang kusut dan penampilannya yang terabaikan menjadi sekadar detail tak berarti.

Semua perhatiannya tercurah pada keadaan Arvy yang kini tengah berjuang di ruangan tersebut.

Ketegangan terbaca di wajah Vanilla, yang tak lagi memedulikan dirinya. Pikirannya hanya terisi oleh rasa khawatir akan keadaan Arvy saat ini.

Ia merenung, teringat betul bagaimana dia menjadi penyebab kecelakaan tersebut. Tangisnya, meski tak terucap, menjadi bahasa rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Mata Vanilla masih penuh dengan gambaran luka parah yang dialami Arvy tadi. Setiap detik terasa seperti sebuah detik yang tak pasti, di mana hidup Arvy bergantung pada para dokter di dalam ruangan operasi tersebut.

Vanilla hanya bisa berharap, berdoa, dan merenung tentang kesalahan yang membawa mereka pada momen pahit ini.

Di depan pintu ruang operasi, kehidupan dan kesalahan berdansa berbarengan di dalam benak Vanilla, menciptakan kerumunan pikiran yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Lalu Vanilla melihat sepasang suami istri yang tampak baru datang dengan wajah paniknya. Mereka menanyakan keadaan Arvy kepada salah satu perawat yang ada di sekitar sana, dan Vanilla mendengar percakapan mereka.

Vanilla berpikir, itu pasti orang tua Arvy dan dia sangat merasa bersalah dengan hal ini. Dengan beran, dia pun mendatangi kedua orang tua Arvy dan meminta maaf pada mereka.

“A-aku minta maaf atas apa yang terjadi pada putra kalian. Aku benar-benar minta maaf karena aku lah yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi." Vanilla kemudian berlutut di depan Izzy—ibu Arvy.

Sebagai manusia biasa, Izzy tentu saja memiliki rasa marah pada orang yang menjadi penyebab sang putra mengalami kecelakaan.

Tapi apa mau dikata jika ini sudah menjadi takdir buruk Arvy. Izzy tak mengatakan apa pun dan Aiden lah yang bereaksi dengan apa yang dilakukan oleh Vanilla kini.

“Bangunlah, karena ini tak mengubah apa pun dan setidaknya kau sudah bertanggung jawab untuk menemaninya sampai ke rumah sakit." Aiden menarik pelan lengan Vanilla agar wanita itu berdiri.

Vanilla kemudian kembali berdiri dan menunduk minta maaf berkali-kali.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Izzy akhirnya.

“Dia masih dioperasi. Aku yang menandatangani berkasnya tadi. Maaf, jika ini begitu lancang bagi kalian, tapi aku tak punya pilihan karena dokter mengatakan dia harus cepat dioperasi. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang terjadi putra kalian." Mata Vanilla terlihat penuh tekad untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya.

“Kami tak akan meminta ganti rugi apa pun,” sahut Aiden, ayah Arvy.

Vanilla cukup terkejut dengan reaksi orang tua Arvy yang sama sekali tak menuntutnya apa pun dan menganggap ini semua adalah takdir serta sebuah musibah yang bisa terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja.

“Apa yang harus kulakukan untuk mempertangung jawabkan semua ini? Aku tetap tak akan tenang jika kalian melepaskanku begitu saja." Raut wajah wanita itu sangat menyiratkan rasa bersalahnya yang mendalam.

“Rawatlah dia jika dia sudah sadar karena sepertinya dia harus mendapatkan perawatan ekstra meskipun sebenarnya kami bisa menyiapkan tenaga perawat untuk putra kami. Namun, kami tak memaksa jika kau tak mau,” jawab Aiden memutuskan.

“Baiklah, itu lebih baik dari pada aku harus lari dari tanggung jawab ini. Terima kasih banyak dan sekali lagi maafkan aku." Vanilla menjawab dengan yakin dan kembali menunduk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status