Dalam redupnya cahaya lampu di ruang kerjanya, Vanilla Baker terus menggebu-gebu mengetik di laptopnya.
Walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, semangat kerjanya belum padam. Wajahnya yang penuh dedikasi terpancar meski lelah mulai menghampiri. Raut wajah Vanilla mencerminkan ketekunan seorang profesional yang berkomitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Pekik ketidakpuasan dari jam dinding tak mampu menghentikan langkahnya. Setumpuk dokumen berserakan di sekitarnya, namun dia tak gentar. Malam ini adalah batas waktu yang harus dihormati untuk menyelesaikan tugasnya. Ponselnya berdering, mengingatkannya tentang waktu yang terus berlalu. Vanilla mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalanan melibatkan pikirannya dalam setiap kata yang dituliskannya. Besok adalah meeting penting dengan atasan dan petinggi perusahaan. Kepuasan dan prestasinya menjadi taruhannya. Meski lelah, Vanilla terus menari dengan jari-jarinya di atas keyboard, menciptakan sebuah karya yang akan membuktikan keunggulannya. Semangatnya tak tergoyahkan, karena dia tahu betapa pentingnya momen ini dalam karirnya. Vanilla Baker, wanita pekerja keras yang rela bergelut di tengah malam demi kesuksesan dan penghargaan dalam dunia korporat. Dari sudut ruangan yang hening, Vanilla Baker tenggelam dalam dunianya yang penuh tugas dan tanggung jawab. Hanya getaran kecil dari langkahnya yang terdengar di lantai kantor yang sunyi. Sebuah pemandangan yang biasa terjadi di malam hari, namun kali ini ada satu pengecualian yaitu seorang pria di ruangan sebelah yang diam-diam memperhatikan Vanilla. Pria itu adalah Herson, seorang pegawai di Divisi Marketing, telah lama menyimpan perasaan terhadap Vanilla. Namun, sejauh ini, Vanilla belum pernah memberi respon atau menanggapi ketertarikannya. Vanilla memilih untuk fokus pada pekerjaannya, tanpa membiarkan hal-hal pribadi merintangi jalannya. Herson, dengan hati yang penuh keberanian, mengambil langkah melintasi ambang pintu kaca ruangan Vanilla. Suasana menjadi tegang saat dia masuk, tetapi Vanilla masih asyik dengan laptopnya tanpa menyadari kehadirannya. Pria itu berdiri di ambang pintu, mencermati Vanilla tanpa suara. Sementara Vanilla, tanpa tahu apa-apa, terus bekerja, tidak menyadari bahwa perlahan, ada seseorang yang mencoba mengubah arah jalannya. Namun, pada malam itu, meskipun Herson berdiri di ambang ruangan Vanilla, kata-kata tak terucapkan. Keheningan kantor menjadi saksi bisu dari kisah yang akan berkembang di balik pintu-pintu kaca itu. Lalu perlahan, pria itu membuka pintu kaca ruangan Vanilla. Vanilla yang terlalu sibuk, tak mendengar kehadiran pria bernama Herson itu. “Ada yang bisa kubantu?” Herson yang sudah ada di depan meja Vanilla membuat wanita itu sangat terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. “A-apa yang kau lakukan di sini?” Vanilla gugup karena jujur dia merasa tak nyaman jika hanya berdua saja di ruangan itu dengan Herson. “Aku juga lembur. Dan aku menawarkan pertolongan untukmu. Apakah itu mengganggmu?” Herson tersenyum miring. “Aku akan selesai sebentar lagi. Terima kasih atas tawarannya." Vanilla tampaknya mengusir Herson secara halus. “Mengapa kau selalu menghindariku, Vanilla? Itu sangat menyakitkan untukku karena kau melihatku seperti penyakit yang tak ingin kau dekati." Mata Herson mulai memandangnya tajam Vanilla beranjak berdiri dan segera membereskan berkasnya. Ia merasa perasaannya tak nyaman dan dia ingin segera pergi dari sana. Dalam ruangan yang semula sunyi, langkah Herson menyisakan jejak keberanian di tengah ketidaknyamanan Vanilla. Langkahnya semakin lama semakin dekat dengan meja Vanilla. Meja kerja Vanilla, yang sebelumnya dipenuhi kekacauan pekerjaan, kini menjadi panggung ketegangan antara keduanya. Vanilla mencoba menyingkirkan Herson dengan sopan, mencerminkan rasa tidak nyaman yang tak terucapkan. Herson, bagaimanapun, tidak berhenti. Ia mulai mengungkapkan perasaannya, merinci betapa menyakitkannya rasa diabaikan oleh Vanilla. Namun, suasana berubah tiba-tiba. Herson, yang semula merayu dengan kata-kata, tiba-tiba berubah menjadi ancaman. "Apa yang kau lakukan?" bentak Vanilla ketika Herson mulai memagang lengannya. Vanilla, tak terima dengan sentuhan kasar itu, berusaha membebaskan diri. BRAK!! Suara keras itu memecah hening ruangan ketika tubuh Vanilla menghantam meja, dan kekacauan pun tercipta. Vanilla, tak menyerah pada ketakutan, berjuang melawan serangan Herson. Barang-barang di sekitarnya menjadi senjatanya. Suara teriakan minta tolong terdengar, menciptakan ketegangan di dalam lorong kantor yang sepi. Ketakutan semakin meluas saat Vanilla berhasil menyebabkan luka pada kepala Herson ketika wanita itu memukulnya dengan sebuah benda dari mejanya. Darah bercucuran, mengubah suasana dari ketegangan menjadi kekacauan. Melihat pelarian sebagai satu-satunya jalan, Vanilla melarikan diri ke lift, berharap bisa menghindari ancaman lebih lanjut. Pintu lift terbuka, memberikan sedikit nafas lega. Vanilla segera memasuki lift dan menutup pintunya, meninggalkan Herson yang berusaha mengejar. Di tengah ketegangan, Vanilla teringat akan keberadaan CCTV, mencoba menakut-nakuti Herson agar menghentikan kejarannya. Lift turun, memberikan kesempatan Vanilla untuk keluar dari situasi yang mencekam. Namun, ketakutan yang melingkupi dirinya membuatnya tak waspada. Saat berlari keluar dari gedung, kecelakaan hampir saja menghantamnya. Hidupnya seperti sedang melewati layar mata dalam sekejap, ketika mobil melintas dan membanting setirnya akibat kemunculan Vanilla yang begitu tiba-tiba. BRAK Suara keras itu kembali terdengar, kali ini dari benturan mobil ke sebuah hidran air besi berwarna merah yang ada di pinggir jalan. Mobil itu hancur di bagian depannya karena benturannya sangat keras, dan Vanilla terduduk lemas, memandang kejadian tragis yang berlangsung di hadapannya. Lalu Vanilla menangis sejadi-jadinya karena dua kejadian buruk menimpanya dalam satu waktu yang sama.Beberapa waktu kemudian, orang yang berada di bangku kemudi langsung dikeluarkan dari mobil setelah melewati proses evakuasi yang cukup sulit. Dan orang itu bernama Arvy Ergon Wilson. Vanilla mengetahuinya setelah petugas medis melihat tanda pengenalnya. Tubuhnya di angkat ke ambulans dan Vanilla ikut menemani di sebelahnya sampai tiba di rumah sakit. Takdir mempertemukan Vanilla dengan kejadian yang tak terduga ini, membuatnya menyadari bahwa malam itu membawa dua peristiwa pahit yang mendalam ke dalam hidupnya. Dalam tangisannya, dia memahami betapa rapuhnya kehidupan, di mana sebuah malam bisa merubah segalanya. * * Seorang wanita muda tampak mengangkat telepon dari sang ibu di saat dirinya masih berada di villa untuk berbulan madu. Ya, wanita itu tak lain adalah adik dari Arvy yang berprofesi sebagai seorang dokter di Spanyol, dan kebetulan kini dia sedang menjalani momen bulan madunya di kota asalnya. Glow dan Blaze, suaminya, sudah seminggu berada di vila dan ma
Operasi sudah berlangsung beberapa jam dan membuat ketiga orang yang menunggunya di luar tampak makin panik karena operasi tak kunjung selesai. Tak berapa lama, Glow — adik Arvy— pun datang bersama sang suami — Blaze. "Apa kata Dokter, Mom?" Wajah Glow terlihat khawatir. "Arvy masih dioperasi," jawab Izzy yang kemudian memeluk Glow. "Tenanglah, tak akan terjadi apa-apa pada kakak. Dia sangat kuat, Mom.” Glow berusaha menguatkan sang Mommy. Lalu Blaze melihat ke arah Vanilla. "Siapa kau?" Hal itu membuat Glow menoleh juga pada Vanilla. Vanilla tampak kembali merasa bersalah lagi atas hal ini. Kemudian Izzi menceritakan kejadiannya dan apa yang membuat Vanilla berada di sini. Glow mendekati Vanilla yang tampak masih ketakutan dan gemetar. "Hei, tak apa-apa. Ini adalah kecelakaan dan takdir. Berdoa saja kakakku baik-baik saja.” Glow memegang tangan Vanilla yang gemetar. Vanilla melihat ke arah Glow dan meminta maaf padanya dengan menahan tangisnya. Glow tak menyalahkan Vanilla u
Arvy tampak terdiam dan Izzy menggenggam tangannya dengan erat sembari terus menguatkannya. “Jangan khawatir. Kau masih akan bisa melihat, Arvy. Percayalah pada Mommy.” Izzy menenangkan suasana hati Arvy yang begitu buruk saat ini. Arvy tak menjawab apa pun dan Vanilla tak berani bersuara sedikit pun. Glow menyarankan agar untuk sementara mereka tak bicara soal Vanilla pada Arvy sampai suasana hati sang kakak membaik mengingat Arvy cukup emosional. “Aku ingin sendirian dan segera keluar dari sini.” Arvy terlihat begitu frustasi dan sikapnya sangat dingin. Glow mulai mendekati Arvy. “Kakak harus dirawat di sini sampai kondisi kepala kakak membaik.” “Aku ingin pulang dan dokter bisa datang ke mansionku!” bentak Arvy. “Hei, jangan membentak istriku!” Blaze iku marah ketika sang istri dibentak seperti itu. Glow mencubit tangan Blaze agar diam dan tak bicara sembarangan pada Arvy. “Dia tetap saja menyebalkan,” bisik Blaze. “Honey, diamlah!” Glow berbisik sambil membelalakkan matany
Setelah cukup lama membujuk Arvy, Izzy pun akhirnya pulang dan meninggalkan Vanilla di sana. Arvy masih bersikap buruk pada Vanilla karena dia menganggap Vanilla seakan memiliki tujuan tertentu dengan memaksa tinggal di sana meskipun Arvy tak mempermasalahkan lagi tentang kecelakaan itu. "Kau ingin makan di sini atau di ruang makan?" Vanilla bertanya dengan suara halusnya yang tenang. Arvy tak menjawab dan hanya duduk di depan pintu balkon yang terbuka. "Baiklah, aku akan ambilkan makananmu ke sini saja," kata Vanilla lagi. Arvy tetap diam dan dia sangat muak mendengar suara Vanilla. Lalu Vanilla keluar dari kamar dan menuju ruang makan. "Sialan!!" umpat Arvy kesal. Tak lama kemudian, Vanilla kembali ke kamar Arvy dengan membawa nampan berisi makanan dan jus buah. Vanilla meletakkan makanan itu di meja yang ada di depan Arvy. "Aku akan menyuapimu.” Vanilla mulai menyendokkan sup lalu mengarahkannya ke mulut Arvy. Arvy yang melihat bayangan itu, langsung menepis tangan Vanil
Seminggu berlalu dan tiap hari Marcel mengunjungi Arvy di mansionnya. Sebenarnya Marcel tinggal di Eropa sekarang dan selama dia berada di Amerika, dia sebisa mungkin mengunjungi Arvy.Tapi di balik itu, ternyata Marcel tertarik pada Vanilla dan mereka akan mengobrol beberapa menit di beranda depan sebelum Marcel pergi dari mansion.Ya, selama itu pula Vanilla mulai mengenal sosok Marcel yang menurutnya sangat baik dan sama sekali tak sombong meskipun kini dia adalah seorang CEO sebuah perusahaan ternama di Eropa.Hingga suatu saat, Arvy mengetahui hal itu dan membuat dirinya begitu kesal pada Vanilla. Dia menganggap Vanilla sengaja menggoda Marcel yang tiap hari mengunjunginya.Kala itu ponsel Marcel tertinggal di sofa dan Arvy mengambil dan menyimpannya dan pelayan yang ada di dekat sana mengatakan sesuatu padanya bahwa Marcel masih ada di depan halaman mansion."Kalau begitu aku yang akan memberikannya pada Tuan Marcel, Tuan," kata Pelayan."Besok saja, dia pasti sudah pulang.” "T
Arvy tertawa getir mendengar hal itu."Kau memilih wanita itu daripada persahabatan kita, Marcel? Oh my God ... Wanita ini benar-benar racun.”"Arvy!!" bentak Marcel."STOP!! Marcel pulanglah karena aku tak akan ke mana-mana. Aku akan selalu di sini.” Vanilla tak ingin ini menjadi semakin rumit dan membuat kemarahan Arvy semakin menjadi."Kau tak diperlakukan baik olehnya, Vanilla. Lalu mengapa kau bertahan di sini? Aku memang sahabatnya, tapi aku tak akan mendukungnya jika dia berlaku kasar padamu atau siapa pun tanpa alasan yang jelas," sahut Marcel dengan logikanya.Lalu Arvy kembali berjalan dan meninggalkan mereka berdua.Vanilla masih mengikutinya di samping meskipun sudah dibujuk oleh Marcel."Aku kecewa padamu, Arvy. Ini bukan Arvy yang kukenal.” Marcel tak suka melihat kekasaran Arvy pada Vanilla."Marcel, please, pulanglah. Jangan membuatnya semakin rumit. Aku mohon.” Vanilla memohon dengan suara lirih dan pandangan yang takut.Marcel tak bisa melakukan apa pun karena Vanill
Setelah menata baju dan barang, Vanilla menuju ke arah dapur dan dia lupa bahwa satu pelayannya belum tiba untuk mengantarkan bahan makanannya.Vanilla kemudian menunggu pelayan di depan pintu depan Villa dan tak lama kemudian pria tua itu pun datang.“Thank God,” gumam Vanilla karena pria itu datang tepat waktu.Vanilla harus cepat memasak karena jam makan Arvy akan tiba setengah jam lagi. Vanilla akan memasak makanan sederhana namun tetap lezat dan enak karena Arvy pasti akan mencari celah salah dari Vanilla lagi.*Setengah jam kemudian, Vanilla menghidangkan makanan di meja makan yang terhubung dengan balkon.“Makanan sudah siap.” Vanilla memberitahu Arvy yang tampaknya sedang mendengarkan berita dari ponselnya.“Di mana Pelayan?” tanya Arvy.“Tak ada Pelayan di sini dan hanya aku saja yang akan melayanimu,” papar Vanilla.“Siapa kau berani mengatur di villaku?” Arvy mulai marah dan tak suka dengan apa yang diputuskan oleh Vanilla tanpa sepengetahuannya.Vanilla tak menjawab apa
Malam pun menjelang, setelah makan malam Arvy tetap akan duduk di depan balkon. Karena angin mulai sedikit dingin, Vanilla mengambil selimut dan memasangkannya ke tubuh Arvy. Tapi sayang Arvy membuang selimut itu dan memilih kembali ke dalam villa lalu menuju dapur. Vanilla tetap mengikutinya dari belakang.Karena meraba-raba beberapa lemari, akhirnya Vanilla menawarkan bantuannya untuk mencari barang yang dicari oleh Arvy.“Kau ingin mencari apa? Aku akan mengambilkannya.” Vanilla menawarkan bantuannya.Arvy tak menjawab lalu dia berjongkok dan membuka pintu lemari bawah. Pria itu meraba ke dalamnya dan mengambil satu botol wine.“Kau sedang mengkonsumsi obat rutin, jadi lebih baik tak minum wine dulu. Itu tak baik untuk kesehatanmu,” kata Vanilla mengingatkan.“Obat itu tak akan membuat mataku kembali melihat, bukan? Diamlah dan jangan campuri urusanku.” Arvy tak peduli, lalu membuka botol wine itu dan berjalan lagi ke arah balkon.“Dokter bilang, ini hanya keadaan sementara karen