BAB 119 Dokter Ardian hanya bisa mendesah pelan. Mau mengejar juga tidak bisa karena ia belum membayar dan belum menghabiskan makanannya. “Istri kamu kenapa, Yan?” tanya Dokter Anisa sembari melihat Citra yang tengah menyeberang di tengah jalan raya. “Nggak apa-apa. Ibunya kan sedang sakit. Wajar aja dia khawatir,” balas Dokter Ardian lalu kembali melanjutkan aktivitas makannya. “Yan, anakmu sudah berapa?” tanya Dokter Anisa. Entah kenapa ketika bertemu dengan Dokter Ardian hari ini, tiba-tiba ia ingin tahu banyak tentang Dokter Ardian. “Masih satu. Masih umur sembilan bulan,” jawab Dokter Ardian dengan santai. “Yang benar? Hebat dong istrimu. Masih muda, habis melahirkan sudah bisa selangsing itu,” sahut Dokter Anisa takjub. “Mm … jadi sebenarnya gini. Citra itu istri kedua aku. Aku baru nikah sama dia belum ada satu bulan. Istri pertama aku meninggal saat melahirkan anakku. Jadi, Citra ini belum pernah hamil ataupun melahirkan. Makanya badannya masih langsing,” papar Dokter Ar
BAB 121 “Enggak!” sahut Citra singkat. “Terus kenapa dari tadi cemberut, marah, sewot? Capek? Sini aku pijitin,” ujar Dokter Ardian. Tangannya pun pindah ke bahu Citra dan sedikit menekannya. Citra menggoyang-goyangkan bahunya karena merasa sangat sakit pada bahunya. “Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa,” tolak Citra hendak pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya sebelum tidur. “Mau ke mana?” tanya Dokter Ardian seraya menarik tangan Citra supaya tidak pergi. “Ke kamar mandi,” jawab Citra singkat. “Cit, kamu kok menghindari aku terus-terusan sih? Padahal aku datang dari jauh-jauh. Bukannya disambut, malah dicuekin kayak gini,” gerutu Dokter Ardian mulai kesal lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Citra tidak menggubris-nya. Ia pun segera keluar dari dalam kamar dan pergi ke kamar mandi karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Usai itu ia bingung harus kembali ke kamar atau tidur di ruang tengah. Ia duduk di ruang tengah beberapa saat, tapi tiba-tib
BAB 123 “Selamat pagi, Dokter Ardian …,” sapa Dokter Herlina dengan tersenyum dan membawa bekal di tangannya. “Pagi, Dok,” sahut Dokter Ardian sopan dengan menundukkan kepalanya. “Tumben bawa bekal? Jadi sia-sia dong bekal yang saya bawa,” ujar Dokter Herlina dengan cemberut manja. “Nggak sia-sia kok. Bekal itu bisa Dokter Herlina berikan ke bidan atau perawat yang membantu Dokter di ruang poli. Saya duluan ya,” pamit Dokter Ardian lalu pergi meninggalkan Dokter Herlina yang semakin memajukan bibirnya. Sesampainya di ruang poli kandungan, tiba-tiba ponsel Dokter Ardian berdering. Dengan segera Dokter Ardian merogoh saku kemeja-nya untuk melihat siapa yang menelepon-nya. Tampaklah nama “Mama” pada layar ponsel itu. “Iya, Ma?” ucap Dokter Ardian setelah menggeser tombol hijau pada layar ponsel-nya. “Katanya kemarin kamu mau menjemput Nizam. Dari kemarin Mama tungguin loh. Barang-barangnya juga sudah Mama kemasi, tapi kamu nggak datang-datang. Jadi, Mama bongkar lagi barang-barangn
BAB 125 Setelah menikmati dan menghabiskan bakso bersama, Citra membuka kardus ponsel baru itu dan segera mencobanya. “Buk, agak deketan dikit wajahnya. Ayo kita sel-fie …,” ucap Citra seraya mendekatkan wajahnya ke arah Bu Ratna. Dan tidak lama kemudian terdengar bunyi “Cekrek-cekrek-cekrek”. “Aduh, Cit …, kamu ini apaan sih? Ibuk sampai kaget,” ujar Bu Ratna seraya menempelkan telapak tangan di depan dadanya. Ia memang jarang berfoto, apalagi foto selfie. “Hihihi. Maaf, Buk. Citra lagi mencoba kamera-nya. Bagus ternyata. Ibuk jadi kelihatan lebih muda dan cantik,” puji Citra sambil melihat-lihat hasil jepretan-nya. “Ah, kamu bisa aja,” sahut Bu Ratna tersipu malu. “Oh iya, Buk. Ini sudah ada kartu sim-nya. Internetnya juga sudah aktif. Jadi, Ibuk dan Citra nanti bisa video call dan saling kirim foto. Gini caranya, Buk …,” ucap Citra seraya menjelaskan bagaimana cara mengirim foto lewat aplikasi hijau. Bu Ratna mengamati dengan seksama bagaimana caranya mengirim foto lewat apli
BAB 127 “Kok nggak ada? Apa sudah pulang ya?” gumam Citra lalu masuk kembali dan menutup pintu rumahnya. Kemudian ia masuk ke ruang tengah dan membuka buah tangan dari Bagus tadi yang ia taruh di atas meja ruang tengah. Ia masih ingat kalau Bagus membawakan martabak. Ia mengeluarkan martabak itu lalu membukanya. Bau telur yang gurih dan sedap pun menguar ke seluruh ruangan. Kemudian ia berdiri untuk memanggil Ibunya. “Buk …,” panggil Citra seraya mengetuk pintu kamar Bu Ratna. “Iya, Cit?” sahut Bu Ratna dari dalam kamar lalu membuka pintu kamarnya. “Ayo kita makan martabak dari Bagus mumpung masih hangat, Buk,” ajak Citra seraya menarik tangan Bu Ratna untuk duduk di kursi ruang tengah. “Suami kamu?” tanya Bu Ratna merasa tidak enak. “Iya. Nanti Citra ambilkan di piring,” jawab Citra seraya pergi ke dapur untuk mengambil piring. Setelah itu ia mengambilkan beberapa potong martabak dan menaruhnya di atas piring. Kemudian ia membawanya masuk ke dalam kamar. “Nih, ada martabak,
BAB 129 “Iya, ini aku, Yu. Dan ini suamiku,” sahut Citra lalu menoleh pada Dokter Ardian. “Ayo masuk dulu, Mbak. Kita ngobrol di dalam,” ucap Ayu seraya menarik tangan Citra. Citra dan Dokter Ardian pun masuk ke dalam rumah Ayu. “Bentar, ya. Aku buatkan minum,” ucap Ayu setelah Citra dan Dokter Ardian duduk di kursi ruang tamu. Citra menahan Ayu agar tidak pergi dengan menarik tangannya. “Nggak usah repot-repot, Yu. Aku ke sini mau ajak kamu tinggal di rumah Ibuk. Ibuk kan habis jatuh dan sakit. Aku mau minta tolong, kamu jaga Ibuk, ya. Nanti aku kasih uang jajan deh,” ujar Citra. “Loh, Bu De sakit? Kok nggak ada yang kasih tahu Ayu,” sahut Ayu terkejut. “Sekarang sudah mendingan kok, Yu. Makanya Aku mau minta tolong kamu jagain Ibuk karena aku mau pulang ke kota,” balas Citra. “Siap, Mbak!” sahut Ayu dengan antusias. “Segera kemasi pakaian kamu. Mbak tunggu di sini,” ujar Citra dengan tidak sabar. “Mbak Citra pulang saja dulu. Nanti Ayu ke sana bawa motor,” balas Ayu. “Ya s
BAB 131 “Untuk kali ini, kamu tenang saja. Aku janji akan membantu persalinan kamu dengan tanganku sendiri. Bahkan bila perlu, kalau kamu mau SC juga nggak apa-apa. Aku akan temani kamu. Aku sudah nggak mau menikah lagi, Cit. Apalagi tanpa … cinta,” imbuh Dokter Ardian. Mendengar kata-kata menikah tanpa cinta, Citra pun kini terdiam. Jari-jarinya mengepal kuat pada tempat duduknya dan bibirnya pun semakin mengerucut ke depan. Hanya mendengkus yang bisa ia lakukan saat ini. Ia memalingkan muka ke arah lain, melihat lampu warna warni yang menyala di area pasar malam. “Jangan salah paham dulu. Menikah tanpa cinta bukan berarti aku tidak mencintai kamu loh, Cit. Aku tidak tahu ini perasaan apa. Yang jelas aku senang kamu di dekatku dan menjadi pasangan hidupku sekarang,” imbuh Dokter Ardian ketika melihat Citra memasang muka masam. “Hmm,” balas Citra singkat. Namun, ia tetap enggan menatap Dokter Ardian. Dokter Ardian menghela napas panjang dan dalam lalu mengembuskan-nya dengan pelan
BAB 133 “Nggak usah,” cegah Dokter Ardian sembari menarik tangan Citra hingga Citra terduduk di atas pangkuannya. Kemudian ia mengunci Citra dengan melingkarkan tangan kirinya di pinggang sang istri. “Buat apa pakai sendok dua kalau makanannya cuma satu,” bisik Dokter Ardian di telinga Citra. Citra merasakan udara hangat yang keluar dari bibir Dokter Ardian menyapu permukaan daun telinganya, dan itu membuatnya geli. Ia pun menggelinjang di atas pangkuan Dokter Ardian. “Jangan bergerak. Nanti ada yang bangun,” bisik Dokter Ardian lagi, menggoda di telinga Citra. Seketika wajah Citra pun terasa memanas saat mendengarnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang mendadak keras di bawah bokong-nya. Wajahnya pun tiba-tiba bersemu merah karena malu sendiri. Ia ingin bangkit dan duduk sendiri di kursi lain, tapi Dokter Ardian menahannya dengan memperkuat tangannya yang melingkar di pinggang Citra. “Mas, aku mau duduk sendiri,” pinta Citra dengan tetap berusaha berdiri dari pangkuan Dokter A