BAB 67 POV Citra Sore ini sudah beberapa kali aku memandangi jam, baik yang tergantung di dinding maupun yang ada di layar ponsel-ku. Semakin sore, jantung-ku semakin berdegup kencang. Aku yakin, sebentar lagi Dokter Ardian atau tepatnya suamiku itu akan segera pulang. Namun, aku sangat berharap semoga dia pulang larut malam seperti kemarin malam. Semenjak membaca buku yang diberikannya tadi pagi, aku jadi membayangkan yang tidak-tidak. Sudah pukul setengah lima sore. Aku turun ke lantai bawah dengan menggendong Nizam di dadaku setelah mandi dan memandikan Nizam. Kulihat Mbak Mirna sudah bersiap-siap untuk pulang. “Mbak, mau pulang?” tanyaku seraya berjalan menghampirinya. “Iya, Mbak,” jawabnya singkat. “Nggak menginap di sini saja, Mbak?” tanyaku, tapi lebih tepatnya meminta supaya dia menginap di sini malam ini. “Nggak, Mbak. Sebentar lagi Herman akan datang. Aku ke depan dulu, ya,” pamit-nya lalu pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Karena tidak ada k
BAB 69 “Cit, biar Nizam tidur sama Ibuk saja ya,” ujar Bu Ratna karena Nizam sudah tidur di gendongannya. “Loh kenapa, Buk?” tanya Citra. “Kamar kamu kan sempit, nanti nggak bisa gerak. Lagian Ibuk kan tidur sendiri. Nggak apa-apa kan kalau Nizam tidur sama Ibuk?” tanya Bu Ratna seraya menatap Dokter Ardian. “Iya, Buk. Nggak apa-apa,” balas Dokter Ardian dengan tersenyum. Bu Ratna pun mengajak Nizam masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Citra masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkannya sebentar. “Mas, kalau capek, istirahat saja. Kamarnya sudah saya bersihkan,” ucap Citra pada Dokter Adrian. Dokter Ardian pun mengangguk lalu masuk ke dalam kamar Citra. Setelah Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya, Citra pergi ke kamar Bu Ratna. “Buk, Citra mau bicara sebentar,” ucap Citra dengan setengah berbisik. “Ada apa, Cit?” tanya Bu Ratna setelah bangkit. Mereka pun berbicara di ruang tengah supaya tidur Nizam tidak terganggu. “Ibuk kenapa langsung setuju aja saat Dokter Ardian melamar
BAB 71 Citra berbaring miring membelakangi Dokter Ardian dengan bibir mengerucut. Sesekali ia melirik ke belakang dan mendengkus pelan. Tangannya memegangi handuk di dada yang menutupi bahunya dan selimut yang menutupi tubuhnya. “Cit, apa kamu nggak gerah?” tanya Dokter Ardian yang melihat Citra menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. “Nggak, Mas,” jawab Citra singkat. “Cit,” panggil Dokter Ardian seraya memegang bahu Citra. “Hm,” sahut Citra tanpa menoleh dan mengedikkan bahunya yang dipegang Dokter Ardian. Karena Citra tidak mau menoleh padanya, Dokter Ardian pun menarik bahu Citra secara paksa supaya Citra mau menghadap ke arahnya. “Apaan sih, Mas?” sungut Citra seraya mengerutkan alisnya lalu kembali membelakangi Dokter Ardian. “Saya mau bicara,” ujar Dokter Ardian dengan sabar. “Bicara saja. Saya dengar, kok,” sahut Citra. “Saya tadi mendengar kamu ngobrol sama Ibuk. Apa masalah kalau kamu menikah dengan duda?” tanya Dokter Ardian. Citra pun melebarkan kelopak matanya
BAB 73 “Tina!” seru Bu Tini ketika sudah sampai di rumah dengan memegangi dadanya. Tina, anak Bu Tini yang kebetulan sedang menonton televisi segera bangkit dan menghampiri Bu Tini. Kemudian ia membantu Bu Tini untuk duduk di kursi ruang tamu. “Ada apa, Buk? Asma Ibuk kambuh lagi?” tanya Tina ketika melihat Ibunya kesusahan menarik napas. “Mana obat Ibuk? Cepat ambilkan!” seru Bu Tini sambil sesekali menarik napas dalam-dalam. Tina pun segera bangkit untuk mengambilkan obat sesak napas Bu Tini. Ia merasa heran karena masih pagi asma Ibunya sudah kambuh. Padahal sudah lama penyakit Bu Tini tidak pernah kambuh. Bu Tini pun segera menghirup inhaler yang disemprotkan Tina di depan hidung dan mulutnya. Tidak lama kemudian asma-nya pun mereda. “Ibuk kenapa?” tanya Tina. “Itu si Citra pulang. Tau-tau udah nikah dan punya anak. Suaminya dokter kandungan, ganteng lagi,” sungut Bu Tini sambil menunjuk-nunjuk rumah Citra yang ada di seberang rumahnya. “Citra udah punya anak? Gimana cerit
BAB 75 “Kenapa?” tanya Dokter Ardian. “Nggak apa-apa, Mas. Cuma pengen aja,” balas Citra dengan mendongakkan kepalanya menatap Dokter Ardian dan tersenyum. “Ayo makan. Nanti keburu dingin lagi,” ajak Dokter Ardian lalu duduk di meja makan. Citra mengangguk lalu memindahkan makanan dari atas kompor ke atas piring. Setelah makan, mereka kembali ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar Citra. Mereka berdua duduk di atas tempat tidur sambil bersandar pada sandaran tempat tidur dengan kaki diselonjorkan di bawah selimut. Beberapa saat mereka saling diam karena tidak tahu harus ngapain. “Cit, deketan sini dong jangan jauh-jauh,” ujar Dokter Ardian sambil menepuk bantalan kasur yang ada di sampingnya. Citra pun menggeser pantatnya mendekat pada Dokter Ardian. Dokter Ardian tersenyum lalu menaruh lengannya di atas bahu Citra. “Cit, kamu tau nggak, seks itu apa?” tanya Dokter Ardian. “Kenapa?” tanya Citra balik sambil mengernyitkan dahinya. “Udah, jawab aja!” balas Dokter Ardian. Mesk
BAB 77 “Sebentar ya, Yang. Aku ke atas dulu,” pamit Dokter Ardian. ‘Yang? Sayang gitu?’ sungut Citra dalam hati dengan menghentakkan kakinya semakin keras sembari menaiki anak tangga ketika mendengar suara Dokter Ardian. “Jangan lama-lama ya, Mas. Aku mau pulang, bentar lagi maghrib,” sahut wanita itu dengan manja. “Oke. Beres!” timpal Dokter Ardian. Citra pun semakin mempercepat langkah kakinya menaiki anak tangga supaya segera sampai di kamarnya. sesampainya di kamar, ia segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Dokter Ardian melewati kamar Citra dengan menggeleng-gelengkan kepalanya lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia membuka almari kaca yang berisi khusus buku kesehatan, tepatnya bukunya waktu kuliah dulu. Setelah mengambil dua buku yang dibutuhkan, ia menutup kembali almari kacanya dan keluar dari kamar. “Cit, kamu kenapa? Buka dong pintunya!” seru Dokter Ardian di depan pintu kamar Citra dengan mencoba memutar gagang pintu kamar itu, tapi tidak bisa terbuka karena C
BAB 79 Keesokan harinya Dokter Ardian baru saja sampai di ruang poli kandungan. Setelah duduk di kursinya, ia melihat data pasien yang akan diperiksa hari ini. “Sudah ada lima belas pasien, ya?” tanya Dokter Ardian pada asisten-nya. “Iya, Dok,” balas Dewi yang menjadi asisten-nya hari ini. “Ya sudah, langsung saja pasien pertama suruh masuk,” ujar Dokter Ardian lalu memakai jas putih yang biasa dipakai dokter di rumah sakit. Pasien pertama pun masuk. Ia seorang ibu paruh baya berusia empat puluh dua tahun. Setelah duduk di depan Dokter Ardian, ibu itu menatap Dokter Ardian dengan kagum. ‘Wuaaaah … dokter-nya ganteng,’ gumam ibu itu dengan girang di dalam hati. Dokter Ardian masih menundukkan kepalanya membaca data keluhan ibu itu yang sudah ditulis asisten-nya tadi sebelum ia datang. “Keluhannya keputihan dan gatal ya, Bu?” tanya Dokter Ardian seraya menatap pasien yang ada di hadapannya. “A-apa, Dok?” tanya ibu itu baru tersadar dari lamunannya karena terpesona ketampanan Do
BAB 81 Citra pun buru-buru mengambil pakaiannya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi ia berdiri di depan wastafel dan melihat tanda merah pada leher dan bahunya. “Gimana cara menutupinya?” gumam Citra panik seraya meraba leher, bahu serta tulang selangka-nya. Ia merasa malu kalau sampai ada yang melihatnya. “Cit, cepetan dong ganti bajunya!” seru Dokter Ardian dari dalam kamar. “I-iya, Mas,” sahut Citra lalu bergegas memakai pakaiannya. Sementara itu di luar rumah, Mirna sedang mencari orang. Tepatnya mengumpulkan massa. Tadi ia sempat naik ke lantai dua dan hendak menidurkan Nizam di kamar Citra. Namun, ketika ia hendak mengetuk kamar Citra, samar-samar ia mendengar suara desahan Citra dan bergumam “Jangan, Mas”. Ia pun berpikir kalau Citra dan Dokter Ardian sedang melakukan sesuatu yang tidak senonoh. “Ada apa, Buk?” tanya salah satu warga yang kebetulan lewat dan melihat Mirna seperti sedang kebingungan di depan pintu gerbang. “Mm … anu di mana ya rumah pak R