BAB 87 Citra terperanjat kaget. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Baru kali ini ia melihat Dokter Ardian marah. Selama ini yang ia tahu, Dokter Ardian adalah sosok laki-laki yang sabar. Bahkan saat menangani pasien sekali pun. Tiba-tiba Dokter Ardian mematikan lampu yang ada di atas kepalanya lalu mendekat ke arah Citra dan menciumnya dengan kasar. Citra tidak melawan. Ia takut Dokter Ardian akan semakin marah padanya. Ia pun pasrah ketika Dokter Ardian membuka kancing pakaiannya dan menciumi leher serta dadanya. “Mas! Kamu ini kenapa?” Tiba-tiba Citra berteriak karena Dokter Ardian menyakitinya. Isak tangis pun mulai terdengar. Tubuh Citra bergetar karena menangis. Dokter Ardian pun menghentikan aktivitasnya. Ia merasakan tetesan air mata Citra yang jatuh mengenai dahinya. Kemudian ia menghela napas panjang dan kembali duduk di belakang kemudi. Setelah itu ia menyalakan mesin mobil dan melajukan-nya dengan kencang pulang ke rumah. Selama perjalan pulang, tidak ada yang memu
BAB 89 “Yaaah … kok basah sih?” keluh Citra seraya mengangkat kaus dalamnya. Citra mulai bingung. Ia harus memilih memakai kaus dalam basah itu atau memakai lingerie menerawang milik Nadia. Kalau memakai kaus dalam basah, bisa dipastikan ia akan masuk angin, dan yang pasti Dokter Ardian tidak akan membiarkan itu. Pasti Dokter Ardian akan melepaskan kaus dalamnya secara paksa. Kalau memakai lingerie menerawang itu, ia akan sangat malu seandainya dilihat Dokter Ardian. “Cit, kamu nggak ketiduran kan di dalam kamar mandi?!” seru Dokter Ardian dari dalam kamar. “Enggak, Mas. Bentar lagi keluar, kok,” sahut Citra dengan buru-buru memakai lingerie menerawang milik Nadia. Tidak lama kemudian Citra keluar dari dalam kamar mandi dan dengan setengah berlari ia segera naik ke atas tempat tidur lalu masuk ke dalam selimut. Sedari tadi Dokter Ardian menunduk menatap layar ponsel. Sehingga ia tidak melihat apa yang dipakai Citra. Segera ia menoleh ketika Citra masuk ke dalam selimut dengan ke
BAB 91 “Dokter, ini tadi dari Dokter Herlina,” ucap Yeni yang bertugas menjadi asisten di ruang poli kandungan hari ini seraya menunjuk kotak makan yang ada di atas meja Dokter Ardian. “Terima kasih,” balas Dokter Ardian lalu duduk untuk mulai bekerja. Siang hari, Citra pergi ke kantin untuk membeli makanan dan minuman. Ia juga membeli untuk makan siang Dokter Ardian. Setelah membayar makanan yang dipesannya, ia membawa makanan itu ke ruang poli kandungan untuk makan bersama dengan suaminya. Namun, ketika membuka pintu ruang poli kandungan, ia melihat Dokter Ardian baru saja membuka kotak bekal makan yang diberikan Dokter Herlina. Dokter Ardian pun menoleh saat pintu terbuka. “Cit,” ucap Dokter Ardian ketika melihat Citra. Citra pun menyembunyikan makanan yang dibelinya tadi di balik tubuhnya. Kemudian ia masuk dan duduk di depan Dokter Ardian. “Sekarang dapat makan siang dari rumah sakit? Kotaknya bagus ya?” sindir Citra. Yang ia tahu, selama ini rumah sakit hanya memberikan ro
BAB 93 Dokter Ardian menatap Citra yang sudah melepas semua kancing kemeja-nya. “Kamu yakin?” tanya Dokter Ardian. Citra menganggukkan kepalanya dengan mantap. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, dengan segera Dokter Ardian bangkit dari duduknya lalu melepas kemeja Citra dan membuangnya ke sembarang arah. Kemudian ia mengangkat tubuh Citra dan menggendong-nya ke atas tempat tidur. Hingga akhirnya mereka pun melakukannya dalam keadaan sama-sama masih emosi dan marah satu sama lain. Meskipun begitu, Dokter Ardian melakukannya dengan sangat lembut dan foreplay selama mungkin supaya meminimalkan rasa sakit dan agar tidak menimbulkan trauma bagi Citra karena ini yang pertama baginya. Sayangnya, di akhir pelepasan-nya, Dokter Ardian melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Tanpa sadar ia menyebut nama Nadia, bukan Citra. Itu terjadi karena ia sering mengucapkan kata-kata itu ketika usai bercinta dengan Nadia. Sedangkan ini kali pertama ia melakukannya dengan Citra. Sehingga ia meng
BAB 95 “Nggak! Aku nggak bisa melakukan itu, Cit. Aku mohon, beri aku satu kesempatan lagi. Sekali saja,” pinta Dokter Ardian. Citra tidak menyahuti-nya. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Isak tangis pun mulai terdengar. Kejadian tadi siang terbesit lagi di dalam ingatannya. Hatinya pun berdenyut nyeri jikalau teringat kejadian itu. Kejadian yang harusnya indah untuk dikenang seumur hidup, tetapi menjadi kenangan yang sangat buruk baginya. Semua orang mungkin mengira Citra gadis bodoh, termasuk Dokter Ardian. Mau-maunya dia memakai barang-barang bekas milik mantan istri Dokter Ardian. Mulai dari kebaya pernikahan, cincin, kalung, dan pakaian. Ingin Citra berkata tidak, tapi ia tidak pernah mengatakannya meskipun sebenarnya ada rasa kesal di dalam dada. Selama ini ia mencoba untuk selalu bersabar. Ia tidak mau mengungkit-ungkit atau mempermasalahkan dengan orang yang sudah meninggal. Namun, hari ini Dokter Ardian benar-benar keterlaluan. Tiba-tiba Citra menginjak kaki Dokter Ardian deng
BAB 97 “Biarin!” balas Citra kesal. Dua puluh menit kemudian dua orang pelayan datang membawakan makanan pesanan Dokter Ardian. Dokter Ardian memesan gurami bakar, ayam goreng ungkep bumbu rempah, es jeruk dua porsi, cah kangkung, dan setengah bakul nasi. Citra menelan saliva-nya saat melihat makanan itu terhidang di depannya. Bau gurami bakar dan ayam goreng-nya menyeruak memasuki indra penciuman-nya. Tanpa disuruh, ia pun segera mencuci tangan di wastafel yang berada di dekat tempat ia melepas sandalnya. Dokter Ardian menahan senyum saat melihat Citra tidak sabar untuk segera makan. Ia senang karena meskipun marah, Citra tetap mau makan dan tidak jaim (jaga image). “Makan yang banyak, biar bisa lanjut ronde kedua,” ujar Dokter Ardian ketika Citra akan memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Citra pun mengerucutkan bibirnya lalu melanjutkan makannya. Sambil makan, Dokter Ardian memisahkan daging dan duri ikan gurami kemudian menaruhnya di atas piring Citra. Perlahan rasa do
BAB 99 “Ini mau ke mal beli perhiasan lagi apa mau pulang?” tanya Dokter Ardian dengan tetap fokus mengemudi dan sesekali memandang ke arah Citra. “Terserah!” jawab Citra singkat. “Kok terserah sih? Nanti marah lagi,” balas Dokter Ardian. “Kembalikan ponsel dan dompetku, Mas. Aku mau pulang ke rumah Ibuk,” ujar Citra dengan cemberut dan menghadap ke Dokter Ardian. “Kamu mau pulang sekarang? Ini udah malam loh,” tanya Dokter Ardian. Ia merasa khawatir kalau sampai Citra nekat dan pulang sendiri ke rumah Ibunya. “Iya. Mas nggak usah perdulikan aku. Dari dulu aku sudah terbiasa serba sendiri sebelum jadi pengasuhnya Nizam,” balas Citra. “Ya nggak gitu, Cit. Sekarang kamu istriku. Sepenuhnya kamu tanggung jawab aku. Kita pulang dulu, ya? Nanti aku antar. Oke,” tutur Dokter Ardian. Citra pun semakin cemberut dan melipat kedua tangan di depan dadanya. Sesampainya di rumah, Dokter Ardian naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ia mengambil dua setel pakaian untuk berganti di rumah Citra.
BAB 101 Citra pun membenarkan perkataan Dokter Ardian. Memang Dokter Ardian tidak pernah bersikap kurang ajar padanya. Pernah satu kali saat memaksanya untuk menyusui Nizam, tapi Citra maklum karena waktu itu Nizam menangis sangat kencang sekali. Mungkin Dokter Ardian sangat panik waktu itu, pikirnya. “Kamu tahu, aku baru merasakan menembus perawan yang sebenarnya hari ini. Milikmu. Maaf kalau tadi mungkin mengecewakan atau menyakitkan bagimu, tapi itulah kenyataannya,” tutur Dokter Ardian tiba-tiba Citra pun tidak mengerti, kenapa Dokter Ardian berkata seperti itu. Padahal Dokter Ardian seorang duda, sudah pernah menikah. Seharusnya sudah pernah merasakan itu di malam pertama dengan istri pertamanya. “Kamu pasti bingung dan bertanya-tanya. Aku pun masih bertanya-tanya tentang menembus perawan yang sebenarnya itu seperti apa. Karena waktu aku melakukannya dengan Nadia untuk yang pertama kalinya, aku tidak merasakan dinding penghalang apapun waktu itu. Hanya rasa sempit. Karena Nadi