“Ya Allah, kamu kenapa, Sayang?” tanya Sadewa panik saat melihat tubuh istri terkulai lemas di lantai toilet dengan tubuh menyandar di tembok.Buru-buru dia membopong tubuh bidadari hatinya, membawanya masuk ke dalam mobil dan menyuruh David mengantarnya ke rumah sakit.“Sayang, kok kamu bisa pingsan seperti ini?” ucapnya lagi seraya mengusap lembut kepala Sania yang tertutup hijab.Sementara David, dia terus saja menatap wajah sang mertua dari kaca spion depan, memindai dua sejoli yang berada di belakangnya dengan ekspresi tidak suka. Lebih tepatnya cemburu melihat kemesraan yang selalu ditunjukkan oleh Sania dan Sadewa, sementara dia tidak pernah berlaku seperti itu saat bersama Clarissa.Setelah menembus jalanan kota selama kurang lebih lima belas menit, perputaran keempat roda mobil milik Sadewa berhenti tepat di depan instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit.Gegas Sadewa kembali menggendong tubuh istrinya yang tergolek tidak berdaya, berteriak memanggil suster meminta dibawaka
Apa Sania tidak bahagia dengan kabar ini? Pikirnya.Akan tetapi dia segera membuang jauh-jauh pemikiran itu, dan kembali mengulas senyum menyambut kehadiran calon buah hati.Selesai memeriksa kandungan Sania, dokter berwajah cantik serta kulit putih itu memeriksa catatan medis yang diberikan dokter yang menangani sebelumnya, lalu memberikan sedikit arahan kepada sepasang suami istri itu cara untuk menjaga kesehatan selama masa kehamilan.“Menurut catatan medis dari Dokter Ria, Ibu mengalami keram perut, dehidrasi parah juga kelelahan. Sepertinya kalian masih pengantin baru ya?” tanya dokter kandungan dan dijawab anggukan oleh Sadewa.“Begini, Pak. Untuk jaga-jaga, selama Ibu masih mengalami kram perut, sebaiknya Bapak jangan ngajak campur dulu. Soalnya itu sangat berisiko terhadap calon janin kalian, dan, kalaupun sedang melakukan ‘olahraga’ harus dikontrol semangatnya. Pelan-pelan saja!” pesan sang dokter membuat Sadewa langsung meneguk saliva dengan susah payah.Puasa? Gumamnya dala
Sania mengangguk pelan. Dia lalu mengajak sang suami untuk turun ke bawah, menikmati roti bakar yang sudah disediakan oleh Mbok Darmi karena saat ini Sania sedang tidak bisa menyantap nasi.Dan sepertinya janjinya, Sadewa mengajak sang istri bertandang ke rumah orang tuanya, menjajakan kaki di rumah Sania untuk yang pertama kalinya semenjak menjadi menantu Romi.Beberapa pasang mata memperhatikan sambil berbisik kala sepasang suami istri itu turun dari mobil, apalagi ketika melihat dengan penuh kasih sayang lelaki berusia empat puluh lima tahun itu merangkul pundak Sania.“Duh, kalo udah bau tanah dan nikah sama daun muda, kira-kira pas lagi nyampur ngos-ngosan nggak ya?” celetuk salah seorang Ibu yang sedang memilih sayuran tidak jauh dari Sadewa memarkirkan kendaraan roda empatnya.“Saya agak ngeri pas lagi nganu malah kena serangan jantung!” timpal si ibu berkacamata.Mendengar kata-kata itu, Sadewa mengepalkan tangan, namun, Sania langsung menggenggam erat jemari suaminya, menggel
Si pemilik tubuh atletis menarik hidung Sania dan segera menyalami tangan mertuanya, melangkahkan kaki keluar dari rumah menuju tempat dimana dia memarkirkan mobil.***Sambil menyalakan mesin kendaraan roda empatnya Sadewa bersenandung ria, karena semenjak menikah dan menjadikan Sania sebagai istri seutuhnya dia merasa teramat bahagia. Hidupnya lebih berwarna juga berarti. Hanya bahagia, bahagia, dan bahagia yang menyelimuti hari-harinya.Lampu lalu lintas di depan komplek perumahan tempat Romi tinggal menyala merah. Tandanya semua kendaraan baik yang roda empat maupun roda dua harus berhenti, dan mata Sadewa menyipit ketika melihat seorang laki-laki persis seperti Kevin sedang berboncengan dengan perempuan sambil bercanda ria.Sadewa menurunkan kaca mobil, ingin memastikan kalau yang dia lihat benar-benar putranya, namun, tiba-tiba lampu lalu lintas menyala hijau dan sepeda motor yang ditumpangi pria yang persis sekali seperti Kevin tersebut langsung melesat cepat menjauh dari kenda
Perputaran keempat roda kendaraan pria dengan rahang tegas serta tubuh atletis itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan sederhana yang ditinggali Lisa. Sadewa mengetuk pintu perlahan sambil mengucap salam, dan tidak lama kemudian seraut wajah lelah muncul seraya mengelus perut yang terlihat menggendut.“Ayah? Tumben ke sini? Apa kabar?” sapa sang pemilik rumah sembari mengambil tangan mertuanya dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat.“Kevin mana, Sa? Saya mau bertemu dengan dia. Ada yang mau saya bicarakan. Penting!”Lisa menundukkan wajah sambil menangis.“Semenjak kami menikah, dia tidak pernah datang ke sini, Yah. Bahkan dia tidak pernah memberiku nafkah sama sekali,” lirih perempuan itu berujar, laksana angin yang sedang berkesiur.“Kamu tidak membohongi saya, ‘kan?”“Demi Allah, aku tidak pernah bohong.”Sadewa membuang napas kasar.Apa iya Kevin masih dibui, dan lelaki yang dia lihat tadi pagi hanya kebetulan mirip saja?Pria berhidung bangir tersebut memijat pelipis,
“Om, sabar!” Sania merangkul lengan sang suami, menggenggam erat jemari pria yang berdiri dengan gagah di sebelahnya meredam amarah yang mulai berkobar bagai api yang siap menghanguskan siapa saja yang ada di dekatnya. “Asal kalian tau, ibu-ibu. Wanita itu sudah meninggalkan saya sejak dua puluh empat tahun yang lalu, meninggalkan kedua anaknya yang masih batita karena saya miskin. Sekarang, setelah dia dicampakkan dan dibuang oleh suami barunya, juga tau kalau saya sudah mapan, dia terus saja mencoba merayu saya. Bahkan dia pernah mengajak saya untuk bertemu dan ngamar, padahal dia sudah tau kalau saat ini saya sudah menikah. Dia juga berani mengirim foto seksinya kepada saya, terus mengganggu hidup saya dan selalu berusaha menghancurkan rumah tangga saya dan Sania. Sekarang, siapa pelakor sebenarnya. Dia, atau Sania?!” sungut Sadewa muntap. “Bohong! Jangan percaya sama dia!” sanggah Veronika. “Ini, saya masih menyimpan chatnya. Silakan ibu-ibu liat sendiri!” Lelaki bertubuh atlet
“Iya, sih. Cuma ....” “Sudahlah, San. Jangan terlalu mencampuri urusan aku. Kamu itu bukan siapa-siapa aku!” sungut Clarissa membuat lawan bicaranya langsung menundukkan wajah. “Maaf!” lirih Sania sambil menahan sakit karena ternyata selama ini tidak pernah dianggap oleh Clarissa. “Maaf, Sania. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu. Aku cuma sedang banyak masalah, jadi mudah terbawa emosi.” “Nggak apa-apa, Kak.” Kedua ujung bibir Sania ditarik membentuk lengkungan persis seperti bulan sabit. “San.” Clarissa menarik kursi meja makan, mengenyakkan bokongnya perlahan dan meneguk susu hangat seperti orang sedang kehausan. “Iya, Kak?” “Kamu ada simpanan, nggak? Lima puluh juta aja. Kalau ada aku pinjam dulu. Tapi jangan bilang-bilang sama Ayah, nanti dia marah,” tanyanya terdengar sungkan. “Kayaknya ada deh, Kak. Soalnya Om Dewa rajin mentransfer uang, tapi nggak pernah aku pakai karena semua kebutuhan aku ‘kan sudah terpenuhi.” “Aku pakai boleh ya?” “Iya, Kak.” “Tapi janji
Sania langsung menangis dan menghambur ke dalam pelukan Dewa, meluapkan rasa rindu juga ketakutan yang sedang membelenggu hati. “Om Dewa kenapa baru pulang. Ada yang masuk ke dalam kamar kita dan mau melecehkan aku tadi, Om. Untung aku masih bisa lari!” Sania berujar seraya menangis tersedu.“Penyusup?”“Iya, Pak. Kata Ibu tadi ada yang masuk ke dalam rumah. Makanya dia sembunyi di sini sama si Mbok. Ini aja pintu kamar si Mbok ampe diganjal pake meja,” timpal Darmi menerangkan.Sadewa terlihat menghela napas dalam-dalam tanpa melepas pelukan istrinya yang sedang ketakutan.“Bapak sendiri, kenapa wajahnya babak belur seperti itu?” tanya Darmi lagi.Sania mendongak, menatap lalu mengusap wajah suaminya yang dipenuhi luka lebam.“Tadi pas saya mau bertemu rekan bisnis di Depok, tiba-tiba mobil saya dijegat sama sekelompok orang. Mereka memukuli saya, mengambil berkas-berkas yang saya bawa dan semua harta benda milik saya termasuk ponsel dan dompet. Saya mencoba melawan dan mempertahank