"Aduh, Om. Sakit. Pelan-pelan masukinnya!" pekik Sania membuat Clarissa, anak Dewa yang kebetulan lewat di depan kamar sang ayah langsung menghentikan langkah.
"Habis sempit banget, San. Aku udah nyoba tapi tetap nggak bisa masuk!" Terdengar suara Dewa membuat anak perempuannya meneguk saliva dengan susah payah.
"Aduh!! Kalo nggak bisa jangan dipaksa dong, Om. Memangnya Om pikir nggak sakit!!"
"Iya, sabar. Namanya juga masih baru dan belum pernah dipake!"
"Udah, ah, Om. Aku nggak kuat, sakit banget."
Carissa bergidik ngeri membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh ayah juga Sania ibu tirinya, yang seharusnya siang tadi bersanding dengan Kevin--adiknya yang paling bungsu.
Namun, di detik-detik sebelum acara sakral itu dimulai, seorang perempuan dengan perut membesar menghentikan rombongan pengantin yang sudah siap-siap berangkat menuju rumah mempelai perempuan.
"Aku sedang mengandung anaknya Kevin, Om. Jadi tolong jangan nikahkan dia dengan Sania. Bagaimana nasib anak yang sedang aku kandung jika Kevin sampai menikah dengan perempuan lain!" jerit perempuan bernama Lisa itu seraya bersimpuh di hadapan Sadewa.
"Kevin, apa benar kamu yang menghamili perempuan ini?!" Dengan sorot mata tajam pria berusia empat puluh lima tahun itu menatap sang anak, mengepal tangan menahan emosi serta kecewa.
"Maaf, Ayah. A--aku..."
"Anak s*al*n!!" Sebuah tinju mendarat di rahang pria berkulit putih itu hingga dia terhuyung tidak bisa menyeimbangkan diri.
"Kenapa kamu minta dinikahkan dengan Sania kalau kamu sudah punya kekasih dan sedang mengandung anak kamu?!"
"Maaf, Ayah. Aku nggak tahu kalau Lisa sedang mengandung anakku."
"Aku sudah memberitahu kamu berkali-kali, Kevin. Tapi kamu tidak percaya kalau bayi yang aku kandung adalah darah daging kamu!" sanggah si wanita sembari menyusut air mata.
"Nikahi dia, Kevin. Jangan jadi l*ki-l*ki pengecut!!"
"Tapi, bagaimana dengan Sania, Ayah. Pasti dia sudah bersiap-siap di rumahnya. Dia akan kecewa jika aku tiba-tiba membatalkan pernikahan kami. Keluarganya juga pasti merasa malu, Yah!!"
Sekali lagi Sadewa mendaratkan tinju di wajah putranya, merasa begitu kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh anak yang sudah dia besarkan sendiri selama dua puluh empat tahun itu.
Sambil memijat kening dia masuk ke dalam mobil, mengendarainya perlahan menuju rumah calon menantunya ingin memberitahu kabar tersebut.
Pria dengan wajah penuh kharisma itu meneguk saliva dengan susah payah ketika sampai di depan rumah calon besannya dan melihat sudah ramai sekali tamu undangan yang datang. Dia bingung harus berbuat apa, karena tidak mungkin tiba-tiba membatalkan acara yang sudah dirancang sedemikian rupa.
"Lho, Pak Dewa. Kok datangnya cuma sendirian? Mana Nak Kevin dan rombongan?" tanya Romi--ayah Sania sambil mengedarkan pandangan mencari calon mempelai pria.
"Kevin tidak bisa datang. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah gagal mendidik anak saya. Dia tidak jadi menikahi putri Bapak karena ternyata dia sudah menghamili perempuan lain. Sekali lagi saya minta maaf!!"
Romi melungguh lemas mendengar kabar buruk dari lelaki yang notabene adalah bosnya itu. Dia merasa sakit hati karena telah dipermalukan serta dipermainkan.
"Mau di taruh di mana muka saya, Pak?! Tamu undangan sudah hampir datang semuanya. Pengantin perempuannya juga sudah dirias. Ya Allah..." Romi menangis tersedu sambil mengusap dada berusaha sabar menghadapi segala kenyataan pahit yang tengah terjadi.
"Saya akan menikahi putri Bapak. Saya yang akan menggantikan posisi putra saya, supaya Bapak dan Sania tidak menanggung malu."
Romi terkesiap dengan mata membola mendengar ucapan bosnya. Mana tega dia menikahkan anak perempuan satu-satunya dengan pria yang usianya hampir sama dengan dirinya. Hanya terpaut satu tahun saja, dan belum tentu Sania juga mau menerima Sadewa sebagai mempelai pengganti putranya.
"Ini demi nama baik Bapak sekeluarga. Saya berjanji tidak akan menyentuh putri Bapak sampai dia mendapatkan laki-laki yang layak untuknya dan akan menceraikan Sania jika ada pria yang tulus menjaga dan menyayangi Sania."
"Pernikahan itu bukan sebuah mainan, Pak Dewa. Pernikahan itu ikatan sakral," tampik Romi.
"Pak, ini acaranya mau dimulai kapan? Soalnya saya juga ada jadwal di tempat lain setengah jam lagi!" Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, dan dengan langkah cepat Sadewa mengikuti pak penghulu, membicarakan masalah pergantian nama calon mempelai laki-laki dan segera mengganti pakaiannya dengan baju pengantin.
Air mata mengalir deras di pipi Sania ketika mengetahui kalau Kevin tidak jadi menikahi dia dan malah harus menikah dengan calon mertua. Meski sakit hati, dia berusaha menerima kenyataan pahit tersebut, berjalan gontai keluar dari kamar menemui laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya.
"Kirain nikah sama anaknya, ternyata nikahnya sama bapaknya. Duh, ternyata matre juga ya si Nia. Mau aja nikah sama om-om. Jadi sugar baby!" bisik salah seorang tamu membuat telinga Sania terasa memanas, namun, dia berusaha untuk tidak terpancing emosi, apalagi sampai memaki orang yang sedang menggosipkannya.
Biarlah! Mungkin ini sudah takdir yang digariskan Allah untukku, karena harus menikah dengan calon mertua.
Walaupun sakit, aku tetap akan berusaha menjalani rumah tangga ini, karena pernikahan itu bukan sebuah mainan. Mungkin titian takdirku harus seperti ini, tapi aku yakin bahwa sesungguhnya Allah sedang menyiapkan skenario indah untukku ke depannya. Sania membatin sendiri, mengutkan hati agar tidak merasa terlalu perih.
Dengan tangan gemetar perempuan dengan riasan sederhana juga balutan baju pengantin itu menayalami tangan Sadewa, mencium takzim bagian punggungnya kemudian seraya menitikkan air mata.
***
"Huh, San. Aku sampai keringetan!" Dewa meletakkan kembali sepatu yang dengan susah payah iya pakaikan di kaki istrinya kemudian menarik beberapa lembar tissue dan mengelap keringat yang menitik di dahi.
"Padahal bagus banget loh, Om. Aku suka modelnya." Sania mengerucutkan bibir manja.
"Besok kita nyari di mol. Kamu mau berapa? Nanti aku belikan."
"Nggak usah, Om. Terima kasih."
"Jangan panggil aku om terus dong, San. Aku ini 'kan sekarang sudah menjadi suami kamu!" Sadewa menatap lamat-lamat mata sang istri, melihat ada luka begitu dalam di sorot matanya, membuat dia kembali diselimuti rasa bersalah karena tidak mampu mendidik sang putra.
"Ya sudah, terserah kamu mau panggil aku siapa. Yang penting kamu merasa nyaman saja."
Sesaat suasana kamar berubah menjadi hening. Sadewa beranjak dari tempat tidur, mengayunkan langkah menuju pintu dan keluar dari kamar pengantinnya.
Tanpa diperintah, dua bulir air bening meluncur begitu saja membasahi pipi Sania. Dia merasakan rasa sakit teramat dahsyat akibat luka yang ditorehkan di hati oleh sang kekasih. Kevin, lelaki dengan sejuta janji yang berhasil menanamkan cinta begitu dalam di dinding sanubari, ternyata hanya seorang pembual. Tega mempermalukan dia, bahkan sampai harus menjalani pernikahan dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya.
Sania merebahkan bobot perlahan, menarik selimut menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan daster lengan pendek karena dia pikir Sadewa sekarang ini sudah sah menjadi suaminya, jadi dia berani menanggalkan gamis serta kerudung saat berada derdua di dalam kamar.
Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu terbuka. Sania segera memejamkan mata sebab belum siap memberikan haknya kepada sang suami terlebih lagi ia sudah menganggap Sadewa seperti ayahnya sendiri.
"Kamu sudah tidur, Sayang?"
Sania terkesiap saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Dia memutar badan dan segera beranjak bangun melihat Kevin sudah berada di dalam kamar.
"Apa yang kamu lakukan di kamar ini, Kevin?!" Wajah Sania terlihat pucat ketika lelaki yang telah menancapkan luka begitu dalam kian mendekat, dan dia terus berusaha meraih apa saja lalu ia lemparkan ke tubuh Kevin.
"Om Dewa tolong!!" teriak Sania dengan sekuat tenaga.
"Nggak usah teriak-teriak, Sayang. Ayah sudah pergi. Sekarang jatahnya kita berdua menghabiskan waktu bersama!" Seringaian Kevin benar-benar membuat Sania merasa begitu ketakutan, apalagi saat ini jarak mereka kian dekat.
Sekuat tenaga perempuan berambut cokelat itu mendorong tubuh sang anak tiri, berusaha melepaskan diri dari kungkungannya namun Kevin terlihat begitu beringas dan tidak membiarkan Sania lepas. Dengan Kasar pria bermata tajam tersebut membanting tubuh Sania ke ranjang, merenggut paksa pakaian yang sedang dikenakan juga mendaratkan tinju hingga Sania terkapar tidak berdaya.
Sadewa memutar balik kendaraan karena tiba-tiba merasa gelisah. Dia terus saja memikirkan sang istri yang dia tinggal bersama anak-anaknya di rumah, membatalkan pertemuan dengan kolega yang menghubunginya dan meminta dia untuk bertemu saat itu juga, padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam.Perasaan resah yang terus saja menyelimuti hati membuat dia memutuskan untuk kembali. Tidak masalah jika harus kehilangan investor, asalkan tidak terjadi sesuatu kepada Sania, wanita yang baru dia nikahi beberapa jam yang lalu.Dengan mengayunkan langkah cepat Sadewa menaiki anak tangga menuju kamarnya, dan debaran di hatinya kian bertambah saat mendengar suara aneh di dalam kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Anak S*alan!" Tanpa basa-basi Sadewa menarik tubuh putranya dari tubuh Sania, menyeretnya keluar lalu menghadiahi pukulan tanpa ampun."Siapa yang mengajarkan kamu untuk berbuat asusila, Kevin?! Sania itu istri ayah kamu, wanita yang wajib kamu hormati!" sentak Sadewa dengan
POV Sania.Berjalan melewati Om Dewa yang sedang menggulung lengan kemeja, hatiku teriris sakit merasa dipermainkan oleh dia juga putranya.Kemarin, aku dipermalukan di depan semua orang oleh Kevin, sampai-sampai dicap sugar baby karena harus menikah dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahku. Dan semuanya tidak berakhir sampai di situ. Kevin berusaha merenggut paksa kehormatanku tepat di malam pertama aku menjadi ibu tirinya, sampai aku merasa sedikit traum akibat ulahnya itu.Jika Om Dewa terlambat beberapa menit saja, mungkin saat ini hidupku sudah hancur sehancur hancurnya.Sekarang, Om Dewa yang menancapkan luka di dada, dengan cara mendatangkan istri tuanya ke rumah yang kami tinggali.Kenapa titian takdir hidup jadi penuh duri yang malukai, Tuhan. Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan sehingga Engkau menghukum diriku seberat ini?Duduk di kursi balkon, menatap dedaunan yang mulai meranggas di jalanan komplek. Gersang seperti hati ini. Tanpa terasa air bah nan asin sudah
Buru-buru turun dari tempat tidur, menutup jendela dan aku lihat ada dua orang berbaju serba hitam serta berkacamata sedang menatap ke arah kamar Om Dewa. Aku lekas menutup tirai rapat-rapat juga mengunci pintu kamar, takut ada yang masuk ke dalam bilik dan berbuat jahat kepadaku.Tok!Tok!Tok!Aku terkesiap ketika mendengar suara nyaring pintu diketuk."Lindungi aku, ya Allah," ucapku menahan takut luar biasa.Keringat sebesar-besar biji jagung mulai menyembul dari balik pori-pori, tenggorokan mendadak kering dan tubuh mulai gemetar."San, kamu ada di dalam 'kan?" Terdengar suara Clarissa memanggil namaku.Lekas berlari ke arah pintu, memutar anak kunci dan segera menyuruh Clarissa untuk masuk ke dalam kamar dan kembali menguncinya kembali."Ada apa, San? Kok wajah kamu pucet banget?" tanya Clarissa terlihat begitu khawatir melihat keadaan diriku."Ada yang mengawasi kamar ini. Tadi aku dapat telepon misterius, dan dia juga mengirimkan pesan berupa ancaman kepadaku!" Aku menjawab se
Sadewa membuka mata perlahan, tersenyum penuh arti saat melihat seprai kamarnya yang sudah acak-acakan dan ada bercak merah di sana.Pemilik rahang tegas serta wajah penuh kharisma itu terus saja menyunggingkan bibir bahagia, karena mendapatkan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari Veronika dulu. Wajahnya terlihat lebih ceria, semangat dalam dada kian membara menyambut pagi dengan penuh rasa suka cita.Ditengoknya jam yang tergeletak di atas meja, dan ternyata sudah pukul lima pagi.Tidak lama kemudian Sania keluar dari kamar mandi, berjalan dengan hati-hati Manahan nyeri akibat perbuatan sang suami.Lagi, Sadewa tersenyum bahagia, apalagi ketika melihat jejak cinta di leher Sania.“Om Dewa kenapa pagi-pagi udah senyum-senyum begitu. Masih sehat ‘kan?” tanya Sania sedikit ragu.“Enggak, Sayang. Terima kasih untuk yang semalam.”“Ish!! Jangan dibahas. Aku malu. Mendingan sekarang Om mandi dan kita salat!”“Siap, Bos!!”Sadewa segera mengambil handuk yang diulurkan oleh istrinya, menga
Sambil bersenandung riang perempuan berusia dua puluh dua tahun juga salah satu lulusan terbaik di pesantren tempat dia menimba ilmu dulu segera berganti pakaian, memoles sedikit lipstik di bibirnya membuat pria yang sedang duduk di bibir ranjang kian terpesona.“Om Dewa nggak ganti baju?”“Aku begini saja, San. Masih keliatan tampan, kok!” seloroh Sadewa direspons dengan kerucutan bibir oleh istrinya.Walaupun terasa sedikit malas dan lelah si pemilik tubuh atletis berjalan keluar, menggandeng tangan Sania menuruni anak tangga menuju lantai dasar.“Kaya kereta, gandeng terus!!” celetuk Clarissa ketika melihat tangan ayah serta ibu tirinya saling menggamit satu sama lain.Mendengar ucapan si sulung wajah Sadewa langsung memerah tapi bukan karena marah. Clarissa juga mulai berani meledek sang ayah karena semenjak menikah lelaki yang teramat dia hormati tidak lagi mudah tersulut emosi. Banyak sekali perubahan positif yang dia rasa, karena kehadiran Sania sebagai ibu tirinya justru membu
“Iya, Pak.”Mereka berdua kemudian pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, menghampiri toko berlian paling terkenal di Jakarta dan membeli kalung berliontin hati untuk Sania.Semoga saja istriku senang dengan hadiah ini. Gumam Sadewa dalam hati.“Kamu kembali ke kantor naik taksi onlen saja, Lia. Saya mau pulang ke rumah!” Sang pemilik alis tebal itu melirik benda bulat berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan, karena merasa sudah lama sekali berada di luar rumah meninggalkan Sania.Masih jam satu siang. Tapi rasanya sudah kangen banget sama Sania. Gumamnya lagi.Emilia mengernyitkan dahi melihat perubahan aneh bosnya. Di mata wanita berambut sebahu itu Sadewa terlihat lebih fresh, tidak segalak biasanya dan bahkan ketika dia melakukan kesalahan karena lupa membawa salah satu berkas yang dibutuhkan sang atasan tidak marah sama sekali. Dia hanya ditegur, lebih tepatnya diingatkan.“Next time jangan teledor kalau bekerja.” Hanya itu yang dikatakan oleh Sadewa, dan itu membuat se
Karena tangis sang istri tidak kunjung berhenti, Sadewa memutuskan untuk membopong tubuh Sania dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Turunin aku, Om. Kalau nggak aku teriak!” ancam perempuan dengan gamis bercorak bunga lili tersebut seraya memukuli dada suaminya. Sadewa segera masuk ke dalam mobil, menyalakan kendaraan roda empatnya meninggalkan parkiran kafe membawa sang istri pulang ke rumah. “Aku nggak mau tinggal di sini. Aku mau pulang!” rengek Sania seperti anak kecil yang mulai tidak kerasan tinggal di tempat yang baru. Lagi, Sadewa menggendong tubuh mungil istrinya masuk ke dalam rumah, merebahkannya di atas kasur setelah sampai di dalam kamar. “San, maaf. Aku tidak mengizinkan kamu pulang ke rumah orang tua kamu. Kita selesaikan masalah ini secara dewasa dan jangan libatkan orang tua. Kamu itu istri aku. Jadi pulangnya ke sini bukan ke rumah Pak Romi. Tolong berhentilah menangis. Aku tidak sanggup melihat kamu terus seperti ini, Sayang.” Pemilik rahang tegas serta wajah p
Sania berjalan mendekat, mengambil tangan Romi lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Dia kemudian mempersilahkan ayahnya untuk masuk dan duduk di ruang tamu.“Ayah tumben mampir. Ada apa?”“Ayah kangen sama kamu, Nia. Perasaan Ayah tiba-tiba tidak enak. Makanya Ayah datang ke sini, ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Apa Pak Dewa berbuat macam-macam sama kamu?”“Enggak,Yah. Om Dewa baik banget sama aku, kok. Dia juga baru banget beliin aku kalung berlian. Iya, ‘kan, Om?” Sania menatap wajah suaminya dan dibalas senyum kaku oleh Sadewa.Entah mengapa pria di sebelahnya mendadak canggung, juga takut tiba-tiba Romi menanyakan janji yang sudah dia ucap sebelum menikahi Sania.“Begini, Pak Dewa. Emm ... Nak Dewa.” Pria satu generasi tersebut terlihat bingung harus memanggil menantunya dengan panggilan apa.“Panggil Dewa saja, Pak. Saya ini ‘kan menantu Bapak sekarang.”Riak wajah Romi seketika langsung berubah mendengarnya. Dia terlihat tidak suka, namun apa mau dikata. P