Empat puluh hari sudah Ruby pergi dari dunia fana ini. Selama itu pula Robert tidak pernah mengganggu Rose dan keluarganya. Pria itu tidak menunjukan batang hidung bahkan bayangannya pun tak pernah muncul.
Rose merasa tenang karena itu artinya Robert Miller benar-benar sudah melupakan Kenzie. Gadis cantik itu tersenyum sinis setiap kali mengingat bagaimana sikap Robert yang seakan-akan menginginkan Kenzie. Namun, pada akhirnya semua hanya topeng untuk mencari simpati.
Rose semakin yakin jika pria itu tak akan pernah menunjukan batang hidungnya. Pria dengan kesuksesan di mana dirinya menjadi panutan di setiap acara televisi dan talk show, tidak mungkin membiarkan kariernya hancur hanya karena anak di masa lalu. Anak yang tak pernah dia inginkan.
"Anda resah bertanyalah pada ….." Host di sebuah stasiun televisi untuk acara kesehatan bertanya nyaring pada penonton di studio.
"Dokter Robert MIller!" teriakan heboh memenuhi seisi studio yang disalurkan secara langsung untuk penonton di rumah.
Rose mendengus kesal ketika kamera menyorot Robert keluar dengan senyuman lebar tak berdosa di wajah tampannya. Segera diraihnya remote control untuk memindahkan saluran televisi. Meskipun hanya melalui layar kaca, Rose enggan melihat tampang Robert apalagi mendengar suaranya.
"Kenapa kau pindah salurannya, Rose?" Romeo ayahnya merasa terganggu. "Kau tahu 'kan Daddy sangat menyukai acara ini.
Rose mendengus, dia terpaksa menuruti keinginan ayahnya. Wajah Robert langsung memenuhi layar kaca ketika saluran televisi baru saja dipindahkan oleh Rose. Senyuman yang disorot secara dekat seakan mengejek wanita itu.
"Kau lihat itu Rose! Dia masih muda … usianya sekitar tiga puluh tahun, tapi sangat cerdas dan menjadi idola di mana-mana." Romeo dengan penuh kekaguman memandang layar kaca. "Entah di mana, tetapi daddy seperti pernah bertemu langsung dengannya."
"Itu karena hampir setiap minggu Daddy melihatnya di televisi." Rose menggumam, menyembunyikan kenyataan siapa sebenarnya Robert.
Rose tak ingin terlibat pembicaraan dengan Robert sebagai topik utamanya. Dia memilih untuk menyingkir dan merapikan isi mini marketnya. Meskipun minimarket ini merupakan kerja sama antara dirinya dan Conrad, mantan kekasih Ruby, tetapi karena kerja kerasnya pula minimarket bisa berkembang.
"Rose! Aku ingin Kenzie suatu saat nanti menjadi seperti dia." Romeo berteriak penuh kekaguman.
"Jangan paksa Kenzie, Dad! Dia bisa menjadi apa saja yang dia inginkan kelak." Rose tidak suka jika Romeo terlalu mengagungkan Robert.
"Tapi Kenzie bilang kalau dirinya ingin menjadi dokter suatu saat nanti." Romeo masih bersikeras.
"Ooo Daddy, andaikan saja kau tahu jika dokter yang sangat kau kagumi itu adalah pria yang tidak menginginkan kelahiran Kenzie di dunia ini. Dokter itu adalah pria yang sudah menyakiti hati anakmu, hati adikku Ruby," batin Rose dengan hati yang tersayat.
Tak akan pernah Rose lupakan bagaimana setiap waktu Ruby menangis dan harus menanggung beban kehamilannya sendiri. Penghinaan bahkan lirikan mencemooh harus ditanggung oleh Ruby, sehingga mereka terpaksa pindah dari apartemen lama.
Sesungguhnya Rose menyesali pilihan Ruby. Seharusnya Ruby mempertahankan Conrad bukannya malah memilih Robert, playboy picisan, pria tak bertanggung jawab. Mungkin saja Ruby tidak akan meninggal secepat ini, jika bisa hidup bahagia bersama Conrad.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tidak bisa terulang lagi. Saat ini Conrad sudah bahagia dengan Jasmine dan Sean anak mereka. Teringat akan hal itu, Rose menjadi sedih membayangkan Kenzie yang sudah kehilangan Ruby.
"Oh, Kenzie!" Rose tersentak menyadari sudah waktunya dia menjemput bocah itu,
"Dad! Aku akan pergi menjemput Kenzie, kau akan baik-baik saja, bukan?" Rose bergegas menuju meja kasir untuk mengambil kunci sepeda.
"Tenang saja, Kak Rose. Biar saya yang menjaga Tuan Romeo," ujar Dulce dengan senyum cerianya.
Dulce merupakan imigran asal Mexico yang ditolong oleh Rose. Wanita itu bekerja untuk membantu merawat keperluan keluarga juga menjaga mini market. Dulce adalah seorang wanita yang baik hati dan sangat rajin.
"Terima kasih Dulce." Rose mengecup kening ayahnya yang tak melepaskan pandangan dari mengagumi dokter, Robert Miller.
Wanita yang tampak lebih muda dari usianya yang menginjak dua puluh enam tahun itu, membuka kunci gembok di roda dan mengayuh sepedanya menuju ke sekolah Kenzie yang berjarak setengah kilometer.
Angin semilir menerpa wajah cantiknya yang memerah karena peluh. Rose tiba tepat saat bel tanda sekolah usai berdering. Dengan segera wanita itu mengaitkan sepeda kayuhnya di tempat parkir dan setengah berlari menuju gerbang sekolah.
"Aunt Rose!" Kenzie berjalan dengan cepat mendekati Rose yang sudah membuka lebar tangannya.
"Bagaimana sekolahmu hari ini, Sayang?" Rose menggendong keponakan tersayangnya dan menarik tas beroda menuju ke parkiran sepeda.
"Hari ini, Kenzie menggambar tentang pemandangan." Bocah itu turun dari gendongan Rose dan duduk di boncengan sepeda.
"Oh ya? Gambarnya bagus?" Rose mulai mengayuh sepedanya setelah meletakan tas Kenzie di keranjang bagian depan. "Pegangan ya."
"Iya. Kenzie dapat nilai delapan." sepanjang perjalanan bocah itu terus berceloteh dengan riang, menghibur hati Rose.
Beberapa menit kemudian mereka sudah tiba di depan minimarket. Kenzie segera turun dan berjalan masuk. Penuh sukacita dia berlari memeluk Romeo.
"Hallo Grandpa."
"Calon dokter keluarga ini sudah datang. Grandpa senang sekali." Romeo tertawa gembira menyambut kedatangan Kenzie, mereka berceloteh dengan riang menaiki tangga ke lantai atas, di mana seluruh anggota keluarga tinggal.
"Kak Rose, kita dapat voucher makan dari restaurant di pusat kota." Dulce memberikan sebuah Voucher kepada Rose. “Apa kita akan makan di sana nanti malam?” Mata Dulce berbinar penuh harap.
"Dari mana kau mendapatkan Voucher ini?" Rose merasa sangat heran karena mendapatkan undangan makan buffet secara gratis untuk empat orang.
"Dari seorang pelanggan yang baik hati." Dulce menatap Rose penuh harap.
Tak tega membuat wanita itu menjadi kecewa, Rose menganggukkan kepalanya.
"Terimakasih, Kak Rose." Dulce dengan gembira memeluk majikan yang sebenarnya jauh lebih muda dari dirinya. "Aku akan menidurkan Kenzie sebentar lagi supaya tidak rewel nanti malam.'
Rose tersenyum menatap gerakan lincah Dulce menaiki tangga.
"Tidak ada salahnya sekali-sekali menyenangkan mereka. Lagi pula ini gratis." gumam Rose perlahan.
Waktu bergulir dengan cepat, bias sinar matahari yang hendak beranjak ke belahan bumi lainnya mulai meredup. Suasana senja terlihat begitu indah dengan cahaya jingga yang disambut dengan temaram lampu kota.
Rose bersama keluarganya saat ini berada di sebuah restoran chinese dan menikmati hidangan prasmanan. Mereka sangat bersukacita dengan makanan yang berlimpah dan mewah lebih daripada apa yang biasa mereka makan sehari-harinya.
"Kenzie mau ice cream." Bocah itu berlari menuju ke mesin ice cream. Dia sangat senang karena bisa mengambil hidangan dingin itu sepuasnya.
"Daddy, kenapa kau menangis?" Rose mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata yang menggenang di kelopak mata Romeo.
"Daddy rindu dengan Ruby. Kita hampir tidak pernah makan bersama seperti ini ketika dia masih hidup," sesal Romeo.
"Rose juga merindukan Ruby, Dad." Gadis itu berusaha keras menahan air mata yang hendak menggenang.
Tanpa mereka sadari sepasang mata yang tersembunyi di balik kacamata hitam, mengamati setiap gerak-gerik Rose dan keluarganya. Pria itu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang. "Segera lakukan, wanita itu dan keluarganya sudah berada di lokasi perhentian … iya bocah itu juga ada di sini. Segera lakukan dan pastikan pemadam kebakaran meluncur segera ke lokasi kejadian perkara. Boss tidak ingin ada korban jiwa."
Novel ini adalah sequel dari Novel DIA ANAKKU
silahkan follow AUTHOR @taurusdi_author untuk karya lainnya
"Rose! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ruko kita kebakaran?" Romeo syok melihat sisa-sisa api yang masih menyala di dalam bangunan tersebut. Tubuh Romeo terhuyung, hampir saja dia jatuh ketika dengan cepat tangan Dulce menahannya. Dulce yang tak kalah terkejut segera membawa pria tua itu duduk di pinggiran trotoar. Wanita imigran itu duduk di samping Romeo dengan tubuh yang tak kalah gemetaran. "Bagaimana mungkin?" desis Rose tak percaya. Seluruh apa yang dia miliki, rumah tempat keluarganya berlindung dan mata pencahariannya ada di sana. Rose terpaku pucat membeku menatap bangunan yang telah menghitam dengan masih menggendong Kenzie. Waktu menunjukan pukul sembilan malam ketika kebakaran itu terjadi. Mereka baru saja tiba dari makan malam di sebua
Rose memeluk Kenzie dengan erat. Tubuhnya gemetaran mengingat jika baru saja dia akan kehilangan bocah kecil itu. Pertengkaran Rose dengan Robert membuat Kenzie terbangun. Bocah itu menangis dengan keras. "Cup … cup, Sayang. Semua baik-baik saja." Rose menepuk punggung Kenzie dengan lembut dan sedikit menggoyangkan tubuhnya agar bocah tersebut menjadi lebih tenang. "Rose … kenapa kau marah pada pria tadi. Dia hanya hendak membantu kita." Romeo tidak dapat mengenali Robert Miller karena topi yang dikenakannya. "Jangan percaya pada siapapun itu, Dad. Kau hanya boleh mempercayai aku. Ingat itu, Dad." ujar Rose dengan tegas. Wanita itu sangat cemas jika kejadian yang sama akan terulang lagi. Dia menebarkan pandangannya ke sekeliling jalanan terutama ke arah d
Rose jatuh dalam pelukan petugas pemadam kebakaran, saat pria itu menarik tubuh Rose ketika dia hendak mengangkat sisa pintu kayu dari lemari di kamarnya. Api menyembur keluar dari balik pintu kayu yang tebal itu. Ternyata ada lubang besar di bawah kayu di mana masih ada sisa pembakaran dari lantai satu. Api itu hampir saja mengenai tubuh Rose, jika saja petugas tersebut tidak segera menarik tubuhnya. Rose bisa merasakan hawa panasnya meskipun mereka sudah berada di jarak aman. Wajah Rose seketika pucat pasi merasakan bahaya yang hampir saja menimpanya. Dalam hatinya dia mengucap syukur karena masih bisa selamat, mengingat masih banyak orang yang bergantung padanya. 'Aku harus hidup dan kuat untuk keluargaku.' "Kita harus segera turun, Nona. Saya khawatir ada anak api lain yang masih terjebak." Petugas tersebut menarik tangan Rose untuk segera turun. "Tapi, Tuan. Dokumenku-- akte lahir anakku …." Rose kebingu
Rose masuk dengan mengendap-endap ke dalam kamar. Dia melihat ayahnya tidur dengan nyenyak hanya berselimutkan kain tipis yang lembab, sementara Dulce memeluk Kenzie di ranjang yang sempit. Rose mengusap sisa-sisa air mata yang masih saja mengenang di wajahnya, dia memutuskan untuk menenangkan diri di kamar mandi.Tidak ada air hangat di dalam kamar mandi kecil itu dan bau dari toilet yang sedikit tersumbat menyengat penciuman Rose. Sudut-sudut lantai kamar mandi tampak menguning dan selokan pembuangan airnya pun berkarat dan penuh dengan rambut rontok. Tampak rembesan air di atap dan dinding ruangan sempit tersebut."Aku harus memindahkan mereka semua dari penginapan ini," gumam Rose.Rose mengikat rambut hitam sebahunya ke atas dan menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Kesedihan amat sangat jelas terlih
"Ya, dia orangnya. Gara-gara gadis ini, ruko kami pun hampir terbakar." Seorang wanita gemuk menunjuk ke arah Rose dengan mata melotot. "Bukan itu saja, kamu tahu 'kan kalau tokoku selisih tiga gedung dari dia, pelangganku jadi kabur dan ada beberapa dari mereka yang tidak bayar setelah membeli makanan." Wanita lain dengan tubuh yang tak kalah gemuk dan berambut ikal menatap Rose dengan sinis. "Huh! Pelanggan yang hendak membuat tato, juga kabur semua. Coba bayangkan berapa kerugianku." Pria lain dengan rambut gondrong yang berlokasi tiga puluh metre dari lokasi kebakaran tak mau kalah menyudutkan Rose. "Kau tahu, Rose, tokoku ada tepat di sebelah tokomu. Gara-gara kebakaran itu, pelanggan kabur tanpa membayar pakaian yang mereka coba." Wanita Bertubuh tinggi kurus mendengus kesal. Lebih dari sepuluh orang yang datang di kantor polisi untuk menyudutkan dan melaporkan kerugian mereka akibat kebakaran. Tak ada seorang pun yang bersimpati atau sekedar me
Rose tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Tangan gadis itu gemetaran, saat membaca dokumen perjanjian yang jelas terdapat tanda tangannya di sana. Dia tidak mengingat pasal mengenai biaya sewa yang akan hilang jika terjadi kerusakan gedung seperti musibah kali ini. Semua yang tertulis di sana, Rose juga tidak dapat membuktikan karena semua dokumen miliknya telah menjadi abu.Tubuh wanita itu menjadi lemas. Dia memegang kepalanya yang terasa sangat pusing, setelah seharian meresahkan banyak hal, Rose lupa jika dia belum mengisi perutnya dengan apapun kecuali air putih. Gadis itu memejamkan mata, berusaha menguatkan diri agar tidak jatuh pingsan."Jangan pura-pura sakit, sudah jelas semua yang tertera di sana. Ayo, cepat dibayar." Tuan Oswaldo pemilik gedung tanpa belas kasihan menghardik Rose."Tuan, tahan emosi Anda." Petugas kepolisian itu merasa kasihan dengan keadaan Rose. Pria tersebut kemudian menyodorkan segelas teh manis untuk Rose dengan mengacuhkan
Rose terpaku mendengar ucapan polisi tersebut. Apa yang akan terjadi pada ayah dan keponakannya jika sampai dirinya di penjara? Rose semakin pusing dan gelisah. Rasa takut begitu kuat mendera, menjadikan seluruh tubuh gadis itu menggigil dengan keringat dingin yang menetes.Dia melirik ke arah papan nama yang ada di meja, Polisi tersebut bernama Sebastian. Rose mengangkat kepalanya perlahan dan menoleh ke arah wajah-wajah yang sejak tadi membuli dirinya. Aneh, tidak terlihat rasa senang ketika tawaran untuk memenjarakan dirinya dilontarkan Sebastian."Kalau dia dipenjarakan, apakah kami masih bisa mendapatkan ganti rugi?" Pertanyaan Tuan Oswaldo menjelaskan keheranan di hati Rose.Wanita itu tertawa dalam hati, mencemooh pikirannya sendiri yang mengira jika semua orang bersimpati, kasihan padanya. Sungguh kenyataannya mereka semua hanya mengkhawatirkan uang ganti rugi tersebut. Benar, uang dan mantan tetangga siapa yang akan memilih mantan?"Aku akan menc
"Hmph!" Rose terkejut ketika Robert tiba-tiba mendorongnya ke dinding gang.Pria itu menghimpit tubuh Rose sehingga tidak ada celah baginya untuk bergerak. Wajah mereka sangat dekat nyaris bersentuhan hanya terbatas pada masker yang menutupi sebagian wajah Robert.Rose bahkan bisa mendengarkan deru napas Robert dan detak jantungnya. Bahkan yang paling tidak dapat dihindarinya adalah aroma maskulin pria itu yang menyeruak masuk dalam rongga pernapasannya.Tatapan mata biru Robert begitu dingin menghujam ke arah manik mata hitam Rose. Namun, wanita itu tidak terlihat gentar, melainkan penuh keberanian memberikan pandangan yang menantang. Rose merasa gusar dan tidak nyaman dengan tubuh Robert yang mengintimidasi dirinya."Lepas--" Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya, karena dengan gerakan cepat tangan Robert membekap dirinya.Rose melotot dengan tindakan Robert, dia memberontak dan secepat itu pula tangan Robert menarik pinggangnya seh